Ads
Cakrawala

Memilih Hidup Bahagia di Desa atau Di Kota

Desa dan kota adalah pilihan manusia untuk hidup dan beraktivitas. Seseorang selalu dituntut untuk memilih apakah akan hidup di tanah kelahirannya atau merantau ke kota. Ketika kita tinggal di desa kita membayangkan kota adalah tempat tinggal atau kehidupan yang serba sempurna. Kehidupan yang serba mudah dengan berbagai fasilitas yang meringankan hidup manusia. Air gampang didapat, hanya dengan membuka kran, air sudah mengucur. Penerangan sangat jelas, cukup dengan menekan tombol listrik, sinarnya menerangi ruangan. Bandingkan dengan di desa,  air yang sulit dengan mengambil dari sumber mata air dengan berjalan kaki cukup jauh. Dan, lampu menggunakan penerangan tradisional dengan memakai minyak tanah.

Di atas adalah sedikit cuplikan kenangan masa lalu ketika membayangkan kehidupan yang serba menyenangkan di perkotaan. Tentu saja bukan sebatas hal itu yang menjadikan daya tarik kota. Kota- kota dilihat gampang mendatangkan penghasilan, lapangan  pekerjaan banyak dan uang mudah didapat. Demikian juga anggapan jika ingin maju dan menjadi orang pintar, orang terkenal, berpendidikan tinggi, maka di kota tempatnya. Hal yang menggiurkan lainnya, kota adalah tempat yang menyenangkan, banyak tempat hiburan dan aneka rekreasi yang bisa dikunjungi.

Sebenarnya, apakah hidup di perkotaan itu menyenangkan?  Sesungguhnya anggapan tentang hidup di kota itu menyenangkan rasanya tidak selamanya benar. Tampaknya, apa yang disebutkan bahagia dan menyenangkan itu relatif dan subjektif sifatnya.

Saat ini kota-kota, terutama Jakarta sebagai contoh, telah menjadi kota besar yang secara sosiologis telah berkembang tanpa terkendali. Penduduk makin padat, bangunan, pusat perbelanjaan, hotel, tumbuh dan berkembang tanpa tertata. Jumlah kendaraan naik pesat dan menimbulkan kemacetan, tidak sebanding dengan panjang jalan.

Perkembangan lapangan kerja juga tidak sebanding dengan pertumbuhan dan jumlah angkatan kerja. Akibatnya, banyak terjadi pengangguran dan menjadi problem sosial dan hukum jika muncul tindak kejahatan. Kota-kota juga  tumbuh dengan lingkungan yang tidak sehat seperti tumbuhnya pemukiman kumuh, rumah-rumah gubuk di pinggir jalur  kereta dan bantaran kali,  serta  sungai yang kotor dan  pemukiman liar. Munculnya pengemis, anak jalanan, prostitusi dan lainnya.

Kota saat ini umumnya telah menyimpan problem sosial yang tidak ringan, yang kalau dikatakan bahwa di kota kita akan menemukan kebahagiaan, tentu tidak sepenuhnya bisa diterima.

Jika kebahagiaan itu diartikan secara materi, kepemilikan fasilitas-fasilitas kehidupan seperti rumah, tanah, kendaraan dan lainnya, seperti juga pangkat, jabatan dan kekuasaan, tentu hanya sebagian kecil orang yang disebut bahagia itu. Tetapi, kebahagiaan tidak cukup hanya pemenuhan materi, manusia juga butuh kenyamanan, ketenangan, keamanan, kesehatan  dan terhindar dari kecemasan, ketakutan dan semacamnya. Di kota besar manusia pasti dihantui kecemasan. Sebab, di kota besar berbagai hal bisa terjadi karena persoalan politik, ekonomi dan  rebutan kekuasaan. Dan seperti perkembangan terakhir kegoncangan yang mengganggu ketenangan  hidup seperti bencana alam, pendemi virus, saat ini   membuat orang cemas karena dampaknya melahirkan penyakit dan kematian.

Demikian juga jika ada bentrokan akibat perebutan politik dan kekuasaan, konflik horisontal, serta  demo atau unjuk rasa mahasiswa dan rakyat, bisa saja terjadi yang membuat semua orang di kota merasa ketakutan

Ketidakbahagiaan di  kota besar karena hidup penuh persaingan, tuntutan kebutuhan cukup besar, selain untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk pendidikan anak. Setiap  orang harus bekerja keras, kadang pergi pagi, pulang bisa malam hari.

Di kota yang bisa bertahan hidup hanyalah yang punya kualifikasi seperti pendidikan, skill dan modal. Pendidikan, karena kota sebagai pusat industri, birokrasi dan profesional membutuhkan tenaga terpelajar, orang yang mempunyai pendidikan yang baik (well educated), inilah yang bisa terserap ke lapangan kerja. Demikian juga orang yang mempunyai skill atau keahlian, ini juga memiliki peluang untuk bekerja dan mendapat penghasilan. Sedangkan orang yang memiliki modal atau finansial bisa membuka usaha untuk berbisnis dan berwiraswasta.

Secara ekonomi memang kehidupan di kota bersifat diskriminatif, artinya hanya orang-orang tertentu dengan kualifikasi keahlian dan pendidikan yang baik yang bisa terserap, namun tentu ada juga pekerjaan yang unskilled dan pekerja kasar yang terdapat di kota, seperti pembantu rumah tangga (PRT),  tetapI belakangan ini dengan  adanya mesin cuci dan laundry, pekerjaan pembantu rumah tangga juga makin tergusur.

Kota-kota juga harus dipahami dalam konteks pergaulan sosial dalam masyarakat. Di kota hubungan-hubungan bersifat formal dan impersonal. Tidak ada intimitas dan kedalaman makna. Keakraban biasanya terjadi karena punya kepentingan dan interes. Di kota meski ada kehidupan yang ramai,  tapi mungkin orang merasa kesepian. Sebab, individualisme, dalam arti orang hanya fokus untuk memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya  Tidak memikirkan kehidupan orang lain. Walaupun sesungguhnya, itu berarti masalah privasi (kesendirian) sangat terjaga di perkotaan.

Di desa orang merasa nyaman karena sepertinya hidup dalam sebuah suasana kekeluargaan yang cukup kuat dan intim, pribadi (personal) dan mendalam. Namun, itu juga berarti kontrol terhadap perilaku  seseorang juga kuat dari masyarakat. Di desa semua orang saling mengenal dan tindak tanduk seseorang segera diketahui oleh semua orang. Kontrol dilakukan melalui adat dan norma-norma kelompok yang dibebankan kepada masyarakat secara informal, tetapi mempunyai sanksi yang cukup berat (Prisma No. 5 Oktober 1974 hal  36). Sebaliknya, di kota kontrol sosial dilakukan secara formal melalui hukum, terutama dilaksanakan oleh polisi  Sanksinya jika terbukti bersalah bisa saja masuk penjara.

Ada hal yang menarik,  sebuah desa yang mempunyai infra struktur yang baik,terutama jalan yang bagus, terhubung dengan kota yang jaraknya tidak terlalu jauh,  masyarakatnya senang hidup dari pertanian, bahkan sebagian yang sudah merantau mau pulang ke kampung untuk bertani.

Jika kehidupan ekonomi berkembang di desa , jalan bisa dilalui transportasi untuk membawa hasil pertanian, itu bisa mendorong ekonomi masyarakat. Berbagai terobosan bisa dilakukan, misalnya,  mengembangkan agro- wisata, wisata alam, mengembangkan berbagai tanaman muda dan lainnya. Keadaan seperti ini mendorong orang  tinggal di desa.

Orang yang jenuh tinggal di kota, atau gagal dalam kehidupan ekonomi di kota bisa kembali ke desa. Mungkin belajar dari kehidupan kota, akan merasa bahagia hidup di desa. Di desa udaranya bersih, makananannya sehat karena banyak sayuran dan alamiah, pola hubungan sosial penuh keakraban, sarat  tolong menolong, gotong royong dan kebersamaan.

Memang kebahagiaan hidup tidak bisa dikesampingkan dengan kecukupan ekonomi. Betapapun alam asri dan lingkungan mendukung, faktor ekonomi juga harus diperhatikan supaya tidak terjadi kepincangan hidup. Di desa dan di kota konsep ini juga berlaku. Tapi, orang di desa yang hidup dengan berkecukupan secara ekonomi lebih berpeluang meraih kebahagiaan. Dibandingkan dengan di kota, sekalipun kaya harta, belum tentu bahagia.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading