Ronggowarsito, pujangga besar terakhir dari Jawa, menggambarkan situasi zamannya sebagai kalatidha atau kalabendu, zaman bencana. Konon ini gambaran dari transisi hebat yang sedang terjadi di kerajaan Jawa, dimana pengaruh Belanda waktu itu sudah begitu kuat meruyak masuk ke tengah struktur dan budaya kekuasaan.
Begitu putus asanya Ronggowarsito terhadap situasi zamannya, sampai-sampai dia mengatakan: sekalipun dipimpin raja yang adil dan menteri-menteri yang bijak, kalabendu tak akan bisa dihentikan. Ada banyak sisi yang sebenarnya bisa dilihat dari pernyataan Ronggowarsito ini, salah satunya adalah: bahwa sistem-struktur-budaya yang tidak beres, rusak dan kotor, yang oleh Ronggowarsito dianggap telah melahirkan kalabendu; tidak cukup diubah dengan pergantian pemimpin saja.
Seorang pemimpin yang adil sekalipun akan bisa menjadi rusak, atau paling tidak akan dipersepsi sebagai ikut rusak bila dia dikitari dan hidup di tengah sistem-stuktur-budaya yang tak pernah berhenti memproduksi kerusakan. Pergantian pemimpin tidak menjamin berhentinya kalabendu, paling tidak begitulah yang diyakini Ronggowarsito.
Mungkin Ronggowarsito dengan halus sedang bicara dan menuntut dimulainya perubahan secara lebih mendasar, dengan penataan menyeluruh terhadap sistem-struktur-budaya yang berlaku; karena tanpa pemikiran dan upaya yang sungguh-sungguh untuk menjalankan semua ini, akan menyebabkan idiom perubahan terasa sebagai sekedar retorika artifisial yang tak akan mengubah kalabendu.
Mungkin karya Ronggowarsito yang paling populer dan karena itu sering dikutip orang -bahkan sampai sekarang- adalah Serat Kalatidha ini; terutama idiom zaman edan yang dipakai untuk menggambarkan masanya. Sekarang kita sering mendengar orang memakai idiom ini untuk juga menggambarkan kegerahannya terhadap perkembangan zaman dan itu tidak salah.
Penggambaran Ronggowarsito terhadap masanya memang tetap terasa aktual untuk menggambarkan zaman kita. Mimpi-mimpi perubahan dan perbaikan yang berjalan seiring dengan pergantian kepemimpinan belum menampakkan jejaknya dalam kenyataan; dan sebagai bangsa kita pun tercenung: apakah yang tersembunyi di balik ini semua? Benarkah ini semua adalah bencana, adalah adzab? Karena al Qur’an sendiri mengatakan hadirnya pemimpin yang dzalim adalah bentuk bencana akibat kerusakan laku masyarakatnya?
Memang, kenyataan tak pernah harus terbaca secara tunggal. Selalu ada beragam cara baca -yang meski tak mesti sejalan satu sama lain- yang bisa dipakai untuk mengayakan perspektif kita terhadap kenyataan. Pembacaan kita terhadap bencana pun misalnya, tidak mesti menghasilkan keputus-asaan, karena dari sisi lain -paling tidak dari sisi ruhani- bisa juga menghasilkan tenaga harapan. Apalagi, konon, orang yang sangat dicintai Allah pun akan selalu menuai banyak cobaan dalam hidupnya. Cobaan-cobaan yang berfungsi untuk memotong keterikatannya terhadap dunia dan mendorongnya untuk ‘terbang’ ke Tuhannya.
Sebagai ilustrasi, KH. Muslim Rifa’i Imampuro dari Klaten misalnya, saat sedang sakit sering berujar: “Kalau ini hukuman, alhamdulillah, karena ini akan menghapus dosa-dosa sehingga tidak perlu lagi menghadapi hukuman akhiratnya. Kalau ini ujian, lebih alhamdulillah lagi, karena ini bukti cintaNya yang akan mengangkat derajat!”
Nah, kalau cara baca seperti ini yang kita pakai dalam menghadapi kenyataan, segalanya selalu tampak positif dan memberi harapan. Masalahnya: apakah kita memang begitu dicintaiNya, sehingga dia menguyurkan hujan ujian dari langit untuk mengangkat derajat kita? Ataukah ini memang hukuman yang dikirim untuk mengentaskan kita dari dosa bersama sebagai bangsa?
Atau, jangan-jangan selama ini kita malah telah berperan bak Iblis? Melakukan kejahatan, tapi tidak pernah merasa perlu mohon ampunan? Atau lebih gila lagi: jangan-jangan kita malah tak pernah merasakan apalagi menyadari ini semua, dan terus asyik masyuk berselancar dengan kepentingan syahwat. Astaghfirullah.
