Ads
Bintang Zaman Edward W. Said

Edward W. Said (1): Penulis Pidato Yasser Arafat yang Galau dengan Identitasnya

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Edward Said merupakan perpaduan antara pemikir dan aktivis. Dia memandang bahwa seorang intelektual selain menyuarakan kebenaran, juga harus terlibat dalam memperjuangkan keadilan walaupu, untuk itu,  harus menanggung sejumlah risiko. Tetapi mengapa penulis Orientalism ini  senantiasa galau dengan identitasnya?  

Tahun 1999 Edward Said menerbitkan Out of Place. Sebuah memoar yang berisi pengalaman hidup Said  yang menakjubkan yang dia tulis saat menderita  leukemia. Penyakit akut yang diderita  sejak 1992 ini  membuat Said harus berjuang sendirian, persis ketika ia memperjuangkan masalah yang sama kronisnya sejak lebih dari dua dasawarsa perjalanan kariernya sebagai seorang intelektual. Akhirnya dia pun pulang ke alam baka pada 25 September 2003, di sebuah rumah sakit di New York, dalam umur 67 tahun.

Tetapi mengapa out of place? Adakah sesuatu yang salah tempat pada Edward Said yang agnostik ini? Said memang pernah bertanya pada dirnya sendiri, mengapa ia tidak punya latar belakang yang sederhana. Katanya, ia pernah ingin menjadi “Amerika sepenuhnya” atau “Arab sepenuhnya”. Tetapi nasib rupanya berbicara lain. Dalam buku itu Said memang mengawali tulisannya dengan sebuah refleksi atas tragedi dan keterasingan dirinya terhadap asal-usul nama, bahasa, lingkungan, dan tempat tinggal keluarganya yang selalu berpindah-pindah. Hampir sepanjang hidupnya, Said mengaku selalu memikirkan perasaan galau terkait banyaknya identitas dirinya yang nyaris selalu ’bertentangan.’ Said terjepit di antara dua alternatif dan pilihan yang selalu membayangi hidupnya, yaitu antara Arab dan  Amerika, Muslim dan  Protestan, serta Barat dan Timur.

Edward Wadie Said Lahir di Yerussalem pada 1 November 1935, tepatnya di daerah Talbiyah, sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat, yang waktu itu menjadi wilayah protektorat Inggris. Ia dibawa pindah orang tuanya, Wadie Said, ke Mesir. Di Kairo, keluarga Said tinggal di Zamalek, kawasan elit yang dikitari kebun. Ayahnya memang orang kaya: importir besar peralatan kantor, yang punya cabang usaha di hampir semua kota besar, dari Kairo sampai Beirut. Si ayah adalah pemegang paspor Amerika, bahkan ketika muda ikut bertempur dalam perang Dunia II untuk The Star Spangled Banner. Kakeknya sendiri seorang saudagar Arab yang kaya di Yerusalem. Ketika Kaisar Jerman berkunjung ke kota suci ini, dialah yang menemani tamu agung ini berkeliling. Berbeda dari umumnya Kristen di Palestina yang Ortodoks, keluarga Said adalah penganut Kristen Anglikan. Barangkali karena itu Said punya nama pangeran Inggris: Edward.

Adapun ibunya, dia adalah pengikut Gereja Baptis dari Nazareth. Ketika Edward berusia Sembilan tahun, ibu inilah yang membacakan teks Hamlet kepada Edward. Seakan mereka berada di panggung, dan Edward adalah Pangeran Hamlet-nya. 

Di ibu kota Mesir, tetangga mereka adalah orang Eropa. Mereka hidup dalam keadaan nyaman namun rentan, karena kondisinya yang marjinal. Edward disekolahkan di Victoria Collage, yang muridnya dihukum jika ketahuan tidak menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan. Di sekolah ini para murid dipersiapkan untuk menjadi pribumi, yang oleh para birokrat kantor urusan kolonial dicemooh sebagai “wog” (westernized  oriental gentlemen). Terjadi konflik pada diri Edward. Di satu pihak ia lahir dan dibaptis sebagai seorang Anglikan, tapi di lain pihak ia tetap seorang wog. Menurutnya, seorang wog bukan lagi 100 persen pribumi, tapi juga belum dan mustahil jadi 100 persen Barat. Edward resah dan berontak, dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Ayahnya kemudian mengirimnya ke Amerika. Ia sekolah di Mount Hermon, Massachussett, menjadi satu-satunya murid “non Amerika”. Padahal, sebagaimana ayahnya, Edward Said pemegang paspor AS. Sekali lagi, Edward merasa dibuang.

– “Terjadi konflik pada diri Edward. Di satu pihak ia lahir dan dibaptis sebagai seorang Anglikan, tapi di lain pihak ia tetap seorang wog. Menurutnya, seorang wog bukan lagi 100 persen pribumi, tapi juga belum dan mustahil jadi 100 persen Barat. Edward resah dan berontak, dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah.”

Tapi, sebagaimana keluarganya, Edward Said adalah orang luar biasa. Doktor sastra komparatif lulusan Universitas Harvard dan kemudian menjadi guru besar di Universitas Columbia, New York, ini juga juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Palestina. Ia pernah menjadi penulis pidato Yasser Arafat, meskipun ia mengancam pemimpinnya itu karena bersedia menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel di Oslo. Dan sejak bukunya yang cemerlang, Orientalism, diterbitkan pada tahun 1978, Edward Said menjadi ikon di dunia akademi dan di lingkungan cendekiawan dunia. Edward Said memang seorang penulis prolifik. Ia tidak hanya menghasilkan sejumlah buku, tapi juga aktif menulis di media massa dan jurnal ilmiah. Beberapa karya Said yang lain adalah The Question of Palestine dan The Politics of Dispossession. Buku The Question ofPalestine (1979), Covering Islam (1981), The World, the Text, and the Critic (1983), Nationalism, Colonialism, and Literature: Yeats and Decolonization (1988), Musical Elaborations (1991),  Cultureand Imperialism (1993), The Politics of Dispossession (1994), Peace and Its Discontents: Essays onPalestine in the Middle East Peace Process (1995), dan memoar pribadinya yaitu Out of Place(1999).

Seorang Timur yang Resah

Di antara karya-karyanya, Orientalism memang yang paling banyak dibicarakan. Seperti diakui Said, sebagian besar dari saham pribadi dalam kajian Orientalisme ini berasal dari kesadarannya sebagai seorang “Timur”, sebagai seorang anak yang tumbuh di dua koloni Inggris – Palestina dan Mesir. Seperti sudah disinggung pendidikan Edward Said baik di Mesir maupun di Amerika adalah pendidikan Barat. Tetapi, kata dia, kesadaran sebagai seorang “Timur” itu tetap hidup dalam dirinya. Karena itu, meskipun Said dalam bukunya itu sudah mengerahkan segala kemampuan dan rasio yang ada pada dirinya, seraya berusaha mempertahankan kesadaran kritisnya, selain menggunakan alat-alat riset sejarah, humaniora dan budaya yang diperolehnya di bangku akademi, ia tidak pernah sekalipun kehilangan pegangan realita budaya sebagai seorang “Timur”, dan keterlibatan pribadi sebagai seorang yang telah ditakdirkan menjadi orang “Timur”.

Kehidupan seorang Arab-Palestina di Barat, khususnya di Amerika, kata Said, sangatlah menekan perasaan. “Di sini hampir terdapat mufakat-bulat bahwa secara politis dia tidaklah ada, dan jika diakui keberadaannya, maka dipandang sebagai pengganggu atau sebagai seorang Timur. Jaringan rasialisme, stereotip-stereotip budaya, imperialisme politis, ideologi dehumanisasi yang telah dibelenggukan atas bangsa Arab atau kaum muslim betul-betul kuat sekali, dan jaringan inilah yang telah dirasakan oleh setiap orang Palestina sebagai kutukan takdir. Karena itu, menurut Said, kaitan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang menciptakan “manusia Timur” dan, dalam sesuatu arti, melenyapkannya sebagai manusia, bukan semata bersifat akademis, tetapi juga masalah intelektual yang sangat penting.

“Said menegaskan bahwa kaum intelektual Barat cenderung melihat Islam sebagai agama yang keras, fundamental, ekstrem dan antidialog. Padahal kaum intelektual tersebut tidak mengetahui apa-apa tentang Islam.”

Orientalism berusaha melacak berbagai tahapan hubungan dari invasi Napoleon atas Mesir, melalui periode kolonial utama dan kebangkitan ilmu pengetahuan dari orang-orang Asia modern di Eropa abad 19. Kemudian, dijelaskan pula hegemoni imperialisme Inggris dan Perancis di Asia setelah Perang Dunia II dan pemunculan dominasi Amerika Serikat di mana-mana. 

Kajian Orientalis yang dibedah Said secara umum banyak berutang budi pada dua intelektual kenamaan, Michael Foucault dan Antonio Gramsci. Dengan menggunakan teori discourse Foucault, Said mengangkat pertanyaan-pertanyaan tentang relasi kekuasaan yang melatari representasi Timur dalam geneologi Orientalisme. Bagi Said, Orientalisme merupakan sebuah diskursus yang tidak berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja melainkan dihasilkan melalui satu ajang pertukaran melalui berbagai jenis kekuasaan.

Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam  wacana orientalisme: kekuasaan politis (pembentuakn kolonialisme dan imperialisme); kekuasaan intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistik, dan pengeatahuan lain); kekuasaan kultural (kolonialisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya timur memiliki estetika kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India, Mesir dan negara-negara bekas kolonial lain); serta kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak dilakukan oleh Timur).

Relasi ini, menurut said, beroperasi berdasarkan model ideologi yang disebut Antonio Gramscisebagai Hegemoni. Sebuah pandangan yang menyatakan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lain. Bagi Said orientalisme pada hakikatnya tak lebih sebagai bentuk “legitimasi” atas superioritas kebudayaan Barat terhadap inferioritas kebudayaan Timur. Said lalu menyebut “hegemoni kultural” sebagai praktik tak berkesudahan yang berlangsung dalam wacana orientalisme.

Menurut Said, sejak zaman klasik, dunia Timur memang sudah menjadi tempat yang penuh romansa, pemandangan yang eksotik, kekayaan alam yang subur, dan tradisi yang mistik. Hal inilah yang kemudian mengundang hasrat orang-orang Barat untuk mempelajari dunia Timur. Dalam perkembangannya, kajian tentang ketimuran ini lalu berubah menjadi kolonialisasi dan hegemonisasi. Kesuksesan agenda kolonialisasi ini terletak pada berjalannya seluruh pengalaman sosial, kebudayaan, dan individu pada sirkulasi serta pola kekuasaan yang berlaku. Hegemoni menaturalisasi apa yang secara historis dinamakan ideologi kelas dan membawanya pada bentuk-bentuk yang bersifat common sense. Hasilnya, kekuasaan dapat dijalankan tidak sebagai kekuasaan konvensional, tapi sebagai sebuah otoritas. 

Dalam pandangan Said, orientalisme itu selalu terkait dengan tiga fenomena. Pertama, orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis, dan meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum maupun khusus, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, orientalisme ialah gaya berpikir yang mendasarkan pembedaan ontologis dan epistemologisyang dibuat antara Timur (the orient) dan (hampir selalu) Barat (the occident). Ketiga, orientalismedapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan hukum untuk menghadapi Timur, berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, memosisikannya, dan kemudian menguasainya.

Dengan lain perkataan, orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan menguasai Timur.

Dua bulan menjelang berpulang, Edward Said sempat menulis “Orientalism 25 Years Later, WorldlyHumanism vs the Empire-builders”, yang dijadikan prolog untuk karyanya yang diterbitkan seperempat abad yang lalu itu. 

Sebegitu jauh, Timur khususnya Islam sampai sekarang di Barat masih melembangkan kekerasan, pelanggaran HAM dan bahkan terorisme. Timur, khususnya Islam, adalah trauma abadi bagi Barat. Tesis Samuel Huntington tentang clash of civilization, peristiwa 9/11 yang kemudian diikuti berbagai serangan tentara Amerika ke tempat-tempat yang ditengarai sebagai “sarang terorisme”, barangkali bisa dipandang dari perspektif apa yang dikemukakan Edward Said dalam bukunya itu. (Bersambung)

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading