Ads
Cakrawala

Memperkaya Pancasila dengan Nilai-Nilai Islam

Ketika kita bicara tentang Pancasila, ada dua hal yang kita diajarkan untuk tidak perlu atau tidak boleh lagi mempersoalkannya. Pertama, rumusan formal kelima sila-nya yang kita sudah diajarkan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kedua, tentang kedudukannya sebagai dasar negara, ideologi bernegara dan filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun demikian, agar prinsip-prinsip yang terkandung di dalam setiap sila Pancasila tetap aktual dan relevan dengan perkembangan zaman dan realitas dan kultur masyarakat yang dinamis, maka Pancasila perlu kita tempatkan sebagai ideologi bernegara dan berbangsa yang terbuka dan dinamis.

Sebagai sebuah ideologi bernegara yang terbuka, Pancasila  tidak seyogianya mendapat tafsiran sekali jadi untuk selama-lamanya  (once for all). Tidak seyogianya pula satu badan menjadi penafsir tunggal yang memiliki hak untuk menafsirkannya secara “final dan mengikat” sebagaimana di negara-negara totaliter. Masyarakat harus diberi  ruang partisipasi dalam menjabarkan nilai-nilai yang dikembangkan dari Pancasila sebagai ideologi bernegara dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, sistem politik yang terbuka, yang demokratis, yang memberi keleluasaan kepada warga negara untuk menyatakan pendapat perlu terus dikembangkan. 

Pengalaman sejarah kita menunjukkan bahwa pada masa-masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, Pancasila telah ditafsirkan secara “hegemonik”. Pada masa Demokrasi Terpimpin, menyusul Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengenalkan gagasan Manipol/USDEK,  sebagai “tafsir” Pancasila. Pancasila dan Manipol/USDEK  disebut sebagai satu kesatuan, sebagaimana Al Quran dan Hadist. Bung Karno mengatakan, “Quran dan Hadis sahih merupakan satu kesatuan maka Pancasila dan Manifesto Politik dan USDEK pun merupakan kesatuan. Al-Qur’an dijelaskan dengan Hadis, Pancasila dijelaskan dengan Manifesto Politik serta intisarinya yang bernama USDEK. Manifesto Politik adalah pemancaran daripada Pancasila. USDEK adalah pemancaran daripada Pancasila. Manifesto Politik, USDEK dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain.”

Adapun pada masa Orde Baru, tafsir “hegemonik” terhadap Pancasila diwujudkan dalam bentuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila alias P4. Tafsir “tunggal” Pancasila pada masa Orde Baru ini memang menjadikan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang komprehensif: sumber dari segala sumber hukum, jiwa dan kepribadian bangsa, pandangan hidup, tujuan, perjanjian luhur, dasar negara, dan seterusnya. P4 yang berisi 36 butir ini disosialisasikan di lembaga-lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi melalui pelajaran-pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), serta penataran-penataran P4 untuk berbagai kalangan masyarakat. Pada masa Orde Baru pula partai-patai politik dan organisasi kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Sebagaimana halnya Manipol/USDEK-nya Bung Karno yang berakhir era-nya setelah terjadinya peristiwa G-30S/PKI, maka Orde Baru yang menggantikan orde sebelumnya, juga tergeser oleh kekuatan reformasi pada tahun 1998. Orde Reformasi meniadakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai tafsir Pancasila yang “hegemonik”.

Kini, Pancasila telah menjadi ideologi bersama dan telah membuka dirinya untuk diperkaya dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dan organisasi politik serta organisasi kemasyarakatan boleh menganut nilai-nilai yang diambil dari ajaran dan ideologi lain sepanjang tidak ditransformasikan menjadi ideologi politik yang berlawanan dengan Pancasila. Hal ini tampak pada partai-partai politik Islam yang menggunakan atau mengenakan kembali asas Islam seperti halnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan ormas-ormas keagamaan Islam yang mencantumkan asas Islam tersebut.

Sebagai ideologi terbuka, maka pemaknaan terhadap Pancasila membuka perspektif yang tidak tunggal. Perspektif yang tidak satu dalam melihat Pancasila ini tentu kita harapkan akan yang menjadikan Pancasila bukan saja kaya akan nilai-nilai tapi juga akan menjadi subur dan bertambah kuat dengan diamalkannya nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila-nya oleh masyarakat. Bagi umat Islam, misalnya, sejak zamannya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang berperan dalam merumuskan dasar negara, sampai generasi sekarang, memaknai sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tauhid. Pemahaman ini juga dianut oleh Mohammad Hatta yang kita kenal sebagai tokoh nasionalis-religius. Dalam sebuah brosur khusus (1981), Bung Hatta kembali mengemukakan bahwa sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sama dengan tauhid. Bung Hatta juga berpendapat bahwa keempat sila lainnya  – Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan , dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia — semuanya merupakan penjabaran dari sila pertama dalam sila atau bidang bersangkutan.

Dalam kaitan ini, salah seorang ulama besar Indonesia yang menjadi ketua umum MUI pertama yaitu Buya Hamka, menyatakan bahwa Pancasila merupakan pangkal pokok dalam kehidupan. Sila ke satu: Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Hamka,  menjadi pangkal dari keempat sila lainnya. Ajaran Islam yang berpangkal pada tauhid ini merupakan pokok isi kandungan dari Ketuhanan Yang Maha Esa.  “Pancasila wajib diamalkan dan diamankan. Bila umat muslim mengamalkan ketaatan terhadap agamanya maka dengan sendirinya Pancasila akan terjamin keselamatannya. Dan orang yang tidak mengamalkan agamanya berarti dia tidak mengamalkan dan mengamankan Pancasila,” kata Buya. 

Buya Hamka juga menyatakan, Pancasila menjadikan negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga tercipta cita-cita bersama yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Buya Hamka, menumbuhkan kelapangan dada  (tasamuh) dari rasa hormat kepada pemeluk agama lainnya. “Tapi pedoman hidup berasal dari Alquran, maka Alquran yang mewajibkan untuk berlapang dada,” ungkap Buya Hamka. Lebih jauh, Buya menyatakan, Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia akan hidup dengan subur dan dapat terjamin jika kaum muslimin sungguh-sungguh memahami agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya. Kata beliau, tidak ada suatu agama dan paham atau ideologi yang dapat menjamin kesuburan Pancasila di Indonesia melebihi Islam. Pertama karena dijamin oleh kesatuan ajaran Islam itu sendiri. Kedua, karena pemeluk Islam-lah yang terbesar di Indonesia. Beliau menngingatkan, banyak bisik-bisik yang menyebutkan bahwa kaum muslimin anti-Pancasila, banyak dari ulama dan pemimpinnya yang anti-Pancasila. Bahkan dikatakan sebagian besar menerima Pancasila karena terpaksa. “Pancasila adalah pangkal pokok dalam kehidupan. Kita harus kembali kepada Pancasila yang murni, bahwa segala pokok pangkal Pancasila ialah percaya kepada Tuhan, dan Tuhan itu Esa adanya.

Tentu saja, pemahaman atau tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang oleh umat Islam dimaknai tauhid itu tidak serta merta menjadikan sila ini eksklusif milik umat Islam. Kalangan non-muslim pun pasti punya pemahaman sendiri sesuai dengan ajaran mereka masing-masing. Di sinilah perlunya umat Islam memiliki sikap tasamuh atau toleransi yang diartikan Buya Hamka sebagai lapang dada itu. Sikap- keberagamaan kaum muslimin yang harus toleran ini diperkuat dengan sikap-sikap lainnya seperti tawasuth (moderat), tawazun (seimbang). Nilai-nilai inilah antara lain yang memperkaya dan memperkokoh ideologi Pancasila.

Penulis: Arsul Sani, Wakil Ketua MPR-RI dan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading