Ads
Cakrawala

Kolom Emha Ainun Nadjib: Tidak, Jibril Tidak Pensiun

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Hanya kualitas seorang Nabi yang sanggup menampung wahyu, dan Allah memang hanya berkenan memberikan wahyu kepada beliau-beliau yang terpilih. Sampai akhirnya Muhammad si pamungkas. Selebihnya hanya ada wahyu kraton — sebuah tema drama politik.


Maka anak-anak suka bersenda gurau bahwa Jibril sejak abad ke-7 Masehi itu jadi penganggur. Pensiun abadi. Ada yang membantah dengan mengemukakan bahwa Jibril tetap being employed karena para wali atau orang-orang dengan “radar suci” setingkat mereka tetap menerima karomah, sementara orang-orang biasa kayak kita tetap juga memperoleh ilham.


Tidak, kata yang lain. Untuk takaran di bawah wahyu tak diperlukan Jibril. Untuk pekerjaan-pekerjaan kecil begitu Allah tak memerlukan organisasi birokrasi, tukang-tukang pos atau agen penyalur. Allah bisa bilang cukup Kun (fa-yakun) untuk kepentingan apa pun saja.


Alangkah samar pembicaraan semacam ini. Tak ada kerangka metodologi penelitian model mana pun yang bisa menyentuhnya. Tak tersedia kredibilitas keilmuan manusia apa pun yang mungkin menerobosnya. Apalagi ilmu-ilmu sosial hanya pernah kenal Tuhan sebagai benda abstrak, sebagai suatu syahdan, sebagai kemungkinan obyek yang sungguh asing sifatnya – sebab segala teori menjadi lawakan tatkala mendekati-Nya.


Satu-satunya jalan disediakan justru oleh berita wahyu itu sendiri. Tetapi ini mungkin tidak memuaskan manusia modern, yang canggih untuk bercuriga terhadap dogma, yang seolah-olah sengaja membuang kemampuan-kemampuan kejiwaannya yang tertentu yang bisa ia pakai untuk bergaul baik-baik dengan hidayah, dengan petunjuk ‘entah dari mana’, dengan gudang rahasia keilahian, dengan ketidak-mungkin-tahu-annya sendiri. Ya, manusia modern itu – yang sombong melebihi Musa menjelang Tursina, yang menyangka bahwa kebenaran dan kepastian adalah miliknya yang bisa ia rancang dan tentukan.
Pada saat yang sama, keterbukaan terhadap gerak penghayatan atas wahyu itu amat diperlukan, setidaknya karena manusia telah sampai pada dua gejala yang sama-sama takabur.


Yang pertama, manusia telah selalu merasa mampu menemukan sesuatu, mengadakan yang tak ada menciptakan sesuatu, dan berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor akademik, atau sarjana kehidupan. Yang kedua berada di ekstrem lain: Yang ada hanya Allah, aku ini tak ada. Yang mutlak itu Allah, aku sekedar rekaan. Karya-karyaku, kata-kataku, musik-musikku, lukisanku, tak bisa kusebut dengan ku, sebab mereka adalah karya Allah semata.


Jadi kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran lukisannya, kita nonton lukisan Allah.


Maka ia mengemukakan kepadaku iman dan konsep mengenai pinjaman ilmu dan harta benda Allah kepada manusia – sebagaimana ia mengemukakan hal yang sama ketika kutanyakna kepadanya apa omongan Islam tentang falsafah hak milik dan distribusi ekonomi yang dewasa ini amat dicemaskan oleh kaum sosialis-marxis.
Itu moralitas Allah.


Seandainya saja kita berhasil memiliki suatu pola pendidikan yang memungkinkan terwujudnya iman dan konsep itu dalam diri manusia, maka usaha proyeksi dan sistimasinya ke dalam organisasi-organisasi kebersamaan manusia tinggal ‘sekunder’. Tetapi sejarah telah mengandalkan manusia seperti ‘maling’ yang – tentu saja – tak bisa dipercaya, sehingga harus diciptakan pagar-pagar yang berlebihan. Sistem yang mengatur manusia berada secara instrumental. Kita adalah gerombolan ayam, memperoleh taburan jagung dari tangan manusia, jago-jago memonopoli taburan itu karena mereka memang ‘tak tahu menahu’ tentang moralitas tangan manusia yang menaburkan jagung. Perlawanan ayam-ayam lain terhadap jago-jago selalu berupa menyingkirkan atau memupas jago-jago.


Demikian ‘psikologi perlawanan’ yang sejauh ini berlangsung aspirasi terhadap aspirasi, ideologi politik terhadap ideologi politik, kelas terhadap kelas, bahkan kaum wanita terhadap lelaki. Sumber kecenderungan ini ialah karena jagung itu dipandang secara ahistoris. Tak dipersoalkan secara tuntas dari mana jagung tertabur, dan apa moralitas esensial yang terkandung di balik taburan jagung itu.


Dengan kata lain, orang tak makin kenal dengan jiwa wahyu. Maka ia mengemukakan kepadaku Jibril tidak pensiun. Wahyu Allah bukan sebuah dongeng purba. Cahaya Allah tak berhenti memancar. Ilmu Tuhan terus menerus berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya tubuh beliau yang sudah dikuburkan – dan tubuh beliau adalah bagian yang paling remeh dari eksistensi kepribadiannya yang menyuluhi alam semesta manusia. Wahyu yang beliau terima dari Allah pun terus bekerja. Sudah sempurna tapi belum selesai, karena ia akan menemukan kelahiran dan kelahirannya kembali di dalam iman dan kesadaran umatnya.


Bahwa pada Muhammad disebut wahyu itu berakhir, artinya ialah jatah ilmu pengetahuan dasar anugerah Allah bagi manusia berpuncak di wadah Muhammad. Segala yang kita sebut prestasi akal, ilmu dan teknologi dahsyat yang dicapai manusia sesudahnya, telah terdapat benih-benihnya dalam Al Quran – meskipun selama ini kita menyebut-nyebut hal itu sekedar untuk hiburan-hiburan pasif agar memperoleh kepercayaan diri sebagia umat. Allah tidak mengursus kita sebagaimana bikin rantai dan pedal, tetapi kualitas fenomena kendaraan sepeda telah ditunjukkan-Nya. Apa pun yang kelak digapai oleh kecerdasan manusia, tak akan melebihi kapasitas kemungkinan yang telah di-nur-kan oleh wahyu yang berpuncak di Muhammad.


Tetapi, barangkali kita, adalah umat tolol yang bisa menjadi cukup tenang hanya dengan mengemukakan keyakinan itu, tanpa mengerjakannya, dan kemudian – kata para piawai – “Kita ketinggalan dua abad” dibanding orang-orang lain yang justru ‘acuh tak acuh terhadap Allah’. Mungkin bagi kita jibril adalah tokoh sejarah pada zaman sebelum Prabu Jayabaya atau candi Borobudur dibangun. Jibril adalah bayangan patung, arca berjubah, makhluk yang super-raksasa yang telapak tangannya seluas 3.333 kali galaksi, yang eksistensinya sepurba Dinosaurus. Atau Jibril itu semacam lelembut. Dan semua itu tidak konkret.


Padahal tidak. Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jagamu. Namun apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu hari kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di mas pra Ibrahim yang menghayati bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya.

Penulis: Emha Ainun Nadjib, pengarang dan budayawan, tinggal di Yogyalarta
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 21 Desember 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading