Perang di daerah Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023 yang lalu tidak dapat dipisahkan dari keadaan perang Arab-Israel yang dimulai dari serangan Israel (1948) terhadap Palestina dan menduduki sebagian daerah Palestina secara permanen. Sampai sekarang belum disetujui beberapa rencana perdamaian yang diusahakan oleh PBB dan pihak lain antaranya Rencana Partition (Pemecahan wilayah Palestina yang sebagian menjadi Tanah Israel dan sebagian Tanah Arab Palestina). Israel tampaknya diam (tidak berpendapat) dan Palestina menolak rencana tersebut. Diamnya Israel itu supaya status keadaan perang terus berlanjut sehingga Israel setiap saat dapat terus memperluas tanah pendudukannya sampai menjajah seluruh daerah Palestina (Sengketa Arab-Israel-Palestina mulai abad ke-19 sampai abad ke- 21) antara lain terjadi bentrokan pada tahun 1920 yang makan banyak korban dari dua belah pihak dan kemudian serangan Israel pada 1947-1948, 19671973, 1982, 1987-1993, 2002-2005, 2021, 2023).
Pada 7 Oktober 2023, roket-roket yang diluncurkan oleh pejuang Palestina di Gaza ke arah daerah pendudukan Israel merupakan usaha penduduk Gaza yang sudah tidak tahan lagi bertahun-tahun dikepung oleh Israel dari darat, laut dan udara. Penduduk Gaza tidak diberi akses mendapat air bersih untuk minum, bahan makanan dan bantuan lainnya yang datang dari luar daerahnya. Tekanan ini dilakukan oleh Israel tampaknya supaya penduduk Gaza mengakui kekuasaan Israel di Palestina atau – kalau tidak – mereka harus pergi dari Gaza. Pendapat yang paling ekstrem dari kaum Zionis Israel adalah bahwa penduduk Gaza akan diusir dan dihabisi sampai anak ucunya. Sebaliknya penduduk Gaza melakukan pengiriman roket-roket itu tidak punya alternatif lain kecuali menggugah opini publik dunia akan nasibnya yang mengalami represi dahsyat terus-menerus. Dengan meluncurkan roket-roket itu, Gaza mengharapkan mendapat simpati dan perhatian dunia internasional yang dapat menghentikan keadaan ini.
Penduduk Gaza mayoritasnya penganut Partai Hamas, suatu gerakan Islam Sunni nasionalis dipimpin oleh Ismail Haniah, yang secara tegas dan keras menentang pendudukan Zionis Israel (tiada tempat buat Israel di tanah Palestina). Tetapi ada Gerakan untuk kemerdekaan Palestina yang lain dan terkenal, dianut hampir di semua daerah Palestina lainnya, yang dipimpin oleh Yasser Arafat dan sekarang digantikan oleh Mahmud Abbas. Nama gerakan atau partai ini adalah Al-Fatah.
Semula beberapa kali peperangan terjadi antara Israel- Palestina, di saat Palestina masih dibantu oleh negara -negara Arab antara lain oleh Mesir, Irak dan Suriah) tetapi selalu kalah karena tentara Israel yang didukung oleh Amerika Serikat, baik persenjataan maupun logistiknya, jauh lebih canggih, bahkan Israel sekarang sudah unggul dalam bidang teknologi sehingga sudah mempunyai senjata nuklir. Pengganti Yasser Arafat adalah Mahmud Abbas, yang juga sangat menentang penjajahan Israel atas Palestina, tetapi dia tampaknya lebih realistis akan kekuatannya, sehingga bersama Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko mau menanda tangani Perjanjian Oslo 2020” yang isinya “normalisasi hubungan dengan Israel”. Hal ini dianggap oleh Hamas sebagai pengkhianatan dan akhirnya terjadi peperangan antara Alfatah dan Hamas beberpa saat, yang sangat disayangkan oleh semua negara di dunia yang mendukung Palestina. Konflik ini sangat melemahkan persatuan dan kekompakan Palestina dalam perjuangan menentang penjajahan Israel.
Hal ini memang suatu dilema bagi Hamas, mau diam saja atas kedholiman penindasan Israel, tetapi tak ada negara atau organisasi di dunia yang mau mendengarkan dan membantunya, tetapi bertahan dengan pendiriannya yang keras untuk tidak rela mengakui sebagian kedaulatan Israel, dianggap kejahatan dan dosa. Belum ada solusi yang jitu karena Hamas mengetahui bahwa tujuan Israel akhirnya akan mengusir penduduk Gaza dan semua orang Palestina yang masih sisa di daerah lainnya — dan tidak mau tunduk kepada Israel — akan dibantai semuanya dan menjadikan tanah Palestina seluruhnya menjadi tanah Israel.
Ide yang kontroversial untuk menjadikan Palestina tanah Israel semula datang dari wartawan Yahudi dari Austria yang bersama dengan kawan-kawannya ingin mendirikan negara Israel di Palestina karena bangsa Yahudi dalam sejarahnya beberapa puluh atau ratus tahun, pernah mempunyai semacam “negara” yang disebut “Jewish National Home” di Palestina. Karena “national home-nya” itu berada di di perbukitan “Zion”, dekat Yerusalem, maka gerakan ini dikenal sebagai “Zionis” Tidak semua orang Yahudi itu Zionis karena mereka itu beragama “Yudaisme”( Yudais) dan cukup lama bergaul dengan orang Islam dan orang Kristen di tanah Palestina dengan aman dan damai. Kedatangan kaum Zionis ini sangat meluluh lantakkan ketenangan dan perdamaian di tanah Palestina.
Sebenarnya beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Israel memang pernah berkuasa selama hanya beberapa puluh atau beberapa ratus tahun di tanah Palestina, tetapi penduduk asli tanah Palestina adalah bangsa Kanaan yang sudah ribuan tahun ada di sana dan berasimilasi dengan penduduk Arab dan suku-suku bangsa lain yang kemudian disebut “filistin”.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, Inggris sebagai super power pemenang perang, memasukkan imigran Yahudi sebanyak 600 000 ke Palestina dan Pemerintah Inggris mengumumkan “Belfour Declaration”yang isinya menyetujui Palestina sebagai Negara Israel yang akan dibentuk setelah selesainya perang. Inisiatif ini terjadi karena Inggris merasa didukung dan dibantu para lobby Zionis yang kaya-kaya di beberapa negara Amerika Serikat dan Eropa dalam peperangannya melawan kubu Axis (Jerman, Italia dan Jepang), sedangkan lawannya kubu Sekutu (Inggris, Prancis, Belanda dan Amerika Serikat).
Kalau sudah demikian halnya kami bangsa Indonesia yang sejak semula memerdekakan negaranya dari penjajahan Belanda dan Jepang dengan perjuangan yang panjang dan makan ribuan nyawa, tidak heran mencantumkan dalam konstitusinya yang secara prinsip anti “penjajahan di atas bumi karena hal itu bertentangan dengan perikeadilan dan perikemanusiaan”. Sedang Bapak Kemerdekaan Indonesia sendiri, Bung Karno, mengamanatkan untuk “tidak mengakui Israel sebelum memberi kemerdekaan kepada bangsa Palestina.” Jadi tidak selayaknya kita berdiri netral melihat kezaliman di tanah Gaza ini. Kita harus ikut bekerja karas untuk mencegah Israel yang membombardir dan meroket Gaza sampai puluh ribuan korban manusia yang tidak berdosa, terutama dari kaum ibu dan anak-anak. Kehancuran fisik di daerah Gaza hampir total antara lain gedung-gedung penting seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah gereja dan masjid, rumah-rumah susun kediaman rakyat sampai tempat pengungsian pun dibom dari udara. Kalau tidak dicegah secepatnya mulai sekarang, maka Israel kemudian, cepat atau lambat, akan menduduki dan menjajah dan mengusir bangsa Palestina selama-lamanya dari tanah airnya, kecuali bila dunia, termasuk Amerika Serikat, kompak mau menghentikan tragedi kemanusiaan yang dahsyat ini.
Kita bersyukur bahwa pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri, dengan suara lantang di PBB menyuarakan pendirian Indonesia untuk menghentikan semua serangan Israel yang membabi buta dan tidak berperikemanusiaan itu, karena Indonesia pada dasarnya anti penjajahan dan kezaliman. Indonesia termasuk dalam salah satu dari 120 negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB untuk mendukung gencatan senjata di Gaza beberapa waktu yang lalu. Pemerintah Indonesia juga telah siap mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Gaza yang menghadapi serangan Israel yang kejam itu. Sudah sepatutnya kita bangsa Indonesia yang mampu secara pribadi memberikan bantuan materi semampunya kepada perjuangan bangsa Palestina ini, bukan hanya karena solidaritas sesama agama saja (ini wajib) tetapi ini juga termasuk ibadah tambahan untuk kemanusiaan yang juga diamanatkan oleh agama kita.
Jakarta, 2 November 2023

Penulis: Hamid Alhadad, M.A., mantan diplomat, pengamat Timur Tengah; Duta Besar RI untuk Republik Aljazair (1991-1994) dan untuk Kerajaan Kamboja (1997-2000).