Ads
Cakrawala

Jejak Langkah Pemimpin Muhammadiyah  (2): Kiai Ahmad Dahlan

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Pada tahun-tahun pertama berdirinya  Muhammadiyah memfokuskan ruang geraknya di lingkungan Kauman. Baru pada tahun 1917 persyarikatan ini mulai memperluas wilayah gerakannya, dengan memanfaatkan momentum kongres BO yang kebetulan berlangsung di rumah Ahmad Dahlan. Kongres tersebut dimanfaatkan oleh Ahmad Dahlan untuk mengenalkan pokok-pokok pikrannya tentang pembaruan Islam kepada seluruh peserta.

Hal ini, ternyata cukup berhasil karena terbukti banyak yang tertarik untuk bergabung dan mendirikan cabang Muhammadiyah di berbagai daerah, khususnya Pulau Jawa. Pembukaan cabang-cabang Muhammadiyah itu baru terwujud setelah anggaran dasar Muhammadiyah yang hanya membatasi ruang dakwahnya di daerah Kauman diubah. Setahun berikutnya, Muhammadiyah sudah menyebar ke seluruh Indonesia, terutama di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), termasuk di Surabaya yang waktu itu justru dikenal sebagai basis kalangan Islam tradisional.

Muhammadiyah begitu cepat diterima di masyarakat perkotaan antara lain disebabkan oleh faktor pergaulan Ahmad Dahlan yang begitu luwes dan luas, di samping memang ajaran-ajarannya dinilai tidak kaku, cukup terbuka terhadap pikiran-pikiran dari luar selain berdampak pada kemaslahatan umat serta tidak bertentangan dengan akidah Islam yang bersumberkan Al-Quran dan hadis. Selain itu, di sela-sela kesibukannya sebagai mubalig, guru, dan organisatoris, Dahlan adalah seorang pedagang batik. Profesi itu memungkinkan dirinya berkenalan dengan para pedagang dari daerah lain yang notabene memilik pemikiran yang sama dengan Dahlan tentang pembaruan Islam.

Terlebih, Dahlan dikenal aktif sebagai penasihat Sarekat Islam (SI), yang ketika didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1911 bernama Sarekat Dagang Islam. SDI didirikan oleh para pedagang batik untuk menghadapi superioritas para pedagang Cina terhadap pedagang Pribumi, sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina pada tahun 1911. Setahun kemudian SDI berubah menjadi SI dan lebih memfokuskan pada kegiatan politik. Selain di SI. Dahlan juga bergabung di Jamiat Khair (1910), dan aktif berhubungan dengan organisasi pembaruan lain seperti Persatuan Islam (Persis).

Pada sisi lain, profesinya sebagai pedagang membuatnya  mandiri, jauh dari pamrih ekonomi saat berjuang di Muhammadiyah. Kemandirian itu pula yang barangkali menjadi dasar salah satu ucapannya., yang kemudian menjadi diktum perjuangan Muhammadiyah: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan hidup dari Muhammadiyah.”

Demi Muhammadiyah ia rela uang pribadinya dipakai, bahkan sempat berutang untuk membayar gaji guru-guru. Untuk Muhammadiyah pula ia merelakan seluruh barang-barangnya, perkakas rumah tangga, dan pakaiannya untuk dilelang. Dari hasil lelang yang senilai 4.000 gulden ia hanya mengambil 60 gulden untuk kebutuhannya.

Meski demikian, pada awal-awal perjalanannya, Muhammadiyah banyak mendapat tantangan baik dari pemerintah kolonial, kaum nasionalis, maupun dari beberapa kelompok masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi keberagamaan yang lama. Bagi pemerintah kolonial, sekalipun mereka menyatakan netral terhadap semua agama di Indonesia, kenyataannya tidak demikian terhadap Islam. Hal ini karena kebijakan politik Belanda yang bertujuan melemahkan kekuatan Islam.

Terlebih ketika Muhamadiyah semakin memiliki pengaruh kuat di masyarakat dipandang oleh Belanda sebagai ancaman yang bisa menggoyahkan wibawa mereka. Karena itu, Belanda pun mencoba menghambat dan membatasi ruang gerak Muhammadiyah. Sebagai contoh, Belanda pernah melarang tablig para akitivis Muhammadiyah. Begitu pula para guru Muhammadiyah dilarang untuk mengajar. Belanda pernah pula membuat peraturan, setiap shalat Id digelar di lapangan, harus mendapat izin dari polisi kolonial.

Sementara itu kaum nasionalis menuding Muhammadiyah memiliki hubungan dan bekerja sama dengan Belanda, hanya karena organisasi ini tidak menggunakan politik sebagai dasar gerakannya. Yang menarik justru pergesekan Muhammadiyah dengan masyarakat Islam berbasis pesantren. Muhammadiyah memandang kaum “tradisionalis” telah terkungkung dalam ritus ubudiyah yang tercampur dengan segala bid’ah dan khurafat, sehingga jauh dari ajaran Islam sebenarnya. Di sisi lain kaum Islam tradisional melihat apa yang dilakukan Muhammadiyah adalah sebuah ancaman.

Terlebih ketika Muhammadiyah membuka cabang di Surabaya pada 1 November 1920 yang diresmikan langsung oleh Ahmad Dahlan. Padahal, daerah itu khususnya kawasan Kepanjen, merupakan basis kaum Islam “tradisionalis”. Ini tentu saja membuat kalangan “tradisionalis” tersinggung. Sejak saat itulah pergesekan antara Muhammadiyah dengan kaum tradisionalis tidak terelakkan. Kondisi ini semakin memanas manakala berlangsung Kongres Al-Islam I pada tahun 1922 di Cirebon. Ketika itu, para pembaru dari Muhammadiyah, Sarekat Islam, Al-Irsyad, dan dari kalangan “tradisionalis” ikut serta dalam acara tersebut. Kongres berubah menjadi sebuah perdebatan, antara kaum pembaru dan kaum “tradisionalis”.

Akhir 1922 Ahmad Dahlan mulai jatuh sakit yang kian hari semakin parah. Sesuai nasihat dokter dan para sahabatnya, Ahmad Dahlan lalu beristirahat di Tretes, Jawa Timur. Dalam kondisi kesehatan yang sangat buruk itu, Dahlan tetap melanjutkan aktivitas dakwah sosialnya. Bersama penduduk setempat ia berhasil mendirikan sekolah dan lembaga pendidikan.

Sakitnya semakin parah, sehingga harus dibawa kembali ke Yogyakarta. Melihat kondisi tersebut, Nyai Ahmad Dahlan meminta agar suaminya beristirahat total. Demikian pula para sahabatnya. Dengan halus Dahlan menolak permohonan istri dan para sahabatnya itu.

Dalam Kongres Muhammadiyah, Desember 1922 di tengah sakitnya yang semakin parah, Ahmad masih menyampaikan pidato yang transkripnya diterbitkan Hoofd Bestuur Majelis Pustaka tahun 1923 dengan judul “Tali Pengikat Hidup”. Bulan Februari 1923, ia masih sempat meresmikan berdirinya Rumah Sakit PKU yang pertama di Yogyakarta. Dan tak lama setelah itu, dalam usia 55 tahun, Ahmad Dahlan wafat dengan meninggalkan sejumlah amal warisan sosial.

Ia memimpin langsung Muhmmdiyah hanya 10 tahun 3 bulan. Meski demikian, hampir satu abad kemudian, gagasan, karya dan amalnya telah mampu mengubah pola kehidupan keagamaan pemeluk Islam agama ini menjadi fungsional. Dulu, khutbah Jum’at di masjid-masjid yang disampaikan tidak dengan bahasa Arab, kini hampir di semua pelosok negeri khutbah-khutbah disampaikan dengan bahasa Indonesia, Jawa atau bahasa setempat.

Jika pada 1925 (dua tahun setelah meninggalnya Ahmad Dahlan), baru mempunyai 29 cabang dengan 4.000 anggota, maka saat ini Muhammadiyah telah memiliki ribuan cabang,dengan kurang lebih 30 juta anggota dan simpatisan. Di beberapa negara jiran pun Muhammadiyah telah memiliki cabang. Di antaranya di Singapura dan Malaysia.

Meski pada awalnya fokus perhatian Muhammadiyah hanya pada bidang dakwah dan pendidikan, dalam perjalanannya telah melebar menjadi sebuah gerakan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan secara umum dengan memiliki sejumlah amal usaha. Amal-amal usaha yang dikelola Muhmmadiyah saat ini, meliputi 300 lebih rumah sakit, panti asuhan, bank, dan sekolah dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Tanah Air. Cendekiawan Muslim  Prof. Nurcholish Madjid pernah mengatakan, bahwa Muhammadiyah, dilihat dari segi amal usahanya, merupakan organisasi massa Islam terbesar di dunia.

Pemahaman Keagamaan Ahmad Dahlan

Semasa hidupnya Ahmad Dahlan tidak banyak meninggalkan karya tulis, kecuali dua buah dokumen yang disampaikan dalam Kongres Islam I, dan yang diterbitkan HB Majelis Pustaka beberapa bulan sesudah ia wafat pada 1923. Dua dokumen itu mencerminkan pemikiran kritis, penguasaan berbagai cabang ilmu dan filsafat, serta pandangannya terhadap masyarakat dan peran Islam dalam pengembangan peradaban Islam. Di dalamnya juga tercermin konsepnya tentang metodologi dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam dari sumber utama Al-Qur’an.

Ahmad Dahlan memahami Islam melalui serangkaian pengalaman batin, intelektual, maupun spiritual yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sungguhpun demikian, pemahaman keagamaan Ahmad Dahlan ini terbagi dalam dua fase. Fase pertama adalah saat ini menunaikan ibadah hajinya yang pertama tahun 1889 yang lebih pada pemahaman pemurnian ajaran Islam, dan fase kedua ketika ia menunaikan ibadah haji kedua tahun 1903, yang telah maju pada upaya pembaruan Islam.

Pada fase pertama ini, selain menunaikan ibadah hajinya yang pertama, ia juga termotivasi untuk memperdalam ilmu agama Islam, karena saat itu Timur Tengah telah menjadi pusat studi Islam yang banyak dikunjungi umat Islam. Dalam pengembaraannya itu, Ahmad Dahlan mengalami semacam kegelisahan. Di satu sisi, ia melihat Islam yang ditransformasikan Nabi Muhammad SAW mampu membawa perubahan besar bagi masyarakatnya. Sementara di sisi lain, ia melihat Islam sama sekali tidak mampu melakukan perubahan.

Namun pengembaraannya selama kurun waktu setahun itu tidak mampu menjawab kegelisahannya selama ini. Ia belum sampai pada titik kesimpulan tentang pemikiran Islam yang sebenarnya, meskipun wawasan keislamannya bertambah dan pemikirannnya menjadi lebih luas daripada sebelum naik haji.

Karena itu, sepulangnya dari berhaji, Ahmad Dahlan baru mampu mengaktualisasikan pemahaman keagamaannya ‘hanya’ terlihat dari gerak langkahnya dalam memprakarsai pertemuan ulama untuk membahas masalah arah kiblat (1897), masalah shaf atau garis shalat (1897), serta pembangunan dan pembongkaran langar (1898). Fokus kegiatan pemurnian ajaran Islam ini setidaknya berlangsung dalam kurun waktu 14 tahun sejak menunaikan ibadah hajinya yang pertama tahun 1889 sampai menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903. Kenapa gerakan dakwah yang dilakukan Ahmad Dahlan waktu itu baru sebatas pada upaya pemurnian ajaran Islam, belum kepada pembaruan ajaran Islam? Ini bisa dimengerti kaena pada fase itu Ahmad Dahlan belum menemukan metode efektif untuk memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Kondisi ini berubah setelah ia menunaikan hajinya yang kedua.

Saat menunaikan ibadah hajinya yang kedua itulah Ahmad Dahlan banyak memanfaatkan waktunya untuk terus menajamkan pencarian jawaban atas metodologi pemahaman dan aktualisasi ajaran Islam serta ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Ia banyak mebangun jaringan dengan ulama lokal dan internasional. Ia juga banyak mempelajari kitab-kitab yang disusun oleh pemimpin Islam yang menganjurkan untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Di antaranya adalah karya-karya Ibn Taimiah, Ibn Qaiyim, Muhammad Ibn Abdil Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammmad Abduh, Muhammad Rashid Ridha, Farid Wajdi dan Rahmatullah Al-Hindi. Dalam menelaah kitab-kitab tersebut, Ahmad Dahlan melakukan perbandingan dan mendiskusikannya dengan para ulama lokal dan internasional.

Pada periode kedua itu pula, Ahmad Dahlan sempat bertemu dan bertukar pikiran tentang masalah-masalah keislaman dengan Muhammad Rashid Ridha. Ahmad Dahlan juga mengembangkan telaah Islam langsung dari sumber utamanya Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan akal dan hati. Lewat metode inilah, ia merasa misalnya, Ahmad Dahlan tidak berhenti pada tataran teori, tetapi diteruskan pada tataran praksis, yaitu melakukan aksi kemasyarakatan. Dengan demikian, metode pemahaman dan pengamalan Islm Ahmad Dahlan adalah rasional-fungsional.

Rasional dalam arti menelaah sumber utama ajaran Islam dengan kebebasan ajaran akal pikiran dan kejernihan akal nurani, sekaligus membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri, dalam arti tafsir ayat dengan ayat (termasuk hadis). Fungsional dalam arti kelanjutan dan tuntutan hasil pemahaman tersebut adalah aksi sosial, yaitu melakukan perbaikan masyarakat. Metode inilah yang khas pada Ahmad Dahlan; pemahaman sekaligus pengamalan, pemikiran sekaligus aksi sosial.

Ada penjelasan naratif yang menunjukkan bahwa Dahlan pernah bertemu dan berinteraksi langsung dengan beberapa tokoh Kristen terkemuka. Penjelasan-penjelasan tersebut diceritakan berkali-kali  oleh orang-orang yang menulis tentang Dahlan dan Muhammdiyah secara berlebihan. Pada cerita-cerita itu Dahlan dikesankan sangat menguasai ajaran-ajaran Kristen dan mampu mengungguli rakan-rekannya di kalangan kristen dalam perdebatan mengenai masalah agama.

Dilaporkan bahwa Dahlan sering bertemu dengan misionaris Kristen bernama Domine Baker. Menurut laporan yang terkesan memuji-muji itu, Dahlan menantang bahwa seandainya Baker mau meninggalkan Kristen, maka dia akan menemukan kebenaran Islam.  Diceritakan bahwa Baker enggan memenuhi tantangan tersebut, diduga karena Baker “takut menghadapi hasil akhir perdebatan tersebut.” Akibatnya Baker memutuskan mengemasi barang-barangnya dan segera kembali ke Belanda untuk selamanya. Namun demikian, laporan itu melanjutkan  bahwa akibat pertemuan tersebut, dua orang pengikut Baker kemudian meninggalkan Kristen dan memeluk Islam.

Ada penjelasan lain, dengan pola yang sama, saat Dahlan diduga mengajukan tantangan terhadap Dr. Zwemer – seorang misionaris Amerika yang ditunjuk untuk menyebarkan Injil  di kalangan bangsa Asia termasuk Indonesia. Di samping laporan tadi, pertukaran pandangan antara  Dahlan dengan tokoh misionaris Kristen lain Dr. Laberton, juga dilaporkan dengan nada pujian yang  berlebih-lebihan.

Selain Dahlan digambarkan mampu mengungguli lawan-lawan debatnya, tidak satu pun dari berbagai biografi Dahlan tersebut yang memberikan penjelasan autentik mengenai perjumpaan Dahlan yang sesungguhnya dengan orang-orang Kristen di Indonesia. Namun demikian dari sebagian biografi itu umumnya tersirat kesan bahwa hubungan Dahlan dengan kalangan Kristen lebih bersifat persahabatan dan bukan konfrontasi.

Memang terdapat cukup tanda-tanda yang mengindikasikan sikap damai dan toleran yang tulus dari  Dahlan terhadap kelompok-kelompok Kristen. Dia berhasil menjalin kontak dan persahabatan yang erat dengan banyak pendeta Kristen. Oleh karena itu, semua indikasi menunjukkan bahwa Dahlan menggunakan pendekatan yang lunak dan moderat dalam perjumpaannya dengan kalangan Kristen.

Dahlan berusaha menghindari konfrontasi dengan pihak mana pun termasuk misi kristen. Sebaliknya, dia mengarahkan pandangannya melampaui segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan ke arah tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kesadaran Islami para pengikutnya. Oleh karena itu, bagi Dahlan, perjumpaan itu lebih terekspresikan dalam bentuk persaingan dalam membangun lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan, ketimbang terlibat dalam semacam konfrontasi langsung.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading