Ads
Bintang Zaman

Pak Roem di Mata Cak Nur

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Artikel yang semula berjudul “In Memoriam Pak Roem” ini berasal dari tulisan Nurcholish Madjid (Cak Nur) di majalah Panji Masyarakat, 11 Oktober1983. Artikel ditulis ketika Cak Nur menempuh pendidikan doktoral di Chicago University, Amerika Serikat, untuk mengenang Mohamad Roem yang wafat pada 24 September 1983.

Saya masih ingat, ketia masih bocah umur taman kanak-kanak, di tahun-tahun pertama setelah Proklamasi, pernah ditinggalkan Ayah yang anggota Hizbullah/Sabillllah sampai berminggu-minggu lamanya, hingga timbul kerinduan kami bersaudara serta ibu yang amat sangat. Setelah datang, Ayah menceritakan bagaimana perjalanan jauh yang telah ditempuhnya ke Desa Parakan, dekat Magelang, untuk menerima gemblengan seorang kiai terkenal di sana, bersama ribuan anggota Hizbullah/Sabilillah dan seluruh penjuru Tanah Air.

Ayah membawa pulang oleh-oleh yang agak aneh: sebuah ketepel dengan beberapa belas batunya, sebuah tongkat dari bambu kuning, sebuah pentung dari kayu, beberapa bilah sujen (tusuk sate) besar-besar, dan sebuah pedang samurai. Begitu pula halnya paman-paman saya yang juga pergi ke gemblengan itu. Mereka, Ayah dan paman-paman itu, seperti juga semua yang telah menerima gemblengan di Parakan, meyakini bahwa benda-benda tersebut adalah bertuah, karena telah diberi ‘’asma’’ (jimat) oleh Pak Kiai. Mereka memerlukan ’’senjata-senjata’’ itu untuk ikut dalam kancah Revolusi, mempertahankan kemerdekaan dan mengusir Belanda.

Peristiwa di atas mungkin tidak ada sangkut-pautnya apa-apa dengan almarhum Pak Roem, apalagi dari segi weltanschauung yang terselip padanya. Namun ada suatu kaitan tak langsung yang cukup menarik. Dari Desa Parakan itulah juga muncul dan tampil Pak Roem, yang seperti halnya kiai penggembleng tadi, juga secara lahir batin amat jauh terlibat dalam kancah Revolusi 1945. Tapi keterlibatan Pak Roem bukanlah sembarang keterlibatan. Jika harus peletak dasar Republik, maka mereka itu, selain Bung Karno dan Bung Hatta sebagai proklamator, harus, dan tidak bisa tidak, meliputi Pak Roem.
Kiahi penggembleng tadi, dengan caranya sendiri, tidak mungkin diungkiri jasanya membangkitkan semangat berjuang para pemuda Muslim kalangan santri. Mereka inilah yang kemudian berguguran sebagai syuhada, memenuhi taman-taman makam pahlawan di seluruh pelosok Tanah Air. Pengorbanan mereka diperingati dengan mendirikan sebuah mesjid di Yogya, ibukota Revolusi, dan mesjid itu menjadi monumen nasional yang paling bermakna di seluruh Indonesia. Namanya Masjid Syuhada.

Demikian pula halnya dengan Pak Roem, yang juga bahkan harus ikut langsung dan fisik merasakan panasnya pelor tentara Belanda. Tetapi tentu Pak Roem menempuh jalan dan menggunakan cara perjuangan yang berbeda dari Pak Kiai penggembleng. Ketepel digantinya dengan wawasan politik nasional yang jauh ke depan, tongkat bambu kuning ditukarnya dengan ketabahan berunding, sujen-sujen sakti diubahnya menjadi keunggulan dalam berargumentasi, pentung kayu berjimat baginya ialah kemantapannya yang tak tergoyahkan kepadadiri sendiri, dan pedang samurai seolah lambang ketangkasan lisannya menghadapi diplomat-diplomat musuh. Dengan senjata-senjata itu di tangan, Pak Roem berperan sebagai peletak salah satu tiang pancang Republik Indonesia yang paling kokoh.

Urutan Ketiga Setelah Soekarno dan Hatta

Rasanya tidaklah berlebihan jika diajukan argumentasi bahwa nama Pak Roem seharusnya diletakkan sejajar pada urutan ketiga setelah Bung Karno dan Bung Hatta. Sebab, dalam pertumbuhan Republik, peristiwa apalah kiranya yang lebih penting daripada Proklamasi dan Perundingan Roem-Royen yang mengawali Konferensi Meja Bundar, yang kemudian menghasilkan penyerahan kedaulatan secara resmi? Apalagi jika diingat saat itu wilayah Republik hanya meliputi beberapa keresidenan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebelah selatan, menghadap Samudra Hindia.

Dalam keadaan Republik yang ibarat kepepet ke tembok tanpa ruang gerak sedikit pun itu, Pak Roem maju ke depan dengan ketepel, tongkat, pentung, sujen dan pedang samurai diplomasinya. Dan Pak Roem berhasil gemilang! Tiba-tiba saja wilayah Republik yang semula ibarat hanya selebar daun kelor itu kemudian mekar meliputi seluruh Tanah Air. Tiba-tiba saja, setelah sekian tahun rakyat kecil di desa-desa dan kota-kota diliputi oleh rasa ketakutan karena suasana perang itu, kini menjadi bebas dan aman. Tiba-tiba saja, saya masih ingat, Pak Sopah, pemimpin gerilyawan di daerah kami di Jombang Selatan, bersama anak buahnya bisa mengadakan pertandingan sepak bola dengan kesebelasan tentara Belanda yang pada waktu itu menduduki kota kecil daerah itu, Mojowarno (tempat kedudukan induk Jemaat Jawi Wetan), dengan suasana persahabatan.

Kami yang masih kanak-kanak ingusan dibuat bangga dan bahagia oleh regu Pak Sopah yang ternyata mampu mengalahkan lawannya yang sebagian berkulit putih itu, Setelah tumbuh besar dan masuk SD (waktu itu SR, Sekolah Rakyat), serta belajar sejarah Indonesia, barulah saya mengetahui bahwa kenangan manis itu semua adalah terutama berkat diplomasi Pak ‘Roem, yang tidak saja telah menghentikan permusuhan, tetapi juga akhirnya menghasilkan pengakuan resmi pihak Belanda kepada Republik. Dan setelah sedikit banyak mengetahui riwayat hidup para pemimpin, barulah saya ketahui bahwa Pak Roem berasal dari Parakan, desa ke mana ayah dan paman-paman saya dulu pergi berminggu-minggu, dan pulang membawa oleh-oleh aneh tadi.

Pak Roem memang bukan seorang kiai, dan dapat dipastikan tidak menyertai weltanschauung kiai penggembleng sedesanya itu. Tetapi jika ’’kiai’’ berarti bertuah (sebagaimana salah satu makna asalnya dalam bahasa Jawa), maka Pak Roem adalah benar-benar seorang kiai. Tuahnya telah dan akan kita rasakan bersama, yaitu wujud Republik ini. Sudah tentu Pak Roem tidak sendirian mewujudkannya, tapi hampir boleh dikata bahwa tanpa tuah diplomasi Pak Roem mungkin perkembangan negara kita tidak selancar seperti yang kita alami.

Kekiaian Pak Roem

Dan, jika ’’kiai’’ berarti orang yang mendalam pahamnya akan agama (Islam), maka Pak Roem harus disebut demikian. Memang kekiaian Pak Roem tidak bisa kita ukur dengan standar-standar konvensional seperti pengetahuan tentang Nahu-Saraf, Ma’ani-Bayan-Badi’, Sullam-Safinah dil. itu. Tetapi dengan ukuran-ukuran yang justru lebih fundamental: keberhasilannya menangkap makna-makna dasar ajaran Islam (atau, ’’Api Islam”, kata Bung Karno), dan memfungsionalkan pahamnya itu dalam kehidupan sehari-hari, pribadi maupun sosial. Ini tercermin dalam tema-tema perjuangan Pak Roem, yang kesemuanya itu berkisar pada dambaan akan nilai-nilai luhur individual dan sosial, seperti kesalehan pribadi, patriotisme, kejujuran, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, kemerdekaan ilmiah, hak-hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, tertib hukum, tertib konstitusi, dst.


Nilai-nilai itu, bagi Pak Roem, dan bagi siapa saja yang mau dan mampu mengkaji secara mendalam, adalah tidak lain daripada nilai-nilai fundamental Islam. Tetapi, di tangan Pak Roem, bagaimana juga halnya dengan para tokoh Muslim modernis lainnya, nilai-nilai itu memperoleh artikulasinya yang kuat, berkat latihan dan pendidikan mereka yang modern. Sebagai lulusan Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di zaman Belanda yang amat tinggi reputasi dan prestasinya itu, Pak Roem adalah salah seorang dari kalangan lapisan amat tipis bangsa kita yang sangat terpelajar, yang membentuk kelompok intelektual nasional yang paling elite. Pendidikan yang baginya tentu merupakan nikmat-karunia Tuhan itu telah dimanfaatkannya dengan cara yang paling baik, dan telah membuahkan hasil seperti kita rasakan.

Asuhan Haji Agus Salim

Tapi pendidikan tingginya itu bukankah satu-satunya faktor kepribadian Pak Roem. Penyaksiannya akan sepak-terjang HOS Tjokroaminoto, Bapak Kebangkitan Umat Islam dan Bangsa Indonesia di zaman modern, keanggotaannya dalam JIB (Jong Islamieten Bond) gagasan Syamsuridjal, kesertaannya dalam SISC (Studenten Islam Studie Club) inisiatif Yusuf Wibisono, dan, yang paling penting, keberadaannya di bawah asuhan intelektual Haji Agus Salim, Bapak Intelektualisme Islam di Indonesia, amat besar andiinya dalam membentuk kepribadian Pak Roem, Ramuan dari itu semua telah – mewujudkan diri dalam hakikat ’’ke-Pak Roem-an’’, yaitu modernisme Islam yang positif, terbuka, future-oriented, kreatif, mantap kepada diri sendiri, demokratis, toleran dan berkarakter.

Kini Pak Roem telah tiada. Dengan segala kepedihan kita dalam hati, Pak Roem telah berpulang, memenuhi ketentuan Sang Pencipta bahwa setiap jiwa pasti kembali kepada-Nya. Namun ’’ke-Pak Roem-an’’ dan jasa-jasa yang telah ditinggalkannya akan tetap awet sebagai amal jariah, dengan pahala yang terus mengalir kepadanya di alam baka. Kelak Pak Roem akan dibangkitkan dari kuburnya, dan insya’Allah akan mendapatkan segala amal kebajikannya terbeberkan dihadapannya, dengan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Tuhan. ’’Sesungguhnyalah Kami akan menghidupkan semua orang ‘ mati, dan Kami mencatat segala apa yang telah mereka darmabaktikan (di dunia). Segala sesuatu Kami buat perhitungannya dalam buku induk yang jelas.’’ (Al-Qur’an, surat Yasin, 12).

Karena darmabakti dan jasanya yang begitu agung dan meluas, maka Pak Roem telah menjadi milik setiap warga Republik Indonesia. Kelompok mana pun, apalagi perorangan, akan terlalu kecil untuk mengajukan klaim sebagai memiliki sendiri tokoh Pak Roem. Pak Roem telah meleburkan dirinya dalam keindonesiaan, dan telah menjadi bagian organik hakikat ‘keindonesiaan itu. Dari sudut keyakinan agamanya, perjuangannya itu merupakan suatu cara terbaik baginya dalam beribadat kepada Allah.

Namun dalam kesadaran penuh akan keagungan siapa Pak Roem itu, saya yang umur masih setahun jagung dan darah masih setapak pinang ini, merasa beruntung sekali dan amat bersyukur kepada Allah bahwa saya dikaruniai kesempatan bisa berkomunikasi secara serius dengan Pak Roem selama bulan-bulan terakhir hayatnya.

Komunikasi itu telah menghasilkan korespondensi, dengan surat-surat yang panjang. Lebih-lebih surat-surat saya kepada Pak Roem, semuanya saya tulis dalam berlembar-lembar kertas kuarto ketik rapat dan cetak kecil. Sebab saya. selalu mendapati diri saya banyak sekali menyimpang pertanyaan-pertanyaan yang sebagian agaknya merupakan pemunculan ke atas bawah sadar saya sejak kanak-kanak. Dan saya amat bahagia mendapati Pak Roem selalu tanggap dan responsif.

Surat-surat Pak Roem memang lebih pendek dari surat-surat saya, tapi penuh dengan data, pendapat, ide, nasehat, sentilan, kritik, nuktah-nuktah historis dan kata-kata hikmat. Dari ketikan surat-surat itu saya mengetahui bahwa Pak Roem dalam usianya yang sepuh itu telah berkorban untuk bersusah-payah melayani korespondensi dengan saya. Alangkah agungnya Pak Roem, yang sikapnya terhadap saya yang anak kemarin ini ibaratkan samudra yang tak pernah kekurangan ruang untuk menerima dan menampung apa saja yang datang kepadanya untuk merasakan kekayaan garam pengalamannya. Lebih-lebih lagi saya merasa bahagia, bahwa Pak Roem, dalam surat-suratnya yang terakhir (tertanggal 31 Agustus dan 8 September 1983 ini), menyatakan bahwa korespondensi kami itu mendapat perhatian yang cukup meluas dan bermanfaat, kata beliau, untuk generasi muda dan mereka yang membacanya dengan perhatian. Surat itu segera saya balas, tertanggal 15 September, tapi, entahlah, apakah Pak Roem masih sempat menerima surat itu dan membacanya.

Tiba-tiba saja, malam, 25 September, jam 21.00 waktu Amerika Tengah, telepon di apartemen kami berdering, dan ternyata di ujung lain adalah suara Bang Imad (Imaduddin Abdulrahim) dari Ames. Iowa. Saya sedikit heran menerimanya, karena baru saja paginya lama kami bertelepon. Tapi keheranan itu segera hilang, dan kini berganti dengan perasaan kaget, sedih dan perasaan hati yang seperti tidak mau percaya, karena Bang Imad, dengan suara sendu, menyampaikan berita wafatnya Pak Roem itu. Ia menerima kabar itu dari Kang Lutfi (A.M. Lutfi) di Jakarta, lewat telepn, sesaat sebelumnya.

Segera saya beritahukan kan kepada kawan-kawan di kota-kota lain, dan al4ngkah kaget dan sedihnya mereka. Seorang pahlawan bangsa telah pergi, dan pahlawan itu adalah kebetulan seorang yang telah berhasil menggabungkan berbagai segi kebaikan kepemimpinan Indonesia merdeka.

Tulisan in memoriam yang tiada sepertinya ini hanyalah sebagai cara ikut menjadi saksi, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Ssw., bahwa Pak Roem adalah orang baik, sangat baik, telah banyak berbuat baik, dan kini berpulang ke hadirat Allah dengan baik.

Ya Allah, terimalah segala amal kebajikannya yang menurut kami tiada terkira itu. Ya Allah, berilah ketabahan hati kepada kami semua yang telah ditinggalkannya, dan khususnya sentosakanlah hati dan jiwa Bu Roem dan keluarganya semua. Kami berseru. kepada-Mu, seperti Engkau ajarkan dalam Kitab-Mu (46:15): ’’Ya Allah, berifah kami kemampuan untuk bisa mensyukuri nikmat-Karunia’-Mu kepada kami dan kepada orang-orang tua kami, dan untuk bisa beramal shalih yang Kau ridlai. Berilah kebaikan bagi kami berkenaan dengan generasi muda kami. Sesungguhnya kami bertobat kepada-Mu, dan sesungguhnya kami adalah termasuk orang-orang yang pasrah.’’ Amin, Ya Rabbal-’Alamin. Inna lillahi wa inna illaihi rajiun.

Chicago, 26 September 1983

Penulis: Nurcholish Madjid (1939-2005), cendekiawan Muslim, Guru Besar UIN Jakarta, pendiri dan rektor pertama Universitas Paramadina.
Sumber: Panji Masyarakat, No 410, 11 Oktober 1983.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda