Ads
Tafsir

Tafsir Ayat Haji: Masukilah Rumah dari Pintunya

photo of people gathered at kaaba mecca saudi arabia
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan sabit. Katakan,”Itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji.” Bukanlah kebajikan bahwa kamu mendatangi rumah dari punggungnya, sebaliknya kebajikan itu orang yang memelihara diri. Datangilah rumah dari pintu-pintunya, dan peliharalah dirimu di hadapan Allah agarkamu berjaya. (Q. 2:189).

Ini ayat kedua, dalam kitab Quran, yang menyebut ibadah haji. Ayat pertama adalah (Q. 2:158): “Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Al-Bait atau berumrah, tidak mengapa mengedar di antara keduanya. Dan barangsiapa berbuat kebajikan – lebih atas dasar suka sendiri – maka Allah Maha Berterimakasih dan Mahatahu.” Disebutkan di situ “tidak mengapa mengedar di antara keduanya” karena Shafa dan Marwah, di zaman jahiliah, dijadikan tempat berbagai berhala. Padahal sa’i di antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu komponen ibadah haji. Jadi, tidak mengapa bersa’i di situ meskipun itu bekas tempat berbagai arca.

Adapun dalam ayat di atas, seperti dituliskan Hasyiyah ash-Shawi untuk Al-Jalalain, tafsir As-Suyuti dan Al-Mahalli dari abad 9-10 M., Allah membawa berita kepada kita dengan dua ungkapan dan memberikan perintah kepada kita juga dengan dua ungkapan. Firman-Nya “Bukanlah kebajikan bahwa kamu mendatangi rumah dari punggungnya” adalah ungkapan berita yang diiringi oleh perintah “Datangilah rumah dari pintu-pintunya.” Sedangkan firman-Nya  “Sebaliknya kebajikan itu orang yang memelihara diri” adalah ungkapan berita yang diiringi perintah “peliharalah dirimu di hadapan Allah.” (Shawi, Hasiyah, I:87n)

Lebih penting, dari ayat itu juga bisa ditarik ke luar tiga pokok. Pertama, tanda-tanda waktu, termasuk di dalamnya waktu-waktu tertentu bagi ibadah haji.  Seperti kata Al-Qaffal, disebutnya ibadah haji secara tersendiri (eksplisit) di dalam ayat itu merupakan penjelasan bahwa haji adalah ibadah yang terkurung hanya dalam bulan-bulan yang ditentukan (Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasinnut Ta’wil, I:130. Kedua, sebuah kebiasaan buruk yang merupakan sisa budaya jahiliah di kalangan Arab sehubungan dengan haji, yang disebut sebagai “mendatangi rumah dari belakang”. Dan yang ketiga, arti simbolik dari pokok yang kedua itu.

Yang bertanya tentang bulan sabit, seperti disebutkan dalam ayat di atas (lihat terjemahan), adalah Mu’adz ibn Jabal dan Tsa’labah ibn Ghanim, r.a. Mereka bilang kepada Nabi s.a.w.: “Ada apa dengan bulan sabit itu? Ia muncul kecil seperti benang, lalu bertambah, sampai sempurna, kemudian terus-menerus menyusut sehingga kembali seperti semula.”

Itu sebenarnya pertanyaan yang tak jelas. Tetapi banyak mufasir, seperti Sa’id al-Baidhawi (w. 685 H.) menganggapnya antara lain sebagai pertanyaan tentang hikmah, atau “manfaat”, dari perubahan bentuk bulan itu. Dan hikmah itu lalu ditugaskan oleh Allah kepada Nabi-Nya untuk disampaikan sebagai jawaban. Yakni, perubahan-perubahan itu dimaksudkan sebagai tanda waktu bagi manusia untuk pelaksanaan berbagai pekerjaan mereka, juga untuk ibadat-ibadat yang memang bergantung kepada waktu, khususnya ibadah haji.

Itu yang petama. Yang kedua mengenai satu kebiasaan buruk orang Anshar, penduduk muslim Madiah. Bila mereka berada dalam ihram, mereka berpantang masuk ke rumah, juga kemah, dari pintunya, melainkan dari lubang maupun celah di belakangya (Abu Sa’id al-Baidhawi, Anwarut Tanzil waAsrarut Ta’wil, I:2210. Menurut Az-Zamakhsyari, orang yang tinggal di permukiman biasanya melubangi atap rumahnya, untuk keluar-masuk. Bisa juga mereka naik dengan tangga. Adapun orang badui keluar dari belakang kemah. (Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaqit Tanzil wa ‘Uynil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil, I:240). Sedangkan menurut As-Shawi, membuat lubang di atap itu mereka lakukan untuk menghindari berlindung di bawah sesuatu. Itu bagi penduduk kota. Adapun para badui, mereka menyobek (sebelah atas) kemah. Dua-duanya menyangka bahwa menjaga kepala agar tak terlindung, kecuali dari langit, pada waktu ihram, merupakan kebajikan (supaya doa-doa bisa mentok ke langit,  pen). (Hasyiyah, I:87n). Karena itu diterangkan, dalam ayat ini, bahwa yang seperti itu bukan kebajikan, sebab yang namanya kebajikan adalah kebajikan orang yang memelihara diri dari segala yang diharamkan dan dari berbagai syahwat. Itulah yang disebut takwa.

Bersambung                      

Penulis:  H. Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas.  Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Sumber: Majalah Panjimas, 6-19 Februari 2003

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading