Ads
Aktualita

Mencermati Fenomena Relasi yang Menguasai dan yang Dikuasai

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Salah satu fenomena yang nampak dari perang antara Israel dan Palestina adalah munculnya berbagai unjuk rasa di berbagai negara. Yang cukup unik bahwa negara yang mendukung Israel dalam konflik berdarah tersebut justru tidak sejalan dengan rakyatnya. Sekadar contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang mendukung dan membeking Israel justru rakyatnya melakukan unjuk rasa mengecam Israel dan membela Palestina. Bahkan, di negara Israel sendiri yang menginvasi Gaza mulai timbul penolakan terhadap kebijakan pemerintahannya. Dan terakhir terjadi demo menuntut Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk mundur.

Poin penting dalam suatu relasi antara pemimpin dan yang dipimpin atau antara penguasa dan yang dikuasai adakalanya tidak sejalan. Tidak terkecuali hal ini pun terjadi di negara kita. Beberapa aksi demo yang dilakukan masyarakat menunjukkan sikap penentangan terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya protes terhadap pelemahan UU KPK, UU Cipta Kerja, penggusuran warga Rempang, Batam, dan terakhir yang sedang hangat terkait putusan MK tentang ketentuan usia cawapres yang mendapat kecaman keras.

Kebijakan penguasa yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat rasanya ada yang masuk dalam kategori “ringan” dan kategori “berat”. Dalam kategori ringan misalnya bisa yang terkait dengan kebijakan ekonomi, hukum, budaya dan lainnya, namun ini pun bisa masuk dalam kategori berat tergantung magnitude atau luasnya dampak yang ditimbulkan.

Dalam kebijakan yang berkategori berat dan mendapat penentangan dari rakyat biasanya dihubungkan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Bisa disebutkan beberapa contoh antara lain penyalahgunaan kekuasaan yang bertentangan dengan konstitusi, pemerintahan yang otoriter atau diktator, memonopoli kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan maupun membangun politik dinasti.

Pola atau respons dari rakyat yang dipimpin terhadap penguasa yang memimpin, menjadi objek pemikiran para teoritikus kekuasaan, khususnya dari kalangan Islam. Ada yang melihat agar rakyat bersikap nerimo saja terhadap penguasa yang memerintah sewenang-wenang atau zalim. Perlawanan hanya akan menyebabkan situasi lebih buruk dan kacau (khaos). Namun, ada juga yang menganjurkan perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan menyimpang dari ajaran Islam. Maka pemakzulan atau melengserkan kekuasaannya bisa saja dilakukan.

Relasi kekuasaan antara yang memimpin dan yang dipimpin yang bersifat tiranik dan otoriter tidak akan menyebabkan pemerintahan stabil. Sejarah politik menunjukkan bagaimanapun kuatnya penguasa otoriter, perlawanan untuk mendongkelnya tidak pernah berhenti hingga kekuasaannya runtuh.

Hubungan atau relasi antara yang memimpin dan yang dipimpin dalam masyarakat modern memilih sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi rakyat ikut terlibat menentukan kebijakan negara baik dalam bentuk langsung maupun melalui wakil rakyat yang dipilih dan duduk di DPR.

Dalam sistem demokrasi, idealnya adalah bahwa hubungan antara yang dipimpin dan yang dipimpin bersifat penyayoman. Artinya penguasa itu adalah pelayan rakyat. Tugasnya bagaimana membuat rakyat sejahtera dan terjamin kehidupan ekonominya, kebutuhan pokoknya, pendidikan, keamanan, keadilan dan lainnya.

Namun, sistem demokrasi yang ideal tersebut adalah demokrasi yang substansial, bukan demokrasi yang prosedural. Demokrasi substansial yang dimaksudkan adalah penerapan demokrasi yang menghargai hak-hak rakyat, menghargai kebebasan berpendapat, tidak alergi dengan kritik, menjamin pergantian atau sirkulasi kekuasaan secara teratur. Intinya demokrasi substansial adalah pelaksanaan demokrasi yang dipraktekan dengan memberikan banyak kebebasan dan peluang bagi rakyat.

Sedangkan demokrasi prosedural atau formal adalah hanya institusi dan kelengkapan demokrasi saja yang dipenuhi, sedangkan praktek politik demokratisnya tidak berjalan. Misalnya, pemilu dan pilpres tetap dilangsungkan untuk memilih presiden dan anggota parlemen, tapi prosesnya berlangsung tidak fair, curang, tidak jurdil atau dikendalikan. Dengan begitu maka sistem kehidupan demokrasi prosedural atau formal menciptakan relasi penguasa dan yang dikuasai tidak sehat. Rakyat yang dipimpin atau dikuasai hanya jadi objek dari yang memimpin atau penguasa.

Dalam relasi antara penguasa dan yang dikuasai yang dibutuhkan adalah bersifat partisipatif. Artinya, kedua elemen antara penguasa dan yang dikuasai membangun hubungan saling isi mengisi. Rakyat menyampaikan aspirasinya dan penguasa mem-follow up-inya, tentu setelah melalui proses pengolahan dan menseleksinya dengan mempertimbangkan kemaslahatannya.

Dengan relasi yang bersifat partisipatif ini hubungan antara yang menguasai dan yang dikuasai tidak ada yang ditempatkan salah satunya sebagai pihak superior (di atas) dan lainnya inferior (di bawah). Tidak ada yang satu lebih mulia dan yang lain lebih hina. Yang berkuasa dan yang dikuasai sama-sama sebagai rakyat dan manusia.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda