Dalam dialog antara tradisi dan modernisasi, agama menunjukkan pola interaksi yang tidak sama dengan lingkungan sekitarnya dari satu ke lain tempat. Peter Berger membagi reaksi yang dapat dikemukakan oleh tradisi agama terhadap tantangan modernisasi, yaitu (1) menegaskan kembalji otoritas tradisi dengan menolak kenyataan yang berlangsung; (2) melakukan proses sekularisasi tradisi itu sendiri; dan (3) merasakan kembali penghayatan tradisi semula. Menurut pendapatnya, modernitas telah membawa agama kepada sebuah krisis yang sangat spesifik, ditandai oleh sekularitas dan lebih penting lagi oleh pluralisme. Otoritas tradisi agama mendapatkan tantangan keras dari ilmu pengetahuan. Ketiga jenis responsi di atas untuk kepentingan sosiologis, dikategorikan oleh Berger menjadi deduksi, reduksi dan induksi.
Kalau pola Berger itu diterapkan pada keadaan kaum muslimin kita dewasa ini, maka dapatlah dilihat bentuk penerangan itu dalam deskripsi keadaan berikut. Proses deduksi berlangsung sangat pesat di hadapan tantangan zaman kepada otoritas ajaran Islam dewasa ini, seperti dapat dilihat pada ’pengerasan sikap’ sebagian kaum tradisionalis terhadap perkembangan masyarakat, semisal bersemangatnya proyeksi sebuah masyarakat ideal yang seharusnya dianut kaum muslimin: ’zaman keemasan’ masyarakat di masa hidup Nabi. Muhammad dan para sahabat utamanya (’ahd al-khulafa al-rasyidin). Baik dalam fungsi utopia maupun distopia, ’zaman keemasan’ tersebut dianggap sebagai satu satunya referensi yang valid bagi pemecahan segala macam permasalahan yang dihadapi kaum muslimin. Demikian kuat kecenderungan ’menoleh ke belakang’ itu, sehingga ia menembus garis perbedaan antara kaum tradisionalis semula (dikenal sebagai “kaum kolot”) dan kaum pembaharu dari permulaan abad ini, meliputi unsur-unsur luas dari semua mengelompokkan keagamaan di kalangan kaum muslimin dewasa ini.
Proses reduksi berlangsung dalam lingkup yang mungkin lebih luas, namun tak seberapa vokal dalam penyajian verbalnya. Mungkin memang tak mungkin dirumuskan secara formal sebagai sebuah responsi yang disadari dan disengaja, karena akan melahirkan ketegangan luar biasa dengan otoritas ajaran formal Islam sendiri. Nasib upaya ’sekularisasi’’ Nurcholish Madjid di awal dasawarsa tujuh puluhan dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Sebuah upaya untuk membuat agama lebih relevan dengan mengurang! ’wilayah sakral’ dari ajarannya, melalui sebuah proses pemberian legitimasi kepada kerja ’desakralisasi’ banyak aspek yang dianggap ’tidak esensial’ dalam ajaran agama. Justeru di sinilah upaya reduksional melalui ’sekularisasi’ itu segera tertumbuk pada kenyataan bahwa pemikiran keagamaan di kalangan kaum muslimin belum menyelesaikan pemetaan yang jelas atas wilayah hal-hal “yang tidak esensial’ tersebut, karena Islam pada dirinya sendiri adalah sebuah agama dengan ajaran legal-formalistik yang bersifat sangat normatif. Upaya ’sekularisasi’ justru melecut kecenderungan normatif untuk menampakkan diri lebih kuat lagi dalam kehidupan keagamaan para pemeluknya.
Proses ketiga, yaitu induksi, menampakkan diri sebagai “pemecahan parsial’ atas masalah-masalah keagamaan yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini. Merumuskan kembali fungsi ajaran agama, sebagai misal menafsirkannya kembali dalam konteks sosial historis yang ada, merupakan kerja paling umum dari jenis responsi ini. Ajaran agama diberi induksi untuk ’menyatakan diri’ dalam bentuk-bentuk yang tidak utopis, tetapi tidak juga distopia. Sebagai contoh dapat dilihat kasus keputusan sebuah majelis hukum fikih di lingkungan Pengurus Syuriah NU wilayah Jawa Timur dalam tahun 1976. Di situ dipecahkan masalah “apa pandangan agama tentang gadis yang melayani tamu sampai malam hari sebagai pramugari Kereta Api Bima. Sebagai ganti mahram, dalam keputusan majelis tersebut, ditetapkan jaminan pimpinan/pengelola perusahaan kereta api akan cukupnya ikhtiar menjaga moralitas para gadis itu. Di situ tampak jelas, bahwa keputusan tersebut tidak memberikan pemecahan tuntas dan utuh, sehingga pendekatan yang dilakukan lalu tidak disublimir menjadi sesuatu yang utopis; juga tidak menimbulkan kemacetan situasional karena ketidakmampuan memberikan jawaban memuaskan, kemacetan mana umumnya menimbulkan proses distopia.
Dalam melakukan pemetaan atas corak ketiga yang berwatak induktif dalam responsi Islam terhadap tantangan zaman itu, wilayah-wilayah berikut memerlukan perhatian lebih dari wilayah-wilayah lain :
(1) Menghidupkan kembali kaidah-kaidah perumusan sikap agama terhadap sesuatu persoalan. Dalam Islam berarti dihidupkannya kembali perangkat seperti teori hukum (ushul al-fiqh) dan kaidah hukum (legal maxims, qawa’id al-fiqh); sedangkan penghadapan keduanya kepada kenyataan hidup yang ada hendaknya dilakukan secara tuntas;
(2) Memberlakukan konteks sosial-historis yang ada dalam penerapan kedua perangkat di atas, guna memungkinkan pengambilan keputusan yang memiliki latar belakang budaya kaum muslimin;
(3) Menyusun kerangka konsepsional dari kepingan ’keputusan-keputusan masa lampau yang dinilai masih relevan dengan keadaan’.
Sebuah kasus dapat dikemukakan di sini, yaitu keputusan Musyawarah Terbatas Ulama tentang sterilisasi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK-NU) dalam tahun 1979 Hal-hal berikut dijadikan pertimbangan dalam membuat keputusan: sterilisasi harus bersifat tidak permanen (reversible) dan dilakukan oleh mereka yang telah memiliki keturunan karena sebab-sebab yang tidak mengingkari kodrat manusia untuk mempunyai keturunan. Sifat tidak permanen menyangkut masalah metoda dan alat yang digunakan, berarti pilihan mana yang dapat digunakan dan mana yang tidak. Adanya_ keturunan memungkinkan pembatasan sterilisasi untuk tujuan kerumahtanggaan, bukannya sekedar mengejar kemudahan dalam pergaulan seksual yang akan membawa kepada degenerasi moralitas masyarakat. Sebab yang sesuai dengan kodrat manusia untuk berketurunan dirumuskan sebagai ‘’kebutuhan yang dapat dipersamakan dengan keadaan darurat untuk tidak mempunyai anak lagi’. Atas dasar itu, musyawarah menetapkan sebagai berikut:
sterilisasi hanya diperkenankan oleh agama Islam jika dilakukan karena kebutuhan yang nyata oleh sekelompok ahhi, yang memberikan pertimbangan berdasarkan keahlian masing-masing.

Penulis: Abdurrahman Wahid (1940-2009), Ketua Umum PBNU (1984-1999), Presiden RI ke4
Simber: Panji Masyarakat, 1 Agustus 1983