Ads
Cakrawala

Tendensi Positif, Konsep Sehat Menulis Berita

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Dari banyak ragam jurnalisme, saya ingin berbagi salah satu ragam jurnalisme, yaitu jurnalime kepemimpinan atau leadership journalism (LJ). Yakni praktik jurnalisme yang menekankan pada motif untuk mentransformasikan elan kepemimpinan yang menstimulir energi positif munculnya kepemimpinan dalam berbagai aspeknya untuk dapat menginspirasi pembaca.


Kata elan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI bermakna: semangat perjuangan (hidup, daya cipta) yang menyala-nyala. Dipadu dengan kata kepemimpinan, bermakna aktivitas intelektual seseorang yang menjadikan daya pikir dan nalarnya untuk sungguh-sungguh ia dedikasikan demi menginspirasi pembaca, bukan asal mempublikasikan, dan sekadar memenuhi question words 5W+H seperti diteorikan dalam penulisan berita. Apa yang ditulisnya, bertendensi memotivasi dan menginspirasi pembaca.


LJ dengan demikian, adalah aktivitas sadar dan sengaja menstimulir pembuat berita untuk –pada akhirnya—dilakukannya demi berkontribusi untuk perubahan dalam pemaknaan yang luas. Keyword jurnalistik yang satu ini” perubahan ke arah positif, membangun kecenderungan yang (ke arah yang) lebih baik.


Motivasi hidup, menjadi satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Dengannya, manusia mampu bangkit dari keterpurukan yang sedang dirasakan. “Keterpurukan” di sini, kondisi makro manusia, bukan situasi perorangan atau personal. Sasaran LJ mengeksplorasi kasus mikro atau personal, namun kasus makro masyarakat dalam manusia, mungkin masyarakat manusia dalam lingkup bangsa (dengan bingkai kebangsaan), dan tidak mendalami persoalan atau pembahasan secara kasuistik. LJ mendedikasikan diri dalam pembahasan masalah holistic sebuah bangsa. Mengeksplorasi pembahasan, bukan menajamkan penyajian pada soal-soal mikro. Tema penulisannya bukan tentang kriminalitas, kecelakaan lalu-lintas, pengalaman spiritual seseorang. Juga bukan tentang karier seseorang (dalam bisnis, politik, sosial, dan sebagainya).


Memaknai Motivasi
Motivasi, merupakan sebuah dorongan psikologis dalam mengarahkan seseorang pada sebuah tujuan holistiknya. Motivasi adalah salah satu faktor yang dapat mendorong pewujudan kesuksesan. Dalam sejumlah hal, LJ amat dekat dengan eksplorasi pada isu-isu kebangsaan pada satu sisi dan isu-isu sosial pada ranah lainnya. Motivasi pegiat LJ kerap berkutat pada soal-soal kebangsaan dan sosial dalam bingkai politik, bukan politik praktis, tetapi politik kebangsaan atau politik sosial kebangsaan.
Motivasi pegiat LJ, dipahami sebagai suatu proses yang dilakukan dari dalam maupun luar diri seorang pegiat LJ yang menstimulasi diri untuk mewujudkan arah kebangsaan yang diyakininya. Hal itu pula yang pernah dijalani intelektual sebelum kemerdekaan, melalui media massa mereka berjuang. Kita cermati bagaimana mereka memperjuangkan Indonesia Merdeka ketika Indonesia masih merupakan wacana. Dari sejarah, kita belajar tentang kiprah mereka ketika mereka –semasih di alam penjajahan kolonial Belanda. Saat itu mereka menerbitkan Koran Pemandangan, berpolemik dengan intelektual Belanda dan intelektual bumi putra, terutama menyangkut soal-soal kebangsaan.


Mereka dalam iklim penjajahan, amat siap melawan dengan penanya. Dari dokumen yang ada diketahui mereka juga militan mengkritisi pendiskreditan Islam, misalnya ketika intelektual Belanda membandingkan Hitler dengan Nabi Muhammad, jelas itu isu sensitif dan menggerakkan perlawanan intelektual muslim untuk pemikiran dan mengadu argumentasi melawan intelektual Belanda. Sejumlah nama –zaman itu mereka melakukanintellectual war melalui –salah satunya Koran Pemandangan, media massa yang terbit pada masa penjajahan Belanda. Orang-orang yang menulis di koran itu antara lain: M. Kasman Singodimedjo, Sukarno –yang dikemudian hari menjadi presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta –yang menjadi wakil presiden, Harsono Tjokroaminoto, bahkan Mohammad Natsir yang dikemudian hari menjadi perdana menteri Republik Indonesia, dan sebagainya. Koran Pemandangan pertama kali terbit, 8 April 1933 (dalam bentuk weekbald), pernah mengalami pembredelan oleh penguasa Kolonial Belanda (16 Mei-24 M selamaei 1940, karena menulis “Soembangan Indonesia”), dan dibredel penguasa kolonial Jepang 29 April 1942 (hari itu, memuat gambar yang dipuja Bangsa Jepang diberi bulatan warna merah, Pemimpin Redaksinya ditahan, beberapa stafnya diinterogasi tentara Jepang).


Mengagumkan kalau ditilik di masa sekarang, pada zaman penjajahan Belanda, mereka menerbitkan sebuah Harian bernama Pemandangan. Pengalaman heroik, karena mereka menghadapi situasi terjajah (dalam penguasaan penjajah Belanda, kemudian Jepang, atas dorongan situasional dan kebangsaan yang mereka rasakan ketika itu, mereka mengekspresikan perasaan sebagai bangsa). Masyarakat Indonesia –pasti terutama generasi pendahulu, pernah tahu di Indonesia dalam “tiga zaman” ada Koran Pemandangan yang lahir pada zaman penjajahan Belanda, ketika Jepang berkuasa koran ini masih eksis, kemudian memasuki Indonesia Merdeka koran ini masih eksis sampai Presiden Sukarno melarang koran kritis ini tidak terbit seiring pemberangusan Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia, yang eksis pada era demokrasi Liberal, meskipun Pemandangan tidak menjadi organ partai).
Membangun Semangat


Saya mencoba berefleksi, membayangkan situasi pada ketika Indonesia dijajah bangsa asing. Refleksi saya lebih pada kiprah intelektual pada masa itu. Energi nalar mereka, demikian prima, nyaris “tak ada matinya”, meskipun ada saat-saat mereka berelaksasi, namun bukan berarti jeda dari berpikir, hanya sekadarnya menghibur diri dengan berpikir keindahan, keguyuban pada satu sisi; dan aktivitas kepedulian, perhatian atas derita sesama anak bangsa pada sisi yang lain. Ke dalam, mereka merefleksikan “indahnya alam Indonesia Merdeka”; keluar –mereka memikirkan sesama anak bangsa, kaum bumi putra.


Semangat itu mereka temukan dari proses relaksasi dan hirau pada nasib orang-orang yang kurang beruntung; semangat itu mereka bangun dengan berpikir masa depan yang lebih baik. Mereka sanggup membangun optimism -–khususnya yang berkhidmat di medan jurnalistik pada era sebelum Indonesia Merdeka– menjadikan proses “relaksasi intelektual” sebagai excersise hidup mereka.


Secara leksikal, exercise artinya latihan, penggunaan, gerak badan, pelaksanaan, dan pengamalan; sedangkan arti dalam kata kerja (verb) adalah melakukan, menjalankan, menggunakan, bergerak badan, dan mengadakan. Maka, belajar dari Harian Pemandangan sebuah media massa yang mengalami “tiga zaman: zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman Indonesia Merdeka”. Kita “orang zaman sekarang” harus salut pada isi kepala orang-orang zaman dulu, yang merawat nalar dan hatinya untuk Indonesia (Merdeka), jauh sebelum NKRI dikumandangkan. Tidak berlebihan kalau saya katakan, jurnalisme kepemimpinan bisa merujuk pada aktivitas intelektual yang dilakukan para jurnalis Indonesia pada era penjajahan Belanda, disambung penjajahan Jepang, dipungkasi Indonesia Merdeka (termasuk pada kondisi aktivitas pers zaman itu ketika Presiden memberangus Masyumi dengan alasan para pimpinannya terlibat PRRI). Maka, esensi “jurnalisme kepemimpinan” pada setiap masa, mengabdi pada kebenaran (truthfulness), keadilan (fairness), kesetaraan (egalitarianism), dan selalu memiliki motif berkontribusi untuk memperbaiki sebagai never ending improvement. Tidak lebih dari itu, baik ketika belum dikenal maupun setelah menjadi paradigma penulisan berita.

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading