Persaingan dan kompetisi dalam politik terjadi bukan hanya di lapis bawah atau masyarakat, namun sesungguhnya terjadi di tingkat elit atau mereka-mereka yang memiliki kekuasaan. Pertarungan di seputar elit inilah yang kemudian berimbas ke bawah atau masyarakat. Melibatkan para simpatisan dan pengikut. Dalam dunia digital sekarang pertarungan di tingkat masyarakat dan para simpatisan begitu nyata terlihat dalam media sosial atau medsos.
Pertarungan di tingkat elit melibatkan antara lain para pemegang kekuasaan, partai politik, para pejabat baik yang ada di pusat maupun di daerah, dan ketua-ketua umum partai. Pertarungan ini bisa dilihat dimotivasi oleh dua pola yaitu keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dan keinginan untuk merebut kekuasaan sesuai dengan teori push and resisten dalam politik.
Dengan munculnya isu politik dinasti yang dialamatkan ke petahana kekuasaan, ini menunjukkan keinginan untuk melanjutkan kekuasaan dari rezim yang berkuasa sekarang. Sebelumnya santer mencuat isu perpanjangan kekuasaan, penundaan pemilu dan upaya memasangkan presiden sekarang sebagai calon wakil presiden pada pilpres 2024. Namun, semua isu ini sekarang sudah berakhir dengan adanya paket capres-cawapres dari putera presiden sekarang.
Sedangkan dari pihak partai yang mencalonkan kadernya untuk menjadi presiden, dan partai-partai yang berkoalisi untuk ambil bagian dalam kontestasi pilpres yang akan datang adalah hal yang wajar untuk bersaing pula merebut kursi orang nomor satu dan nomor dua di negara ini. Sebab, tujuan dari hadirnya partai memang untuk menduduki kekuasaan dan memerintah rakyat.
Baik pejabat yang berkuasa maupun partai politik yang berada di luar kekuasaan (tentu ada juga partai yang berada dalam lingkaran kekuasaan karena kadernya masuk kabinet), namun di saat musim pemilu mereka pasti juga mengincar kekuasaan. Dengan demikian pada saat pilpres dan pemilu mereka pasti akan mengerahkan segala kemampuannya untuk meraih kekuasaan.
Persaingan politik ini juga bisa menimbulkan perpecahan. Meskipun pada mulanya di antara pemegang kekuasaan dan partai politik keduanya berkoalisi dengan erat, bisa saja kongsi ini pecah dan bahkan saling mengumbar permusuhan.
Baik partai maupun pejabat yang berkuasa memiliki sumber kekuatan atau amunisi untuk saling menjatuhkan dan memenangkan pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan pada saat pemilu.
Partai politik memiliki massa dan organisasi yang luas mulai dari pusat sampai ke daerah hingga tingkat desa dan kecamatan. Mesin politik bisa bekerja mendekati rakyat dan para pemilih. Partai politik satu-satunya jalur bagi seorang untuk maju mulai dari bupati, wali kota, gubernur, presiden dan wakil presiden.
Sedangkan seorang pejabat memiliki kekuasaan dan birokrasi. Pejabat juga memiliki wewenang yang bisa membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya. Yaitu bisa mengangkat orang-orang yang loyal kepadanya dan mau diajak bekerjasama. Melalui kewenangannya ini bisa pula menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang dianggap dapat menghalangi mempertahankan kekuasaannya.
Dalam perkembangan politik terakhir di tanah air, kita melihat dugaan persaingan antara salah satu partai politik dengan presiden. Presiden dan kedua anaknya serta menantunya yang dianggap kader salah satu partai dianggap melakukan pembangkangan karena tidak mendukung calon dari partainya, tapi mendukung calon lain, dan anaknya juga dicalonkan oleh partai lain sebagai cawapres. Padahal, selama ini baik presiden maupun anak dan menantunya diusung dan dibesarkan melalui partai bersangkutan.
Sudah umum terjadi dalam suasana tahun politik dan menjelang pemilu, upaya menarik hati masyarakat pemilih, terlihat persaingan sangat ketat di antara partai politik atau siapapun yang yang berminat memperebutkan kekuasaan. Berbagai upaya dilakukan hingga dugaan adanya saling menyudutkan. Tidak urung bahkan, cara-cara yang bersifat penggunaan kekuasaan dan hukum dijadikan alat untuk menekan lawan politik atau orang yang berseberangan.
Misalnya, dugaan menjadikan hukum sebagai alat politik mentersangkakan seseorang yang ingin maju sebagai capres atau cawapres. Mengungkit-ungkit dugaan keterlibatan seseorang dalam perbuatan dugaan korupsi, meskipun kasusnya sudah lama, namun dilidik (penyelidikan) kembali pada saat tahun politik. Ini tidak hanya terbatas pada figur yang ingin maju sebagai capres dan cawapres, tapi juga bisa dibidik para politisi atau menteri yang berasal dari partai yang dinilai tidak lagi loyal atau dianggap memiliki sikap berubah. Meskipun hal ini dibantah dan murni dianggap penegakan hukum , namun karena timing waktu dilakukannya di tahun politik menimbulkan persepsi dan kesan politisasi hukum.
Pola lain bisa juga dengan membuat kisruh atau kegaduhan pada kepengurusan partai-partai yang dinilai beroposisi pada pemerintah dengan harapan partai tersebut bisa diambil alih sehingga tidak lagi bersikap kritis dan diharapkan pro pada penguasa.
Politik sebenarnya adalah persaingan atau perebutan kekuasaan di antara pemain atau elit di tingkat atas. Dalam sistem politik demokasi yang murni hal ini dilakukan dengan cara merebut simpati rakyat dalam pemilu untuk mendapatkan suara atau melalui dukungan wakil rakyat di DPR. Namun, politik tidak selamanya berjalan lurus. Para elit politik bisa saja berimprovisasi mengakali hukum atau undang-undang baik untuk mempertahankan kekuasaan maupun merebut kekuasaan. Dalam hal ini rakyat yang tidak mengerti hukum dan undang-undang bisa saja terkecoh atau tidak memahami. Apalagi kemudian dibentuk opini baik melalui media maupun lembaga survei dan para buzzer yang tidak netral dan memihak sehingga timbul persepsi masyarakat bahwa itu suatu kebenaran.
Dengan demikian sebenarnya kenduri politik lima tahunan adalah ajang persaingan para politisi bintang dan pesta para elit. Elit ini bisa saja para politisi, pejabat yang sudah merasakan nikmat kekuasaan dan masih ingin kembali menjabat atau comeback, para timses dan ketua-ketua relawan yang bertaburan, intelektual yang mengincar jabatan dan lainnya.
Karena politik adalah ajang para elit atau politisi bintang diharapkan mereka berpolitik dengan niat untuk mensejahterakan rakyat dan masyarakat. Tetapi, kalau mereka berpolitik semata untuk karir dan motivasi keuntungan pribadi, maka politik bukan untuk membawa kesejahteraan rakyat, tapi menyengsarakan rakyat.
Menjadi politisi tentu berbeda dengan menjadi pengusaha, yang semata mengejar profit dan kekayaan harta benda. Sedangkan menjadi politisi karena idealisme untuk bsrbuat kemaslahatan. Dan, sekarang berpolitik untuk idealisme mungkin dianggap sudah usang ! Benarkah?