Ads
Hamka

Melalui Pers Islam Hamka Perjuangkan Pembaruan (1)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Dalam otobiografinya Kenang-kenangan Hidup, Hamka menceritakan. saat-saat awal dia menerjunkan diri ke lapangan karang-mengarang yang dimulainya dengan menulis kaba berjudul Si Sabariyah tahun 1928 dengan bahasa Minang dan huruf Melayu Jawi.

Di tahun 1929, sedang merasai nikmat pemuda baru kawin, terbaca olehnya sebuah buku Arab yang penuh dengan syair dan amsal. Di sana, terdapat sebuah hikayat tentang percintaan di antara Laila dan Majnun. Cerita itu hanya kira-kira dua halaman kitab saja, lalu dicobanya merangkai-rangkai syair-syair dan amsal yang terkandung di. dalam cerita itu dengan khayalannya, ditambahnya, dipertautkannya di sana-sini, lalu disusunnya menjadi sebuah buku, dicobanya mengirim kepada Balai Pustaka. Demikian Hamka menceritakan pengalamannya.

Beberapa lama, dia menanti jawaban dari Balai Pustaka, dengan dada yang berdebar-debar, dan setelah beberapa bulan kemudian datanglah balasan, bahwa Laila Majnun diterima dan akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama-nama seperti Muawiyah yang ditulis Maawiya, Maloh menjadi Maluwwah, Qais menjadi Kais dan sebagainya.

Berita dari Balai Pustaka itu sangatlah membesarkan hati pemuda Hamka yang waktu itu baru berumur 20 tahun. Papatlah dia membangga, bahwa dialah pemuda didikan surau yang pertama kali tempil ke tengah medan karang-mengarang bahasa Indonesia, sesudah berpuluh tahun ditinggalkan zaman, sejak hilangnya Hamzah Fansuri. Demikian Hamka menulis kebanggaannya.

Mungkin kebanggaan Hamka, bahwa dialah pemuda didikan surau yang pertama kali tampil di tengah medan karang-mengarang, bisa dinilai sebagai suatu kebanggaan yang berlebih-lebihan. Namun itulah sebenarnya cita-cita yang terpendam dalam diri anak desa didikan surau yang belum banyak pengalaman itu. Hal yang harus kita ingat pula ialah dunia karang-mengarang waktu itu, terutama para pengarang yang berpusat di Balai Pustaka, kebanyakan atau seluruhnya bukan didikan surau, tapi mereka yang terdidik dari sekolah-sekolah umum, HIS, HBS, AMS, dan dari sekolah guru, dengan penguasaan bahasa Belanda atau bahasa Inggris. Sedang Hamka sama sekali tak pernah belajar bahasa-bahasa Barat itu, sebagai pemuda didikan surau bahasa asing yang dikenalnya ialah bahasa Arab. Tidak sedikit pengaruh terbitnya buku Si Sabariyah dan Laila Majnun itu mendorongnya terus mengarang

Demikian Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup-nya di atas. Dorongan lain ialah yang datang dari ayahnya sendiri, Syekh Abdul Karim Amrullah. Pada mulanya ia amat menginginkan putranya menjadi seorang ulama, tapi kemudian terpaksa mengagumi juga bakat yang terpendam dalam diri putranya.

Pada suatu hari, berkumpullah ulama-ulama besar di surau Almarhum. Yaitu Syekh Jamil Jambek, Syekh Abdul Karm Amrullah, dan Syekh H. Abdullah Ahmad. Mereka sedang santai sore hari, -sehabis mengadakan rapat siangnya. Di sudut lain surau itu seorang anak muda asyik membaca sebuah buku tanpa menghiraukan para ulama yang sedang tidur-tiduran itu. Tiba-tiba Syekh Karim atau Haji Rasul menegur pemuda itu:

’’Buku apa yang engkau baca?”

’’Si Sabariyah,’’ Inyik.

“Buku apa itu ?’’

“Buku kaba, tapi indah sekali da berisi pelajaran agama.”

Siapa yang mengarang,”’ tanya beliau.

Pemuda itu menunjuk ke arah Hamka yang juga hadir di tempat itu.

Syekh Abdul Karim menyuruh pemuda itu membaca agak keras, supaya bisa didengarnya. Ternyata sang Ayah tertarik dan asyik mendengarnya. Lalu ig menyuruh. pengarang buku itu sendiri yang tak lain putranya, Abdul Malik alias Hamka, membaca, agar lebih pas dalam pendengaran beliau.

Hamka pun gembira, bahkan sekalian dia menyanyikan hikayat Si Sabariyah itu dengan suaranya yang merdu di depan ayah dan ulama-ulama besar itu.

Demikianlah kegembiraan ayah menjadi salah satu pendorong semangat Hamka untuk terus mengarang. Terbitlah kemudian karangan-karangan lain, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Pembela Islam, Tarikh Abu Bakar, Sejarah Minangkabau dengan Agama Islam, buku ini disita polisi karena dr anggap berbahaya, Agama dan Perempuan, dan Kepentingan Bertabligh. Minat ataupun ambisi Hamka hendak menjadi pengarang semakin berkobar-kobar setelah terbitnya buku-buku d atas. “Jangan tanya nilainya,” katanya pada suatu hari kepada saya (Rusydi Hamka, ed). ’’Kalau ayah baca kembali karangan itu beberapa tahun kemudian, yang lebih nampak ialah kekurangan pengetahuan ayah sendiri,’’ katanya lagi:

Dalam buku Kenang-kenangan Hidup, yang ditulisnya pada tahun 1950, Hamka menilai karangan-karangannya yang dibuatnya tahun 1929 itu begini:

“Empat lima buku yang saya. keluarkan di tahun 1929. Ada yang berkenaan dengan tarikh, ada yang berkenaan dengan soal sosial. Jika buku-buku itu saya baca sekarang, saya tertawa geli, buku itu tidak ada isinya. Tetapi yang membaca ialah Hamka di tahun 1950 dan yang menulis buku itu ialah Hamka tahun 1929. Tentu jauh bedanya. Dalam hal ini yang terpenting keberanian, dan tidak bosan memperbaiki mengisi dan memperhalus. Sehingga yang ditulis di belakang lebih bagus daripada yang di tulis dahulu.”

Dengan modal bakat, kemudian keberanian, tak pernah bosan memperbaiki, mengisi dan memperhalus, sebagaimana gang ditulisnya itu, di awal tahun 1930 itu mulailah nama Hamka muncul dalam deretan pengarang Indonesia. Balai Pustaka yang menerbitkan buku Laila Majnun merupakan pusat lektur resmi di Indonesia peda waktu itu.

Menurut ceritanya pada waktu itu mereka mengadakan ’’debating club’’ seperti yang kita kenal sekarang dengan grup diskusi. Pidato atau debat kawan-kawannya itulah yang dicatat lalu diedit dan kemudian dihimpun menjadi sebuah buku, Khatibul Ummah, dan dia berhasil menerbitkan buku itu sebanyak tiga jilid.

Sebenarnya, Khatibul Ummah tidak bisa dianggap sebagai buku, karena tipisnya. Keinginan editornya menjadikan Khatibul Ummah sebagai majalah, dengan dia sendiri sebagai editornya. Khatibul Ummah hanya dicetak beberapa ratus eksemplar, dibaca oleh kalangan terbatas. Meskipun isinya pidato beberapa orang, tapi yang dominan ialah tulisan editornya. Dari pengalaman sebagai editor [waktu itu belum disebut demikian] Khatibul Ummah dan sebagai pengarang Si Sabariyah dan Laila Majnun itu, di antara kawan-kawannya, Hanika-lah yang menaruh minat dalam karang-mengarang. Oleh karenanya ketika Muhammadiyah daerah Minangkabau menerbitkan majalah bulanan bernama Kemaoean Zaman, Hamka pun dipercayakan menjadi pemimpin redaksinya (hoofd redactuur). Kemaoean Zaman hanya terbit beberapa bulan saja, karena uang langganan yang tidak lancar dan daya beli yang rendah waktu itu, majalah itu pun terpaksa dihentikan. Tapi bersamaan dengan itu Hamka mengirimkan karangannya kepada majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Persatuan Islam [Persis] di Bandung.

Tahun 1931 Hamka diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi mubalig Muhammadiyah di Makassar. Pada waktu itu di samping kegiatannya mengajar agama dan menjadi mubalig, dia menerbitkan majalah bulanan bernama Al-Mahdi. Majalah ini hanya terbit selama sembilan nomor. Meski gagal menerbitkan majalah sendiri dan tinggal di Makassar, Hamka tetap menyempatkan diri mengirim tulisannya pada penerbit-penerbit Islam yang ada di Jawa.

Penulisannya tentang Tuanku Imam Bonjol yang dikirimkan pada majalah Menara pimpinan Zain Djambek di Jakarta, dimuat seluruhnya oleh majalah Fikiran Rakyat yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Di samping itu dia terus mengirim karangan-karangan untuk majalah Suara Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah yang terbit di Yogyakarta, dan majalah Adil di Solo.

Tahun 1934 selesai tugasnya di Makassar, bersama keluarga kembali ke Padang Panjang. Pada akhir tahun 1935, bersamaan dengan hampir habisnya bulan Ramadan, tiba-tiba dia menerima dua pucuk surat. Surat pertama dari Kobe Jepang yang dikirim oleh Mansur .] Yamani, temannya di Makassar. Isi surat mengajaknya tinggal di Jepang menjadi guru agama, sebab di sana sudah mulai ada orang-orang Islam dari India, Afghanistan, Turki dan lain-lain.

Surat kedua dari Medan yang dikirimkan oleh M. Rasami. Isinya mengajak tinggal di Medan menjadi ketua pengarang sebuah mingguan yang bernama Pedoman Masyarakat yang telah terbit tapi belum berkembang. Hamka memilih pindah ke Medan. Bersambung

Penulis: Rusjdi Hamka, wartawan, politisi, pernah menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat, dan anggota DPR-RI.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 403, 1 Aguustus 1983

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda