Ads
Cakrawala

Praktik Kesetaraan Gender di Masa Nabi

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Kehidupan perempuan di masa Nabi Saw perlahan-lahan sudah mengarah kepada keadilan gender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur androsentris (untuk tidak menyebut kultur misogyny). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh budaya Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fikih yang berkembang di dalam sejarah Islam adalah fikih patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas yang semakin jauh dari pusat kotanya(heart land), akan semakin kuat mengalami enkulturasi.

Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak bisa sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun Nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudukan hal itu. Seperti diketahui, bahwa saat wahyu baru saja selesai turun, Nabi keburu wafat, maka wajar kalau Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajaran itu sepenuhnya terwujud di dalam masyarakat. Terlebih kedudukan perempuan yang berkembang di dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi semakin menjauh.

Jika dilihat dari sejarah karier kenabian Muhammad Saw maka kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah kepada prinsip-prinsip kesetaraan gender (gender equality/ al-musawa al-jinsi). Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan harta warisan atau hak-hak kebendaan, karena yang bersangkutan oleh hukum adat jahiliyah dianggap tidak  cakap untuk mempertahankan kabilah, kemudian Alquran secara bertahap memberikan hak-hak kebendaan kepada mereka (Q. 4:12). Semula laki-laki bebas mengawini perempuan tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat, itupun dengan syarat yang sangat ketat (Q. 4:3). Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi kemudian diberikan kesempatan untuk itu, meskipun dalam beberapa kasus masih dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki (Q. 4:34).

Pola dialektis ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap (relatifing process/at-tadrij fit-tasyri’). Di sinilah perlunya mengkaji Alquran secara hermeunetik, guna memahami suasana psikologis latar belakang turunnya sebuah ayat (sababun nuzul) atau munculnya sebuah hadis (sababul wurud).

Kedudukan perempuan pada masa Nabi sering dilukiskan dalam syair sebagai dunia mimpi (the dream of woman). Kaum perempuan dalam semua kelas sama-sama mempunyai hak dalam mengembangkan profesinya. Seperti dalam karir politik, ekonomi, dan pendidikan, suatu kejadian yang sangat langka sebelum Islam.

Tidak ditemukan ayar atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Sebaliknya Alquran dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.

Dalam Q. 9:71 dinyatakan:  “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberikan rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kata awliya’ dalam ayat tersebut, menurut Quraish Shihab mencakup kerja sama, bantuan, dari penguasaan; sedangkan “menyuruh mengerjakan yang makruf” mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.

Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan di permulaan Islam memegang peranan penting dalam kegiatan politik. Q. 60:12 melegalisir kegiatan politik kaum wanita:  “Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum wanita beriman untuk melakukan ba’iat dari mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah: tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dari kaki mereka dari tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bai’at) mereka dari mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Istri-istri Nabi terutama Aisyah telah menjalankan peran politik penting. Selain Aisyah, juga banyak wanita lain yang terlibat dalam urusan politik, mereka banyak terlibat dalam medan perang, dari tidak sedikit di antara mereka gugur di medan perang, seperti Ummu Salamah, Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah.

Sedangkan kaum perempuan yang aktif di dunia politik dikenal misalnya: Fathimah binti Rasulullah, A’isyah binti Abu Bakar, ‘Atika binti Yazid ibn Muawiyah, Ummu Salamah binti Ya’qub, Al-Khayzaran binti ‘Atha’, dan lain sebagainya.

Dalam bidang ekonomi wanita bebas memilih pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan dan tetap menghormati ajaran agamanya. Hal dibuktikan oleh sejumlah nama penting seperti Khadijah binti Khuwaylid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zainab binti Jahsy, profesinya sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah ibn Mas’ud dan Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, As-Syifa’ yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh khalifah Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Begitu aktif kaum wanita pada masa Nabi, maka Aisyah pernah mengemukakan suatu Riwayat (“Alat pemintal di tangan wanita lebih baik daripada tombak di tangan kaum laki-laki”) Dalam Riwayat lain Nabi pernah mengatakan (“Sebaik-baik permainan seorang wanita Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun.”)

Jabatan kontroversial bagi kaum wanita adalah menjadi Kepala Negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak layak bagi seorang wanita, namun perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman yang mendukung pendapat ini mulai berkurang. Bahkan Al-Maududi yang dikenal sebagai ulama yang secara lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam sudah memberikan dukungan kepada Fatimah Jinnah sebagai orang nomor satu di Pakistan.

Dalam bidang pendidikan tidak perlu diragukan lagi, Alquran dan hadis banyak memberikan pujian kepada perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan. Alquran menyinggung sejumlah tokoh perempuan yang berprestasi tinggi, seperti Ratu Balqis, Maryam, Istri Fira’un, dari sejumlah istri Nabi.

Dalam suatu Riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaan Nabi untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam klasik  ditemukan beberapa nama perempuan yang menguasai ilmu pengetahuan penting seperti Aisyah istri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, Al-Syekhah Syuhrar yang digelari dengan “Fakhrunnisa” (kebanggan kaum perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafii, Mu’nisat al-Ayyubi (saudara Salahuddin al-Ayyubi), Syamiyat al-Taymi’yah, Zaynab, putri sejarawan al-Bagdadi, Rabiah al-Adawiyah, dan lain sebagainya.

Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadis, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat wanita yang membuat kesalahan keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amal ma’ruf.

Peran sosial perempuan dalam lintasan sejarah Islam mengalami kemerosotan di abad kedua, setelah para penguasa muslim kembali mengintrodusir tradisi hellenistik di dunia politik. Tradisi hellenistik banyak mengakomodir ajaran Yahudi yang menempatkan kedudukan perempuan hampir tidak ada perannya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, para ulama—di antaranya dengan sponsor pemerintah—sedang giat-giatnya melakukan standardisasi hukum dengan melaksanakan kodifikasi kitab-kitab fikih dan kitab-kitab hadis. Apakah ada kaitan antara pembukuan dan pembakuan kitab fikih dan proses penurunan peran perempuan, masih perlu diteliti lebih jauh.

Sumber: Majalah Panjimas, 20 Februari-5 Maret 2003

Penulis : Prof. Dr. K.H.  Nasaruddin Umar, M.A., Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Guru Besar Tafsir UIN Jakarta, pernah menjabat Wakil Menteri Agama RI.   

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading