Orang jengkel ekspresinya bisa macam-macam. Salah satunya: berjalan mundur. Dulu, kejengkelan terhadap proses sosial-politik yang dirasa tak maju-maju, sering diungkapkan dengan cara ini. Sebenarnya ini jenis demonstrasi yang murah meriah, tanpa perlu keluar banyak biaya (bikin spanduk atau poster, misalnya), pesan yang ingin disampaikan sudah gamblang terbaca: proses sejarah sedang menapaki jalan kemunduran.
Entah kenapa, cara ini sekarang jarang tampak. Bisa jadi, kini proses sejarah bangsa ini sudah dianggap berada pada jalur yang benar, sehingga tidak perlu disindir lagi. Atau, bisa jadi, sindiran semacam ini sudah dianggap tidak efektif; sehingga harus dipilih media yang lebih heboh lagi untuk melubangi telinga orang.
Atau, bisa jadi bukan semua itu, tapi cuma karena pertimbangan teknis saja. Jalan mundur jelas lebih sulit dan lebih lambat dari jalan maju; kecuali itu, lebih beresiko: terperosok, bertabrakan dengan sesama demonstran atau malah babak belur karena bolak-balik menabrak pembatas jalan.
Tapi, di luar semua itu, persoalan utama disini justru adalah: benarkah proses sejarah berjalan maju, ke depan? Ini yang tampaknya justru perlu diragukan. Secara hakiki kita justru harus menyebut bahwa sejarah pada dasarnya selalu berjalan mundur, ke belakang. Bukan maju atau ke depan seperti yang selama ini selalu kita bayangkan.
Tak percaya? Mari kita pinjam ungkapan Al-Qur’an untuk menjernihkannya. Lihat saja, bagaimana Al-Qur’an selalu menyebut apa yang sudah terjadi dengan ungkapan: apa yang ada dihadapanmu. Sementara untuk yang belum terjadi, ungkapan yang dipakai adalah: apa yang ada di belakangmu.
Yang diketahui manusia adalah selalu apa yang sudah terjadi. Semua pengetahuan manusia disusun dari pengalaman, artinya disusun dari segala sesuatu yang sudah terjadi. Itulah yang diandaikan sudah terang, sudah jelas; dan hanya sebatas itulah yang ‘bisa dilihat’ manusia. Tak lebih dan tak kurang. ‘Bisa dilihat’ artinya di depannya. Sedang yang belum diketahui, yang masih gelap, yang masih misteri dan karena itu ‘belum bisa dilihat’, artinya adalah segala sesuatu yang ada dibelakangnya.
Dengan sedikit berimajinasi, kita bisa membayangkan bahwa pada dasarnya orang selalu berdiri menghadapkan mukanya ke masa lalu, ke arah yang sudah terjadi; sambil membelakangi masa depan yang selalu menjadi sesuatu yang belum terjadi. Artinya, yang selalu berlangsung adalah proses dimana dari saat ke saat manusia melangkah mundur; langkah mundur yang justru menjadi kunci untuk mengubah yang belum diketahui menjadi apa yang diketahui.
Kalau kita membacanya dengan cara ini, kita harus meyakini bahwa pada dasarnya sejarah justru tidak pernah berproses ke arah yang biasa kita imajinasikan sebagai ‘maju’, karena ia justru menapaki arah yang sebaliknya, yakni ke arah yang kita identifikasi sebagai ‘mundur’. Celakanya, dalam kerangka oposisi biner yang kita kembangkan, ‘mundur’ terlanjur dimuati pengertian negatif; sementara muatan positif justru dilekatkan pada lawannya, yakni ‘maju’. Sehingga, tak heran bila kita agak jengah mendengar istilah: sejarah berjalan mundur.
Tapi, untuk sejenak, mari kita balik saja pengertian yang relatif menyesatkan ini. Meski, mestinya, hanya muatan negatif yang terkandung dalam pengertian ‘mundur’ saja yang perlu kita rehabilitasi; karena -paling tidak- dalam konteks ini, sejatinya pengertian maju justru tidak dikenal. Sejarah tidak membutuhkan gerakan maju, karena yang selalu terjadi adalah proses mundur dan mundur secara terus menerus.
Mari kita lihat: semua orang harus diandaikan sangat tahu sejarah hidupnya sendiri. Paling tidak, dari saat dia memiliki kesadaraan tentang keberadaan sampai dengan masa kininya. Inilah yang sudah menjadi pengetahuannya, menjadi sesuatu yang ‘bisa dilihat’nya, dan -karena itu- selalu berada di depannya. Tapi, jelas, tak seorangpun tahu apa yang nanti -apalagi besok- akan terjadi. Inilah yang belum diketahuinya, ‘belum bisa dilihat’nya, dan -karena itu juga- berarti ada dibelakangnya.
Jadi jelas, bahwa kita semua, sekali lagi -tidak seperti yang kita duga- selalu berjalan mundur, dan tidak pernah berjalan maju. Ini bukan kiasan, permainan kata apalagi sindiran, karena memang demikianlah kenyataannya.
Nah, karena tidak mungkin tahu apa yang ada di belakangnya, orang biasanya selalu mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi, apa yang sudah diketahuinya, apa yang ada di depannya; sebagai pegangan dan panduan utama dalam mengambil langkah-langkah mundur.
Di era 80-an, misalnya, ada nama Alvin Toffler atau John Naisbitt; dua ‘futuris’ yang menonjol dan bukunya laris manis dimana-mana. Yang mereka lakukan pada dasarnya hanyalah upaya merangkai fakta-fakta yang sudah diketahui, mencari pola-polanya untuk menyusun semacam ‘ramalan’ atau prediksi yang dimaksud membantu memandu orang agar bisa ‘melihat’ apa yang ada ‘dibelakang’ mereka. Panduan yang -tentu saja- diharap dapat menuntun orang untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam gerak ‘mundur’nya.
Tapi, justru di sinilah masalah sebenarnya muncul. Ada banyak penyakit dan kelemahan yang niscaya melekat pada manusia, yang secara potensial bisa menyebabkan pandangannya terganggu. Sebut saja rabun dekat atau rabun jauh, misalnya. Dua penyakit ini saja, sudah cukup mengacaukan kemampuan orang untuk bisa jernih melihat apa yang ada di depannya.
Pada gilirannya, penyakit ini secara langsung berdampak pada kemampuannya menyusun panduan; karena -secara otomatis- panduan ini pasti akan ikut terdistorsi dan, dengan demikian, juga rangkaian langkah mundur yang diambil berdasar panduan ini.
Penyakit rabun ini tampaknya muncul dari dua sebab yang berbeda: yang satu alamiah, yaitu faktor lupa yang melekat dalam kesadaran manusia. sementara yang lain lebih bersifat budaya; yakni upaya sadar untuk mengabaikan fakta-fakta tertentu yang ada di depannya. Atau, yang sering terjadi, kombinasi keduanya: pemanfaatan secara sistematis faktor lupa untuk menutup fakta-fakta yang ingin diabaikan.
Ini bukan cuma terjadi dalam skala sosial yang berspektrum luas, tapi juga dalam skala individual yang spektrum jauh lebih sempit. Ambil contoh sederhana: kita semua tak pernah berhenti berusaha melupakan apa saja yang kita anggap menyakitkan atau memalukan dari sejarah kita. Jujur saja, fakta-fakta semacam ini selalu berusaha kita hapus dari ingatan.
Dalam konteks ini, ada baiknya kita kutip parafrasa terkenal Milan Kundera, novelis pemenang Nobel dari Cekoslovakia, dalam bukunya “The Book of Laughter and Forgetting”: perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Tampaknya kekuasaan di sini harus kita tafsirkan dalam spektrumnya yang paling luas, yang secara sekaligus juga merangkum pengertian kemampuan manusia untuk membaca dan menyusun ‘sejarah’ dan panduan langkah ‘mundur’nya.
Harus diakui, sistematisasi lupa inilah yang -mau tak mau- tampaknya harus di akui selalu menjadi faktor utama penyebab ketololan kita yang sering melebihi keledai. Keledai cuma sekali terperosok pada lubang yang sama; kita bisa berulang-ulang terperosok di sana.
Jadi, jujurlah dalam membaca apa yang ada di depan kita, membaca sejarah; sehingga panduan yang kita susun tidak manipulatif dan -dengan demikian- langkah mundur kita tak makin membuat kita makin babak belur. Sungguh, semakin lupa semakin babak belur pulalah ‘kemunduran’ kita!
