Religiositas, bagi Dwiki Dharmawan, lebih bersifat perwujudan rasa syukur atas limpahan karunia-Nya. “Sehingga, aku pun makin selektif saat mengekspresikan gagasan. Kalau lagu-lagu cinta, masih bolehlah, asal tidak dieksploitasi berlebihan, “ ujar suami penyanyi Ita Purnamasari kepada Agung Rulianto dan Iqbal Setyarso dari Panjimas.
Dalam kehidupan sehari-hari aku tak pernah memaksa istriku dalam berpenampilan. Tetapi Ita dengan kesadaran sendiri mulai membenahi penampilannya. Menurutku, dalam berbusana dia semakin santun. Memang tidak semua artis berbusana minim bermaksud negatif. Busana semacam itu sudah telanjur melekat dalam budaya pop sehingga menjadi semacam kebiasaan. Mungkin, memang butuh sentuhan yang lembut menuju perbaikan. Dari kita yang sudah sadar inilah semua dimulai.
Aku sendiri bukan orang yang ekstrem dalam menilai orang lain. Misalnya soal busana, ada yang mengenakan busana muslimah saat di atas panggung, sesudah itu dicopot lagi. Terhadap mereka ini, tak perlu kita antipati. Bersikap haluslah dalam menyampaikan pengertian. Alhamdulillah, tak sedikit dari mereka yang berangsur-angsur membaik bahkan keterusan tampil sopan. Pakaian mini mereka berikan kepada orang lain. Mereka malu mengenakan busana minim.
Aku ingat, suatu ketika perusahaan iklan menggelar acara. Seorang penyanyi diminta menyanyikan lagu karyaku Dengan Nama Allah. Oleh stage director nya dia diminta memakai kerudung saat menyanyikan lagu itu. Sesudahnya, saat menyanyikan lagu lain, kerudung itu dilepas. Mengetahui rencana itu, kukatakan kepada penyanyi itu: “Jangan pakai kerudung saja sekalian. Pakailah busana biasa, dan nyanyikan lagu itu.” Menurutku, menyanyikan lagu Dengan Nama Allah, tidak selalu harus berkerudung. Itu lagu universal. Daripada dia saat tampil pada lagu kedua harus melepas kerudung, lebih baik tak pakai kerudung, bisa-bisa dianggap melecehkan. Belakangan aku tahu, stage director nya orang bule yang nggak tahu mendalam mengenai makna lagu dan agama. Dia hanya menangkap nuansanya saja.
Tentang artis menjadi da’i? Wah, aku sendiri cukup menggerakkan teman-teman ke pengajian. Aku nggak bisa menjadi da’i. Paling kebagian menghibur saja. Namun, aku suka ikut diskusi masalah Islam. Sedangkan memberi semacam fatwa, bukan bidangku. Terlalu besar risikonya. Sekalipun demikian, melihat teman-teman artis terjun ke dunia dakwah, itu hal positif. Kehadiran mereka di depan generasi muda melalui pesantren kilat meskipun porsinya penghibur, merupakan gejala baik.
Terus terang, jika seorang artis ikut menjadi penceramah, belum tentu bisa. Apalagi jika “ustadz artis” ini melayani pertanyaan dari ustaz beneran, karena si ustaz dari daerah mungkin kagum kepada si artis. Itu sudah nggak bener. Seniman punya kemampuan tersendiri, seperti juga wartawan dalam menulis.
Kalau ada yang menduga pernikahanku terkait dengan menguatnya rasa keagamaan, saya kira pendapat itu kurang pas. Religiositas, bagiku, lebih bersifat perwujudan rasa syukur atas limpahan karunia-Nya. Sehingga, aku pun makin selektif saat mengekspresikan gagasan. Kalau lagu-lagu cinta, masih bolehlah, asal tidak dieksploitasi berlebihan.
Sekalipun demikian, sebelum dan setelah menikah ada perbedaan dalam sikap. Dulu dalam beberapa hal aku agak menggampangkan agama. Sering salah kaprah, seakan-akan kalau sedang sibuk, entar dulu salatnya, bisa nanti. Tetapi pelan-pelan, pandangan itu kubenahi. Kalau lagi meeting misalnya, aku pikir seharusnya bisa dihentikan sebentar untuk salat. Ini lebih gampang kita lakukan, kalau kita yang jadi bos. Bisa menentukan saat break.
Suasana islami dalam rumah tangga memang aku upayakan. Setidaknya dalam salat berjamaah kucoba mengimami istri. Kalau mengimami banyak orang aku belum berani, karena menurutku imam itu bukan hanya saat salat. Di lingkungan kerja, staf saya di studio rata-rata pintar mengaji. Termasuk pembantu saya di rumah setiap malam mengaji. Suatu kali, keponakan saya di rumah mendengar pembantu kami mengaji. Dia bertanya, “Om Dwiki dan Tante Ita kok nggak ngaji, sih?” Saya tersadar, diingetin bocah itu.
Memang ada yang bertanya, akankah Dwiki betul-betul mengarah ke musik rohani? Aku masih takut. Maklumlah, di Indonesia orang masih gampang berkomentar yang nggak–nggak. Aku takkan pernah bilang, ini lagu rohani atau diberi label semacam itu. Aku masih khawatir. Lebih baik tanpa lebel “lagu rohani”, tetapi nuansanya menyentuh religiositas pendengar sehingga tidak membebaniku. Seperti halnya label halal akan menjadi beban kalau si produsen nggak yakin produk nya betul-betul halal. Saat ini aku ingin membuat lagu-lagu yang aransemennya seperti pop, tetapi isinya lebih banyak menyiratkan kebersamaan, ketenteraman, dan kedamaian.
Soal Dwiki yang katanya agamis ini, aku berterima kasih bila dikatakan proses sadar ini jalannya rasional. Memang, ada pengalaman luar biasa ketika aku umrah tahun 1994. Sendiri, dan belum menikah. Saat aku sendiri di depan Baitullah, tepat di bulan Ramadan. Tanpa terasa meleleh air mataku, merasa asyik sendiri sampai-sampai nyaris ketinggalan rombongan. Saat itu aku merasa amat disayang Allah. Aku bisa bilang begitu, karena aku sendirilah yang tahu mengenai diriku, mulai lahir sampai saat ini.
Saat itu, aku sempat bertanya soal jodoh. Siapa jodoh terbaikku? Sepulangnya, muncul kesungguhanku menemui orangtua Ita. Saat kuutarakan maksudku untuk menikahi Ita, orangtua Ita malah menjawab, “Ya, selekasnya saja.” Percaya nggak percaya, inilah hasil doa di depan Ka`bah. Bahkan, di depan Ka’bah aku sempat mendoakan dua orang nenekku yang sudah sakit parah. Keduanya, ikut ibuku. Tak disangka-sangka, sepulangku di Tanah Air, nenekku malah sembuh.
Sepulang umrah, membubung semangatku menciptakan karya bernuansa religius. Prosesnya menjadi mudah. Kerja sama dalam pembuatan iklan makin selektif. Iklan bir aku sudah tak mau terlibat, kalau rokok, masih. Aku mulai membuat lagu bernuansa Islam pertama dalam “Dengan Menyebut Nama Allah”. Disusul lagu Kepada Kesangsian. Aku merencanakan mengeluarkan lagu itu lagi dalam versi yang lebih bagus. Lagu berikutnya ku garap bersama Emha Ainun Nadjib, judulnya Allahu Akbar. Selain mencipta, aku ikut pula menjadi supervisi lagu-lagu kelompok Snada atas ajakan mereka.
Aku memang orang di jalur seni, tetapi tidak salah kan kalau aku ikut memprihatinkan pertikaian di tubuh umat Islam. Indonesia memang amat kompleks, termasuk kelompok-kelompok Islamnya. Ngeri, kalau membayangkan, Yugoslavia berangsur-angsur menjadi porak-poranda ketika pemersatunya, Bros Tito, meninggal. Aku ngeri membayangkan fenomena seperti itu. Sebagai muslim, yang dipegang banyak umat Islam, aku berharap pemerintah berintrospeksi lebih jauh. Setiap keberhasilan, pasti ada kelemahannya. Ini kaitannya dengan kelanjutan generasi. Saat ini kami memang belum dikaruniai anak. Tetapi, aku sudah merenungkan soal anak. Aku janjikan pada diriku, akan memberi perhatian besar terhadap anak. Kurasakan dekapan orangtua semasa kecil, luar biasa perannya dalam menguatkan kepribadian.
Dalam pendidikan anak, aku ikut senang maraknya Taman Pengajian Anak (TPA) belakangan ini. Ada TK Al-Qur’an, yang santri-santri kecilnya sudah hafal dan fasih bacaan Al-Qur’an. Aku ingin kelak menyertakan anakku ke TK Al-Qur’an. Ini harus sedari kecil. Kalau sudah gede, bakalan susah. Aku ingin mengajarkan anakku mandiri, dalam arti bisa menghargai sesama, punya etos kerja.
Selain itu, aku ingin anakku lebih dariku. Jangan cuma kayak bapaknya, kuliah nggak selesai. Aku ingin menyekolahkan anak hingga ke luar negeri sekalipun. Tentu dengan bekal Islam yang mantap. Aku mau jungkir balik menyekolahkannya. Ambisi ini amat dipengaruhi masa kecilku, memperoleh didikan orangtua dengan baik. Selain itu, aku menambahnya dengan ikut pengajian dare bergaul dengan siapa saja. Mudah-mudahan aku tidak termasuk artis yang bergaul dengan yang nggak-nggak. Bergaul dengan beragam lapisan membuatku memahami berbagai hal, sekaligus menemukan nilai universal Islam.
Aku tak habis pikir terhadap artis yang kukuh memegang paham seni untuk seni. Seorang artis bisa dengan enteng beradegan ciuman dengan lawan jenisnya. Karya visual memang banyak bahayanya. Pada musik bisa lebih fleksibel. Aku sendiri melarang Ita main sinetron.
Pilihan sikap dalam keseharian dan dalam berkarya, katakanlah menjadi religius, berarti ikhtiar mematuhi batasan-batasan. Apa aku menjadi terkurung? Kuakui, ya. Tetapi, dalam kondisi itu aku menjadi produktif, lebih kreatif. Dalam ruang terbatas, begitu banyak hal yang bisa kita hasilkan tanpa melanggarnya. Bagiku, batasan religius itu masih terasa luas. Amat luas. Dengan batasan seperti ini saja, rasanya masya Allah. Aku belum mampu berbuat banyak.