Ads
Cakrawala

Belum Terlambat Untuk Pemilu Jurdil

“Sehari keadilan seorang penguasa jauh lebih baik dari 70 tahun beribadah”, Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Pedoman kepemimpinan Rasulullah tersebut dipertegas lagi dengan pesan, kekuasaan dapat kekal beserta kekufuran. Tapi tidak bisa kekal bersama kezaliman. Islam telah banyak mengatur etika kepemimpinan, baik langsung di dalam Alqur’an maupun hadis dan sunah Rasulullah serta ijma’
para ulama. Semua ajaran etika dan moral dalam masyarakat adalah juga merupakan ajaran moral dan etika kepemimpinan. Inti dari semua itu adalah jujur, amanah dan adil, sebagaimana firman-Nya antara lain: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran,” ( An Nahl: 90).

Begitu banyak pedoman untuk bersikap dan berperilaku sebagai pemimpin, baik pemimpin negara, masyarakat maupun agama, namun ada saja, untuk tidak menyatakan banyak, perilaku para pemimpin yang bertolak belakang. Padahal Kanjeng Nabi
Muhammad dan para sahabatnya juga mencontohkan dan menegaskan, “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut. Oleh karena itu pemimpin hendaklah melayani serta menolong orang lain untuk maju.” (Ad Dailami- At Tabrani).

Dengan mengacu pada kaidah-kaidan moral dan etika Islami itulah, ijinkan kita mengetuk hati nurani para abdi negara, khususnya para pelayan masyarakat yang seluruh kegiatan kenegaraannya, bahkan juga gaji dan sejumlah fasilitasnya dibiaya dengan uang pajak rayat, dari bayi di dalam kandungan sampai dengan jenazah yang masuk ke liang lahat, untuk berbesar jiwa dan secara amanah mengelola Pemilihan Umum khususnya Pemilihan Presiden yang kini tengah berlangsung.

Sudah seminggu ini, perang informasi memenuhi jagat media sosial Indonesia. Berbagai informasi, bantahan, juga sejumlah pengakuan dan koreksi menjejali pikiran rakyat banyak. Selasa malam (23 April 2019) di sebuah stasiun televisi misalkan, seorang pejabat Komisi Pemilihan Umum mengakui ada puluhan input data yang salah. Yang menjadi pertanyaan masyarakat,
mengapa kesalahan-kesalahan yang berulang tersebut lebih sering merugikan salah satu Capres dan sebaliknya menguntungkan Capres yang lain.

Manusia memang tidak mungkin luput dari kesalahan. Demikian pula staf yang memasukkan dan mengolah data dari lembar C-1 (catatan angka perolehan di Tempat Pemungutan Suara). Yang menjadi pertanyaan yang harus dijawab dan dijernihkan adalah, apabila kesalahan manusiawi itu berlangsung secara sama
berulangkali. Mungkinkah itu kesalahan manusiawi apa sistemnya yang salah, ataukah sengaja sabotase nekad untuk menguntungkan salah satu Calon, bahkan pertanyaan dan kewaspadaan perlu dikembangkan lebih lanjut, atau sengaja mau mengadu domba masyarakat dan memecah belah bangsa dan
negara.

Kecurigaan serta kewaspadaan semacam itu sangat lazim di dunia intelijen, apabila kejadian yang sama sudah berulang dua sampai tiga kali. Bahkan dalam kurun waktu seminggu ini pula, jagat media sosial, memperoleh peringatan pula dari Mantan Wakil
Kepala Bakin As’ad Said Ali dalam bentuk meme yang berbunyi, “ Dalam tiga hari ini ada kebakaran di fasilitas publik, pasar dan bandara. Waspadalah di tempat masing-masing.” Dalam Pemilu, hawa yang menyelimutinya makin lama bukan makin sejuk dan bersahabat, tapi justru semakin panas dan semakin membelah persatuan. Nilai-nilai persahabatan dan
kebersamaan sebagai sesama hamba-Nya, seperti hendak ditelan oleh nafsu kekuasaan. Padahal kekuasan bukanlah tujuan, melainkan sekadar jalan untuk membangun persahabatan dan kesejahteraan bersama.

Pemilu memang sudah berlangsung dengan segala dinamikanya. Ibarat menanak nasi, untuk menarik mundur kembali dan menjadikannya nasi yang pulen rasanya sangat mustahil. Tetapi makanan bukan hanya nasi, ada juga bubur nan lezat. Marilah kita olah bersama secara gotongroyong sesuai jatidiri yang
tercermin dalam Pancasila, sisa kegiatan Pemilu ini menjadi bubur aneka rasa yang lezat untuk santap malam kita bersama.

Pada Juni 1996, saya bersyukur bisa melihat Pemilu demokratis pertama di Rusia. Suasana sangat mencekam. Banyak keluarga- keluarga staf kedutaan asing yang dipulangkan ke negaranya. Sementara sejumlah gedung Kedutaan Besar di Moskow termasuk
Amerika Serikat, dilindungi benteng perlindungan dari tumpukan karung-karung pasir, kuatir terjadi kerusuhan.

Pemilu di Rusia pada 1996

Pagi hari dilakukan pencoblosan, malamnya bersama Dubes RI Rachmat Witoelar dan Ny. Erna Witoelar, kami melihat perkembangan hasil Pemilu dengan mendatangi sebuah gedung pertemuan besar yang terbuka untuk umum, tentu dengan mendaftar dan meminta tanda pengenal lebih dulu. Di gedung ini
terbentang layar raksasa, juga komputer-komputer yang menggambarkan proses input data hasil coblosan berikut tabulasinya. Proses dilakukan transparan dan kalau ada yang salah langsung bisa dikoreksi. Walhasil Pilpres berlangsung damai.  Petahana Boris Yeltsin yang berkuasa sejak rezim Komunis, memenangkan Pilpres Demokratis Rusia yang Pertama, dan kembali berdansa sembari minum-minum, dan para penantangnya khususnya Jenderal Alexander Lebed menerima dengan besar jiwa kekalahannya

Saya yakin Indonesia juga masih bisa bisa jujur, adil dan transparan menyelesaikan sisa Pemilu ini, dengan melakukan perhuitungan terbuka yang disaksikan oleh wakil-wakli kedua Capres, para peninjau dalam dan luar negeri serta terbuka bagi masyarakat luas. Jika perlu atas kesepakatan bersama batas waktu bisa diundurkan. Toh masa pelantikannya juga masih
menunggu enam bulan lagi, waktu tunggu yang terlalu lama pula. Lebih baik terlambat dari pada mengorbankan persatuan nasional.

Sementara itu di beberapa tempat yang terbukti salah atau hasilnya terbakar dan aneka kesalahan lainnya, seyogyanya bisa diulang kembali dengan proses persaksian yang sama dengan proses penghitungan di atas. Kita yakin, tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan, apalagi menyangkut kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana firman Allah Swt tadi. Allahumma amin.

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading