Ads
Aktualita

Selebrasi Kerja-kerja Melayani Kebaikan

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Tahun lalu, 2022 saya diminta menjadi juri Indonesia Fundraising Award (IFA). Ketika itu saya menganggapnya sebagai babak baru filantropi. Ini karena sebuah lembaga filantropi pernah “terjebak kekeliruan pengelolaan dana publik”– yang seketika “menghapus prestasi kemanusiaan” nya dengan banyak kiprahnya setelah belasan tahun (berdiri 21 April 2005). Ketika itu pemerintah melalui Menteri Sosial RI membubarkan ACT (Aksi Cepat Tanggap) atas dugaan penyelewengan (wikipedia.org, diakses 31 Oktober 2022). Kemudian tahun ini, 2023, saya kembali diminta menjadi salah satu juri IFA 2023.

Jejak digital menerakan, ketika masih eksis, ACT punya kantor cabang di 30 provinsi dan di 100 kabupaten/kota di Indonesia. Pada 2012 tercatat menurut sebuah situs nasional, saat itu telah menjadi lembaga kemanusiaan global yang mampu menjangkau 22 negara tersebar di Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Publik mengenal organisasi ini berkantor pusat di Menara 165 Jakarta Selatan. ACT juga menginisiasi pengelolaan situs indonesiadermawan.id. (kompas.com, diakses 31 Oktober 2022). Namun semua sirna. Sejumlah pegiat kemanusian yang pernah beraktivitas di ACT hanya bisa mengenang aksi sosial ACT tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Benar, kasusnya telah inkrah (berkekuatan hukum tetap). Seharusnya, seperti pejabat publik yang didakwa korupsi, tetapi lembaganya tidak dibubarkan (instansinya masih berlangsung seperti biasa); namun tidak demikian dengan lembaga kemanusiaan. Sejumlah orang penting di lembaga itu telah dijebloskan ke penjara; lembaganya dengan kekayaan berupa asset, alih-alih dibiarkan beroperasi kembali, malahan aseet-assetnya telah raib, padahal sejumlah diantaranya merupakan asset wakaf, atau aseet yang diniatkan donaturnya untuk aktivitas sosial tertentu.

Kilasbalik
Ajakan sekaligus tawaran menilai lembaga sosial itu, pada tahun 2022 yang lalu, impresinya berbeda, pun dalam praktik juga berbeda. Secara praktis, saya “menilainya” sebagai sesuatu yang secara obyektif; dan secara praktis pula –iklim filantropi itu sendiri memang makin kompleks. Dari aspek yang harus dievaluasi itu sendiri, makin kompleks dan menuntut penghayatan lebih mutakhir.
Pada saat itu (2022), situasinya membawa dampak terstimulisinya empati atas proses pengelolaan filantropi. Ketika itu dalam hati saya muncul perasaan, ”inilah institusi yang menabalkan tekad mengapresiasi lembaga filantropi.” Pada waktu itu, menurut saya inisiatif yang pernah dijalankan oleh sebuah lembaga yang diayomi sebuah direktorat dalam lembaga zakat nasional (LAZNAS), yakni Dompet Dhuafa. Sebuah direktorat di DD itu selama beberapa tahun –memberikan apresiasi filantropi, melakukan awarding pada event nasional di tempat perhelatan publik yang representatif. Pada fase berikutnya, direktorat itu tidak lagi melakukannya –mungkin tidak disupport lembaga zakat itu—lalu event serupa dilakukan secara independen.


Hal itu lalu dilakukan Institut Fundraising Indonesia (IFI) berkantor di Depok – Jawa Barat. Content yang mereka nilai, spektrum yang digali dan dievaluasi kian kompleks, isu-isu dan pusat perhatian yang didalami kian luas. Maka, saya memahami –institusi pelaku awarding itu menjejakkan pesan kuatnya: siapa lagi kalau bukan kita sendiri mengapresiasi ikhtiar kebaikan. Mereka juga menegaskan tekadnya untuk menjadi lembaga qualified, berwibawa dan dipercaya publik. Dalam technical meeting penjurian itu, salah seorang dewan juri (telah beberapa kali diminta menjadi juri mengatakan) mengatakan,”Aspek-aspek yang dinilai jangan terus bertambah, kita juga jaga agar lembaga ini bisa tetap bisa menjaga kualitas penilaian, juga secara internal para penilai juga menyadari kapasitasnya juga punya keterbatasan dalam menilai. Ada beberapa hal yang mereka kuasai, dan pada beberapa hal yang lain tidak mereka kuasai,” kata Ahmad Juwaini, kata praktisi yang kini menjadi Direktur Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Pusat. Ahmad Juwaini yang pernah menjadi Pimpinan Dompet Dhuafa–yang pernah menjadi benchmark banyak lembaga zakat dan filantropi– dan telah menyelesaikan doktoralnya. DD sendiri beberapa kali mengalami penyegaran pimpinan.


Yang saya ketahui, pimpinan pertamanya, Erie Sudewo, mengakhiri kepemimpinan atas kemauannya sendiri –setelah memimpn Dompet Dhuafa–10 tahun lamanya. Beliau dengan keputusan itu, menjejakkan keteladanan. Pengakhiran masa kepemimpinan di Dompet Dhuafa secara mandiri, adalah contoh berjalannya self controlingship pada lembaga zakat Dompet Dhuafa yang diikuti lembaga filantropi lainnya. Publik pun mengenal Erie Sudewo sebagai figure teladan, yang gagasan-gagasannya menstimulir sejumlah aspek yang menjadi ikutan dalam menunjukkan bagaimana lembaga filantropi unjuk transparansi, memihaki kaum dhuafa, dan konsisten menjaga independensinya dalam proses pendistribusian dana zakat yang digalang lembaganya.


Mitigasi
Dengan keseriusan penilaian dan penjuriannya, lembaga ini: Institut Fundraising Indonesia/IFI berikhtiar menghadirkan ajang apresiasi untuk lembaga filantropi di Indonesia, bukan saja bagi lembaga filantropi Jakarta yang eksis di Jakarta, tapi juga lembaga filantropi di banyak daerah di Indonesia. Sebagai lembaga kebaikan, sekelompok orang yang mewadahi gerakan konsisten. Ini ranah sangat langka: mengedukasi filantropi, lalu memberikan penghargaan atas ikhtiar yang mereka capai. Langkah itu sangat impacful terlebih ketika institusi filantropi baru saja diterjang tsunami filantropi. Kerja-kerja istiqamah para praktisi filantropi itu –yang berjibaku tanpa henti dalam sepi, menjadikan pekerjaan itu tetap “perhelatan senyap”, namun yakinlah keseriusan mengedukasi publik pada gilirannya melahirkan transparansi dan responsibilitas. Dengan kata-kata fundraising dana publik, IFI meneruskan apa yang pernah dirintis sebuah lembaga zakat nasional bernama Dompet Dhuafa, melalui salah satu lembaga yang didirikannya – organisasi bentukannya: Inspirasi Melintas Zaman (IMZ)–menyapa publik secara swadaya, tanpa panduan, tanpa pembinaan dan arahan. Dari masyarakat untuk masyarakat. Maka ketika diminta menjadi salah satu juri Indonesia Fundrasing Award 2022/IFA, sayapun tidak punya alasan apapun untuk menolaknya. Dan ketika tahun 2023 diminta kembali untuk penjurian yang sama, saya kembali bersedia. Proses ini selain “menilai” sekaligus menjadi ajang belajar buat kita –sebagai generasi yang lebih dulu “nyemplung” dalam filantropi.


Saya berefleksi, dan berempati, pada masa yang cukup panjang, lembaga-lembaga sosial-kemanusiaan itu telah bekerja dalam senyap. Event penjurian lembaga-lembaga itu membuat batin saya berkata, mereka bekerja mandiri, dan ada institusi yang mau “memanggungkan” kerja-kerja senyap mereka, menjadi pemantik perhatian khalayak. Jelas ini ikhtiar selebrasi yang indah penuh makna, menjadikan “kegembiraan menolong” sebagai event, bahkan secara regular dievaluasi. Indonesia Fundraising Award/IFA, 2022 dan 2023, bisa saya katakan mitigasi tsunami filantropi.


Pada pekan-pekan pertama peristiwa itu, ketika majalah Tempo mempublikasikan peristiwa itu, sekaligus berentetan sikap pembekuan sepihak, dimarakkan pemberitaan akan adanya 176 lembaga tanpa menyebutkan nama lembaganya, yang disebut-sebut memiliki modus serupa ACT. Dan event awarding ini, bentuk elegan bernilai mitigatif. Pada tahun 2023 ini, selama proses penjurian, masih satu dua lembaga menyebutkan “badai filantropi” itu telah menjadikan pegian filantropi traumatik.


Menurut saya, proses penjurian IFA Award 2022 terasa elegan, menjadi “perlawanan anggun” atas sikap regulator, alih-alih membina, yang terjadi malah membinasakan –masyarakat filantropi Indonesia, seraya menyayangkan sikap pemberangusan lembaga filantropi, pada sisi lain bersyukur dan berterimakasih atas ikhtiar konsisten mengedukasi khalayak (dan bagi regulator dalam hal ini Menteri Sosial RI). Mengharapkan pemerintah dalam hal ini Menteri Sosial secara cermat menunjukkan itikad eksistensinya sebagai regulator. Ambillah porsi yang sewajarnya dan sepatutnya sebagai regulator, tunjukkanlah peran pemerintah untuk menyemarakkan semangat menstimulasi kebaikan, kesalihan sosial, kedermawanan sebagai hal yang tak kalah pentingnya dengan penegakan hukum.


IFI, Karya Kemanusiaan
Kembali pada pelibatan saya pada event IFA 2023 ini. Saya mencerna bahwa kategori yang dinilai untuk IFA 2023 –semakin kaya, semakin kompleks; melibatkan bukan hanya lembaga zakat, juga lembaga wakaf, media massa pro filantropi, korporat pro filantropi, inisiatif masyarakat berupa movement, bahkan ICW/Indonesia Corrupttion Watch juga dinilai (tahun ini kembali mengikutkan tim-nya dalam awarding ini). Publik melihat pada satu sisi, ada kesungguhan memberi penilaian; pada sisi yang lain ada kompleksitas yang harus ditimbang juga. Pada tahun yang lalu saya terlibat dalam proses penjurian, sejak 24 Oktober – 11 November 2022 secara online (via zoom). Setiap hari –kecuali week end—para juri melakukan penjurian, perhari dua sampai lima lembaga filantropi harus kami nilai. Spektrumnya cukup luas, tak cuma lembaga zakat, dari 40 lembaga sosial ada: Indonesia Corruption Watch/ICW, Baitul Wakaf, juga Gerak Bareng/GB Jakarta. Ada pula dari daerah (non Jakarta), seperti: LAZ Nurul Hayat yang berpusat di Surabaya, LAZ Al-Hilal yang berpusat di Bandung. Pun, kategorinya beragam: Fundraising Digital, Fundraising Pendidikan, Fundraising Sosial, Fundraising Internasional, dan lain-lain. Maka, kalau tahun 2022 yang lalu, telah memberi pengalaman baru bagi saya, dengan ranah yang makin kekinian dari sisi tema dan strategi pendekatan. Maka tahun ini, dengan kesungguhan, saya menyanggupi untuk hadir setiap hari kecuali Sabtu-Ahad.


Dalam penilaian IFA 2023 (dan tahun lalu), ada lima aspek yang dinilai: 1. Cara Presentasi; 2. Permasalahan & Penyelesaian; 3. Pertumbuhan Fundraising; 4. Inovasi yang dilakukan; 5. Dampak Keberhasilan. Para kandidat IFA itu dinilai oleh tujuh orang juri independen. Kami anggota juri, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mereka. Menyimak keragaman core competence lembaga-lembaga itu, membuat saya berpikir, lembaga ini menstimulir dua hal: pertama, mengelorakan kebaikan untuk bangsa ini; kedua, mengedukasi lembaga filantropi dan publik untuk faham, tingkat keterukuran lembaga filantropi itu sendiri. Secara eksplisit evaluasi independen yang dirangkai awarding memberi asupan informasi dan preferensi tentang lembaga filantropi yang terbaik di Indonesia. Peran “polisi filantropi” dimainkan oleh IFI/Institut Fundraising Indonesia menjadi “polisi tanpa hak menghukum”. Ikhtiar awarding itu menjadi koridor sekaligus keterukuran filantropi, hal yang tidak dilakukan oleh regulator formal. Dimasukkannya Indonesia Corruption Watch atau ICW, misalnya, menjadikan ICW dinilai dan distimulir untuk berbenah. Kiprah senyap IFI, tanpa kampanye, dengan awarding itu meraih kepercayaan publik –menjadi kekuatan yang legitimate secara sosial.


Tatkala saya kabarkan perekrutan saya di IFA ini kepada seorang kawan, iapun membalas seraya mengatakan sambil menyampaikan sebuah nasihat ustadznya dan titip pesan untuk saya,”Semua organisasi, entah bisnis dan dakwah, sehebat apapun programnya, sebaiknya sumber utamanya dekat dengan masjid. Sedekat apa lembaga itu dengan sumber kesalihannya.” Kawan saya itu menambahkan. Tentang hal ini saya juga berpikir, untuk lembaga seperti ICW ini, memang tidak harus dekat masjid. Menurut saya, bahwa masjid benar menjadi sebagai semangat atau ruh! Namun bukan “masjid secara fisik” tetapi secara ruhani, “kemasjidan itu menjiwai”. Kesalihan adalah ruh, bukan fisiknya yang musti dekat. Pikiran dan perasaan yang “sadar kesalihan dan terpaut dengan masjid” lebih penting ketimbang secara fisik “dekat dengan masjid”. Setiap saat, kesalihan membimbing pegiat filantropi untuk menolong sesama. Menjadikan aktivitas filantropi sebagai habbit, kebiasaan. Secara gradual masyarakat filantropi meresonansi semangat kedermawanan sebagai gaya hidup.


Pada tahun 2022 yang lalu, dari pembicaraan dengan salah satu nominator, Nurul Hayat – yang berkantor pusat di Surabaya, salah seorang Humasnya mengatakan,”Kecepatan lebih baik ketimbang kesempurnaan.” Hal itu dikatakan dalam konteks upaya memberikan pertolongan darurat dan kebencanaan. Pernyataan itu mengingatkan saya pada aktivitas lembaga filantropi yang pernah saya ikuti dulu. Dulu, saya pernah menikmati aksi kemanusiaan, ketika ditugaskan ke kawasan terpapar bencana. Jadi, saya terlibat dalam penyaluran bantuan untuk penyintas bencana. Konstatasi itu membuat saya memberi cetak tebal pada aspek yang penting dalam aktivitas filantropi, selain transparan, independen,kreatif, kesegeraan hal signifikan untuk didahulukan ketimbang lainnya. Transparan, memang penting, tapi tak boleh tidak –harus segera; independensi, memsegera menolongang penting, namun tidak boleh lelet; kerja kreatif memang penting, tetapi urgent untuk segera menolong!

Awarding dan Integritas
Pengalaman dua tahun berturut-turut, meneguhkan keyakinan saya, betapa realistis menimbang citra dan sikap diri seseorang, khususnya pemimpin organisasi filantropi. Bahwa pemberian apresiasi berupa award “hanyalah bonus” dari kesungguhan berbuat, bukan sesuatu yang mereka buru. Hal ini dikemukakan person yang bertugas dalam mempresentasikan, tepatnya diminta memberikan closing statement untuk meyakinkan para juri. Ya, mereka tidak “kemaruk penilaian sebagai yang terbaik”. Tidak. Mereka menjadikan award sebagai tolok ukur kesungguhan berbuat kesalihan, bukan penilaian duniawi.


Mereka yang bersedia menggeluti jagat filantropi, jelas para pegiat kerja-kerja “dunia senyap” yang sepi dari gempita. Kerja selebrasi yang “hanya dimengerti” sesama filantrop, dan bisa berempati pada susah-payahnya edukasi khalayak, sulitnya menstimulir kehendak berbagi, dalam beberapa hal, ikhtiar pegiat filantropi adalah juga kerja dakwah, menggugah kehendak untuk unjuk kesalihan, unjuk semangat berbagi. Keriangan kehendak berbagi, adalah panggilan terdalam jiwa welas asih pada sesama. Sekaligus, melayani mereka yang bergiat dalam kemanusiaan, menjadi tolok ukur kesalihan sosial dan integritas dalam mengelola dan melayani jiwa-jiwa sosial. Tiada kata lain: surga sudah menanti siapapun yang berikhtiar memudahkan jalan kemanusiaan itu.

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading