Apakah engkau menyayang,
engkaulah ibu
atau bapak
“ (Ummu Kultsum)
Cintamu cinta seorang ibu, yang lembut dan memanja. Atau cinta seorang bapak yang tegas dan mendidik. Engkauah pemimpin yang memangku bayi Ummu Qais, seorang pengikutmu, waktu bertandang ke rumahmu, lalu bayi itu pipis di haribaanmu. Engkaulah yang membukakan pintu, ketika Ali ibn Abi Thalib, keponakanmu yang papa dan sejak kecil kau asuh setelah ayahnya meninggal, datang bersama Abu Bakr dan Utsman ke rumahmu — untuk meminang putrimu. “O, inilah orang yang paling kucintai, lebih dari yang lain,” katamu. Engkaulah yang menyamakan Abu Bakr dengan Ibrahim dan Umar dengan Musa. Kau sebut Abu Bakr dengan mesra, sebagai sahabatmu. Kau sanjung sahabat-sahabatmu yang lain. Kau tebarkan cintamu kepada semua, seperti matahari yang menyebar senyumnya ke seluruh dunia.
Engkaulah mentari, engkau purnama
Engkaulah cahya di atas cahya
Engkauah iksir engkau kasturi
Engkau pelita di setiap dada
(Syaraful Anam, terjemahan Syu’bah Asa)
Tanpa disuruh pun, mereka bakal mencintaimu sepenuh hati, membalas cintamu yang agung dan tulus. Umar yang perkasa itu, sampai tak percaya kala engkau wafat, hingga mengancam membunuh siapa pun yang ngomong engkau meninggal. Semua berduka, semua menangis, semua merasa kehilangan, semua merasa paling engkau sayang. Ka’b ibn Zuhair ibn Abi Salma adalah seorang penyair yang dulunya menggubah puisi yang menjelek-jelekanmu dan sahabatmu. Tapi kemudian, demi mengetahui betapa tinggi budi pekertimu, juga merasakan sentuhan cintamu, berbalik menggubah kumpulan syair pujian kepadamu, yang Banat Su’ad, tapi disebut pula “Qashidatul Burdah”. Ini karena ketika ia menghadapmu pertama kali di Madinah, engkau memberinya penghormatan besar, sampai engkau lepaskan burdah atawa serbanmu – dan kau berikan padanya. Dan engkau cegah para sahabatmu yang hendak membunuhnya, lantaran dibakar amarah.
Kelak akan muncul kupulan syair yang juga dinamai “Qashidatul Burdah”, digubah oleh Imam Al-Bushiri.Seluruhnya 162 bait, 30 di antaranya khusus puji-pujian kepadamu. Selebihnya bait-bait tentang cinta, tentang hawa nafsu, tentang pujian kepada Alquran, dan lain-lain.
Cinta orang kepadamu, juga cintamu, bagaikan air sungai yang terus mengalir. Jernih. Sepanjang waktu. Tak pernah kering, selalu dirasakan kehadirannya,meski engkau telah wafat berabad silam. Mengalirlah puji-pujian kepadamu. Banyak orang menulis maulid,untuk dibaca dalam haflah peringatan kelahiranmu, dalam bentuk puisi dan prosa nan indah. Puisi-puisi pujian, prosa-prosa pujian. Dan untaian cinta. Di antaraya yang terkenal di Indonesia dan masih dibaca di bulan Maulid ini adalah Al-Barjanzi, Ad-Daiba’i, Syaraful Anam, dan Maulidul Azab.
Ya Nabi, salam padamu
Ya Rasul, salam padamu
Kekasih, salam padamu
Salawat Allah selalu untukmu
Terbit purnama di tengah kita
Maka silamlah semua purnama
Bagai cantikmu tak pernah kupandang
Aduhai wajah kegembiraan
(syaraful Anam, terjemahan Syu’bah Asa)
Maulid-maulid itu memang sarat dengan pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. Membacanya, kita seperti berenang di segara cinta. Cinta yang mendalam dan berkilauan. Dan begitu menceburkan diri ke dalam lautan itu, para penulisnya seperti terseret arus yang kuat. Semakin jauh merasuk semakin semakin asyik masyuk ia, mengalirlah untaian-untaian pujian yang seperti tak putus-putusnya, tak puas-puasnya.
Bersambung Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 15 Juli 1998.