Ada sebuah ungkapan yang diciptakam oleh seorang Yahudi dan kini sangat terkenal. Begitu terkenalnya ungkapan tersebut, sehingga banyak orang Islam ikut menelannya bulat-bulat. Ungkapan itu adalah; Ilmu pengetahuan tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh. Aslinya, Science without religion is blind, religion without science is lame.
Ini adalah ucapan si Yahudi Albert Einstein sebuah nama yang kadang membawa kebanggaan bagi yang mengucapkannya. Seakan orang lupa akan ’’jasa’’ orang ini yang berupa ancaman malapetaka global bila perang nuklir pecah. Bom nuklir adalah pengembangan teori pembebasan energi inti hasil pemikiran si Yahudi itu.
Dalam dunia ilmu pengetahuan (science), Einstein adalah mama yang menyilaukan. Sehingga orang menjadi segan melakukan penilaian yang kritis atas ucapannya, apalagi melakukan penafsiran yang radikal. Padahal untuk ungkapan di atas misalnya, umat Islam tidak boleh menerimanya begitu saja. Karena di sana terdapat hal-hal yang memerlukan penafsiran yang dalam dan kritis. Bila hal ini tidak dilakukan, terutama umat Islam akan terjebak naif yang bersifat sangat mendasar.
Bila ditafsirkan secara tergesa, maka ungkapan di atas akan memberi pengertian, bahwa ilmu pengetahuan (sains) mempunyai bobot yang setara dengan agama. Lihatlah, alangkah banyak orang mengatakan “’ilmu umum’’ dan “ilmu agama’’. Padahal agama (ad-dinul Islam) tidak boleh dimasukkan ke dalam disiplin ilmu apa pun, baik ke dalam ilmu sosial maupun kebudayaan seperti anggapan orang luar. Agama bersumber dari wahyu, kebenarannya bersifat mutlak dan pertama-tama umat harus menerimanya dengan iman. Sedangkan ilmu pengetahuan berasal dari budidaya akal manusia di bumi, tunduk kepada hukum sebab-akibat, kebenarannya bersifat nisbi (relatif) dan umat akan menerimanya hanya dengan kekuatan rasio.
Iman kepada kalamullah bisa langsung mengendap dalam hati ummat tanpa harus melalui proses penalaran. Sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan hanya bisa diterima oleh mereka yang beruntung memiliki wawasan ilmiah tertentu. Yang paling beruntung adalah umat yang mampu menjabarkan iman secara rasional versi ilmu pengetahuan sehingga makin kuatlah iman itu dalam jiwa mereka. Lalu bagaimana dengan mayoritas muslim Indonesia yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan hanya dalam takaran sangat minim?
Punya Risiko
Menjabarkan ajaran agama secara rasional versi pengetahuan (secara relatif) memang perlu asal transenden ajaran agama dijamin tak akan terusik. Upaya ini tentulah bertujuan menyempurnakan misi Islam dalam kehidupan masyarakat. Apabila tujyuan berhasil dicapai, maka kita tea membuktikan bahwa Islam memang agama fitrah (dan karenanya rasional), maka Islam adalah satu-satunya jawab bagi segala persoalan yang dihadapi oleh sekalian manusia.
Namun upaya ini mengandung risiko gagal, bahkan berbahaya, yakni bila ummat tidak mampu menerima sekaligus kebenaran versi wahyu dan kebenaran versi ilmu pengetahuan dalam hakikat yang tunggal.
Tentang bintang yang beralih cepat misalnya. Pengertian yang diperoleh umat dari kalamullah ialah bintang yang dijadikan alat oleh para malaikat untuk melempar setan yang hendak mencuri rahasia Allah untuk kepentingan menggoda manusia. Itu kebenaran agama. Kemudian ilmu pengetahuan mengatakan bahwa bintang yang beralih cepat adalah benda meteorit yang memasuki atmosfir sehingga terbakar dan membara. Ini kebenaran ilmu pengetahuan.
Bersyukurlah mereka yang bisa mendudukkan kebenaran ilmiah menjadi faktor yang memperteguh keyakinan akan kebenaran ajaran wahyu. Mereka tentulah mempunyai wawasan ilmu pengetahuan yang memadai serta mendapat kasih-sayang Ilahi berupa hidayah. Sayang, melihat kenyataan umum dewasa ini jumlah mereka tentu terlalu sedikit dibanding dengan jumlah umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Fakta yang sungguh menyedihkan adalah mayoritas muslimin Indonesia yang tidak mampu menjabarkan ajaran Islam secara rasional versi ilmu pengetahuan. Dengan demikian kebenaran ilmiah yang disodorkan kepada mereka bisa menjadi tanda tanya besar, salah-salah bahkan akan mengusik kebenaran versi iman yang lebih dulu masuk ke hati mereka. Ini sesuai dengan teori dalam ilmu pendidikan bahwa kebenaran yang pertama diyakini bakal menjadi tolok buat menolak kebenaran lain yang menyusul kemudian, apalagi bagi kaum yang masih bersahaja yang belum sanggup menerima dua kebenaran dalam satu hakikat.
Tuhan dan Lem
Saya mempunyai dua buah contoh kasus tentang riskannya menjabarkan ajaran agama secara rasional versi ilmu pengetahuan. Seorang misionaris masuk ke sebuah kampus di Amerika. Melihat medannya adalah pabrik intelektual, maka ia berceramah tentang Tuhan dan teori ilmu pengetahuan mengenai terjadinya bumi menurut Kant dan Laplace. Di hadapan sekelompok mahasiswa dia berpidato penuh semangat.
Menurut Immanuel Kant dan Laplace, pembentukan planet bumi bermula dari adanya awan debu kosmik yang mengambang di alam raya. Awan debu dalam volume gigantik itu berputar pada poros tetap sehingga menimbulkan gaya sentrifugal yang semakin kuat sesuai dengan makin cepatnya perputaran masa awan. Masa makin mampat dan suhunya naik, sehingga masa debu berubah menjadi gas. Oleh dimensi waktu permukaan masa mendingin kembali dan terbentuk lapisan keras yakni kerak bumi ini.’’
“Nah, saudara-saudaraku,” katanya, pikirlah dengan bijak; siapa gerangan pencipta awan debu itu dan kemudian memutarnya sehingga menjadi padat seperti yang kita injak sekarang ini?”
Pada umumnya para mahasiswa itu acuh saja. Beberapa orang di antara mereka malah ngeloyor pergi. Tetapi setidaknya ada seorang yang angkat bicara. ’’ Yeah, I see now. God is nothing but some kind of glue!’’ (Ah, saya tahu sekarang, Tuhan tidak lain adalah sejenis lem).
Contoh lain adalah pengalaman saya ketika berbicara tentang teori terjadinya hujan di hadapan jamaah musala saya. Saya katakan, bahwa hujan bermula dengan terjadinya pengembunan uap air di angkasa. Apabila pengembunan cukup besar pada jarak yang tidak terlampau tinggi, suhu udara tidak terlalu panas serta angin tidak terlalu kencang maka Insya Allah hujan akan turun. Nah, umpan balik yang saya terima adalah pertanyaan dari seorang jamaah. ‘‘Kalau cerita antum itu benar maka malaikat Mikail yang bertugas membagi hujan telah dipensiun?’’
Saya terangkan, bahwa malaikat Mikail membagi hujan adalah hakikat hujan yang harus kita terima dengan iman. Sedangkan hukum-hukum ilmu pengetahuan tentang hujan adalah sunatullah dengan mana malaikat Mika’il melaksanakan tugasnya. Tetapi keterangan itu malah membuat orang yang bertanya tambah bingung. Maklum, konsep tentang pengembunan (kondensasi) berada di luar jangkauan pikirannya.
Agama: Moral Sains
Pada abad pertengahan, ketika Islam mengalami zaman keemasan, kepemimpinan di bidang ilmu pengetahuan berada dalam tangan sarjana-sarjana muslim. Waktu itu tak ada masalah bagaimana menjabarkan ajaran Islam secara rasional versi ilmu pengetahuan. Waktu itu ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri melainkan menjadi bagian integral filsafat. Filsuf-filsuf muslim seperti Ibnu Khaldun, Al-Farabi, [bnu Rusyd, kemudian Al-Ghazali, meskipun kebanyakan dari mereka telah mempelajari pikiran Aristoteles, Socrates dan Plato, tetap berkeyakinan bahwa Islam aualah sumber filsafat mereka. Atau seperti yang dikatakan oleh seorang muslim bekas tokoh komunis Eropa Barat, Roger Garaudy, bahwa sarjana-sarjana muslim saat itu tidak memisahkan ilmu pengetahuan dari sumber moralnya yakni wahyu.
Sejak kepemimpinan di bidang ilmu pengetahuan lepas dari tangan sarjana-sarjana muslim, kemudian oleh munculnya paham positivisme ilmu pengetahuan diproklamasikan berdiri sendiri. Bahkan hampir setiap disiplin ilmu terpecah dalam spesialisasinya masing-masing. Agama sebagai sumber moral sudah banyak yang melupakannya. Agama dan ilmu pengetahuan masing-masing berbicara tentang hakikat. Kebanyakan umat hanya mampu memilih salah satu yang diberikan oleh agama atau oleh ilmu pengetahuan. Hanya sedikit yang mampu menerima sekaligus keduanya dalam satu kebenaran.
Sekarang, kembalinya ilmu pengetahuan pada posisinya yang semula sedang dirindukan umat. Ilmu pengetahuan sebagai budidaya akal manusia diusahakan bisa sebagai alat penjabaran secara rasional dari ajaran agama. Asal hati-hati. Pertemuan sesudah perpisahan yang lama sering membawa situasi emosional. Kadang orang menjadi tidak sabar, kadang menjadi saling teduh, bahkan jadi lupa bahwa kunci keberhasilan pertemuan antara ilmu pengetahuan dengan agama adalah sesuatu yang berada di luar wawasan akal manusia hidayah Ilahi.

Penulis: Ahmad Tohari, novelis, budayawan, tinggal di Jatilawang, Jawa Tengah
Sumber: Panji Masyarakat, No. 402, 21 Juli 1983