Ads
Cakrawala

Kolom Cak Nun: Ketika Kita Berselisih Paham

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Kita semua, saudaraku, seakidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah. Dan tak sebuah macam makhluk jua yang mampu memisahkan kesatuan kita itu kecuali kekeruhan rohani kita sendiri: maradhun fii quiuubinaa. Tapi mungkin kita tak sepaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak sependapat. Tak seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut itu. Sementara saudara kita yang lain barangkali menganut suatu unikum tertentu dari kepribadiannya berdasarkan kodrat kelahiran dan mungkin latar belakang kebudayaannya.

Kita kemudian saling bisa bermusyawarah, dan hasil musyawarah itu sebagian bisa kita putuskan menjadi suatu kesepakatan tunggal, tetapi sebagian yang lain mungkin harus kita biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik, bahkan saling menghakimi: tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah tindak penghakiman itu selayaknyalah dilandasi oleh keinsafan kita akan keterbatasan dan relativitas kemampuan kemakhiukan kita. Selebihnya keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa dan Maha Mampu untuk menyelenggarakan penilaian yang sehakiki-hakikinya.

Demikianlah, saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sepaham, hal itu tidaklah perlu dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: seribu kepala punya seribu pendapat. Ketika Allah berfirman, “Wa ja’alnaakum syu’uban wa qaba-ila, lita’aarafu…(Dan kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal. Q.S. 49: 12, ed) kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan sekadar perbedaan: bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dengan konotasinya. Yakni bahwa di samping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka atau kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang lebih meluas ada syu’ub dan qaba-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda. Dan di antara yang berbeda-beda itu dianjurkan untuk ta’aruf, saling kenal-mengenal, saling mengerti, saling memberi ruang, saling toleran, sepanjang tak sampai menyangkut perbedaan prinsipiil tentang akidah.

Sebagian dari perbedaan itu bisa kita runding untuk membawa kita ke kondisi ’sepengertian’. Tapi sebagian yang lain mungkin tidak. Kemudian kalau toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita masing-masing tetap bisa berserah diri kepadanya, kaanallahu bi-kulli syai-in ‘aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan paham di antara kita tak selalu harus kita risaukan.

Berulang kali aku mengatakan kepada saudaraku, bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan di antara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Yakni menjadi rahmat, bukan malapetaka. Bukan konsensus tapi musyawarah. Namun betapa susahnya hal itu kita capai, saudaraku, kita telah mengalami bersama kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus. Bukan masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi.

Tentu saja tidak sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktik komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita tularkan kebijaksanaan itu sering kali berarti “tahu sama tahu’’ yang tak jarang disifati kemungkaran-.kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu acapkali berarti kita mengompromikan hal-hal yang sebenarnya tak bisa dikompromikan, atau menganggap klop apa yang sesungguhnya bertentangan.

Kita menyogok dengan sejumlah uang untuk kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian. Kita putuskan sesuatu -yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan tuhur yang menegakkan hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal itu ma’ruf, bukan mungkar. Dalam praktik urusan kenegaraan dan kemasyarakatan sering kali kita menjumpai kenyataan seperti itu.

Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tids muncul dari niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan naluri manusia untuk senantiasa mempertahan. akan diri selalu harus dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian-pengertian pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan dan pengertian pikirannya sendiri. Namun persoalannya bahwa ia tak hanya menyuruh semua orang untuk berpendapat seperti ia, dan hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang sependapat dengannya ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan pengertiannya.

Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita merasa ’gugur’ gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas gugur dirinya itu memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur seakan-akan adalah kebenaran Islam. Ia hanya bisa hidup dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kebenaran Islam, sehingga siapa saja yang tak sependapat dengan dia, maka anggap melanggar Islam.

Ia memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda mati. Bagaikan seonggok batu yang verbal dan miskin. Ia tidak menyediakan ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi manusia yang berbeda-beda, kondisi kehidupan yang berbeda-beda, jika ditumbuhkan dengan Islam, maka ia akan memunculkan mozaik kekayaa’ kekayaan yang tiada batasnya, bagaikan percikan dari kekayaan Allah yang tak bisa kita perkirakan. Ia juga tak bersiap, karena itu, untuk bersikap tawadhu’, rendah hati, sadar akan keterbatasan kita bersama, di tengah mozaik yang hanya sedikit saja mampu kita lihat dan rumuskan itu.

Kukira, saudaraku, hakikat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita bersama, bahwa hidup ialah bergerak mengidentifikasi diri dengan kebenaran Islam. Akan tetapi sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah identik dengan sosok tubuh kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam amat luas dan besar, seluas alam semesta yang Ia ciptakan, dan kita sekedar bergabung kepadanya.

Ya, kita yang amat kecil ini, hanya bergabung kepadanya. Mengolah pribadi kemusliman i:daklah berarti membangkit egosentrisism di mana seseorang menyerap ’seluruh Islam’ dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam itu sepenuhnya. Itu suatu takabur. Padahal kita tak lebih berarti dari dzarrah: jika kita dilahirkan untuk menjadi khalifah di muka bumi, maka kekhalifahan itu mustilah dengan penuh tawadhu’:kesadaran akan kefakiran di hadapan Allah.

Hal ini, saudaraku, persis. dengan kenyataan. bahwa tak seorang pun mampu menguasai Al-Qur’an. Paling jauh ia hanya menguasai penguasaannya sendiri atas Al-Qur’an. Cakrawala Al-Qur’an tak akan selesai untuk ditempuh, jalan lurusnya tak bakal habis dikembarai. Segala yang mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan tentang Al-Qur’an, hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman pribadi kita, dan Al-Qur’an tak bisa engkau hitung berapa kali lipat kekayaannya dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka tak ada pilihan lain kecuali tawadhu’. Dan memang itu yang terbaik.

Cepat Berburuk Sangka

Saudaraku, kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak antuk bersikap mutlak-mutlakan di tengah perbedaan pendapat ini karena kita amat possesif terhadap pemilikan kita atas pengertian-pengertian kita sendiri. Bagai seorang perawan yang tak mau secuil pun lelaki pujaannya dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kita begitu romantik, karena memang, pada dasarnya kita begitu mencintai dan bahagia dengan Islam kita. Begitu rupa romantiknya sehingga dalam beberapa hal kita menjadi buta. Kita jadi cepat tersinggung, cepat mangkel, cepat berang dan naik pitam jika sedikit saja hal tentang pacar kita itu disentuh orang. Secara rasional kita menjadi tidak objektif. Dan secara spiritual psikologis kita menjadi tidak dewasa, tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan suatu sikap yang tak menyiapkan diri untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan kebenaran baru atas diri kita.

Dalam keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan Allah: Ijtanibu katsiran minzh zhanni, inna ba’dhazh zhanni istmun, wala tajassasu wala yaghtab ba’dhukum ba‘dha (Jauhilah kebanyakan purbasangka karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan jangan menggunjing satu sama lain. Q.S. 49: 12) Kita sering cepat berburuk sangka, cepat cenderung mencari hanya kesalahan-kesalahan saudara kita yang lain. Bahkan ada prototipe mentalitas kita yang kurang biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita mengungkapkan perbedaan itu dengan cara yaghtab ba’dhukum ba’dha’.

Dengan begitu akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata Allah, “Yaskhar qoumun min qaumin” (janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, Q.S. 49: 11), sedangkan bisa-bisa saja kaum yang dicerca itu itu lebih baik ( “yakunu khairan minhum”, Q.S. 49: 11).

Lebih lucu lagi, saudaraku, di dalam saling mencerca itu, masing-masing kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu’ menyandarkan kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing merasa innallaha ma’ana (sesungguhnya Allah bersama kita, ed). Tidakkah, saudaraku, engkau pernah menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu di tengah perselisihan faham di antara kita semua?

Bahkan ada saudara kita yang dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang diungkapkan Al Qur’an: “I’maluu ’ala makanatikum innii ‘aamil , (Berbuatlah menurut kedudukan dan sikap hidup kalian, maka sesungguhnya Aku akan bekerja pula, Q.S. 39: 39) atau “Lana a’maaluna wa lakum a’malukum, salamun ’alaikum la nabtaghil-jaahilin” (Bagi kami amal kami dan bagimu amal-amal kamu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul bersama orang-orang bodoh, Q.S. 28: 55) atau “Idz ja’alal ladzina kafaru fi qulubihimul-hamiyyata hamiyyatal-jahiliyaati fa-anzalallahu sakinatuhu ‘ala rasuulihi wa ‘alal mu’miniina wa-alzamahum kalimatat-taqwa.”(Ketika orang-orang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin , dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat-kalimat takwa, Q.S. 48: 26).

Tentu saja, saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang di antara beribu pikiran kita atau di antara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap keduniawian dewasa ini bisa dianggap mengalihkan yang selain Allah, atau suatu kecenderungan kekufuran yang menafikan Allah); akan tetapi, tentu akan lebih afdol, apabila kita mengusahakan suatu keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok kemungkinan kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya.

Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali, mengalami berbagai perselisihan paham dengan berbagai kalangan Muslim dalam pentas-pentas atau pembicaraan-pembicaraanku di berbagai tempat, dan aku gagal menemui keinginanku akan keterbukaan dan kedewasaan komunikasi seperti itu.

Aku sering berkata kepada saudara-saudara kita: ’’Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia meng-ishlah membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa syukurku’. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup seperti kuungkapkan di atas sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi karena faktor mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai’ ada suatu saat aku berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini seorang muallaf, maka dengan menghadapi sikap jumud seperti itu, tak mustahil aku terlempar kembali ke luar Islam. Namun, alhamdulillah, justru. Karena itu. maka Allah berkenan menganugerahiku tenaga untuk makin mencintai-Nya serta untuk lebih dalam menyelami samudera nilai Islam yang demikian luas dan dalam.

Saudaraku tahu, mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi* Banyak hal kita ketahui, namun jauh lebih banyak lagi yang tak kita ketahui. Allah telah memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta dan telinga kita masih agak tuli. Segala yang ’kita kuasai’ hanyalah sejauh seberapa mata kita bisa jernih dan telinga kita bisa bening. Dan segala yang kita ketahui itu pastilah se-dzarrah saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.

Kita semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satu-satunya khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai sikap seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah di mana setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran pikiran kita sendiri itu.

Saudaraku Insya Allah sudah membaca buku Dialog Sunnah Syi’ah. Surat-menyurat antara “Kiai Suni” Asy-Syaikh Al-Bisyri al-Maliki dengan “Ulama Jumhur” As-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-’Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita tentang percaturan paham yang berbeda antara Suni yang mayoritas dan Syi’ah yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya dibanding informasi itu ialah bagaimana cara dan watak mereka di dalam berdialog. Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara mereka, betapa tawadhu’ dan rendah hati mereka, serta betapa besar gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran tanpa sikap defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan ’gengsi’ atau ’harga diri” pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos ’mempertahankan pendapat sendiri secara membabi buta’ seperti yang sering menjadi watak dari dialog-dialog orang modern dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi ’intelektual’ belaka. Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan ’dimensi tersembunyi’ di balik formalitas informasi yang dipaparkan oleh buku tersebut.

Demikianlah, saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi berbagai maradhun di dalam diri kita sendiri. Qul in dhalaltu fainnama dhillu ’ala nafsi, wa-inihtadaitu fabima uhiyya ilayya rabbi, innahu sami’un qarib.

Penulis: Emha Ainun Nadjib, penyair, budayawan, tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 409, 1 Oktober 1983

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda