SEORANG ‘anak nakal’, dalam sebuah pengajian kecil bertanya kepada Ustaz. Apakah momentum “fasajaduu illaa ibliis …. yang dikisahkan dalam wahyu Allah kepada Muhammad itu bukan justru merupakan sindiran kepada manusia? Bukankah peradaban manusia yang menyebut diri modern ini pun justru makin menunjukkan gejala sikap abaa wa-stakbara?
Ustaz belum mengerti maksudnya. Manusia adalah makhluk tertinggi, demikian Allah menghendaki, dan hanya kedurhakaan saja yang mendorong iblis menolak perintah Allah untuk sujuud li-Aadam
Si anak nakal mengemukakan bahwa manusia memang ahsani taqwiim, tapi “apa yang saya saksikan dewasa ini tak bisa saya elakkan untuk saya sebut sebagai proses menuju asfala saafilin.” Si anak nakal ini kemudian malah berceramah bagai seorang piawai strukturalis tentang struktur-struktur ketergantungan manusia pada sistem nilai iblis; bagai seorang negarawan agung yang mencemaskan fatamorgana kerakyatan. Sekaligus bagai seorang moralis suci yang dengan hati pilu mengutuk perilaku kebudayaan manusia modern yang makin rakus dan takabur.
Si anak nakal berbicara dari kesedihannya yang amat mendalam, seolah-olah matahari telah turun sampai hanya beberapa penggalan saja jaraknya dari tanah, seolah-olah mendung yang berarak itu adalah gumpalan batu-batu yang segera akan memberat dan menimpa jidat-jidat manusia. Bahkan seolah-olah ia adalah Nuh yang menyongsong hujan badai dan kini berduka karena amat alot menumbuhkan kepercayaan kepada orang lain bahwa kini perahu masa depan itu mesti segera dibikin.
Hampir terloncat dari mulut Ustadz jargon “Laa takhaf walaa tahzan, innallaaha ma ‘anaa”. Tapi, beliau ingat perubahan dalam diri manusia tak disebabkan oleh sulapan, melainkan oleh proses yang mendasar.
Si anak nakal mengutuk tak berdaya, “Lihatlah moral kita! Lihatlah bagaimana cara kita memperoleh uang. Lihatlah cara kita merebut segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Lihatlah cara kita membabi-buta dengan cita-cita pribadi, cita-cita individu. Lihatlah cara kita bersaing, menggeser kawan yang ternyata kita anggap diam-diam sebagai musuh kita. Sesekali marilah kita beriktikad baik kepada diri sendiri, misalnya dengan menghitung persis berapa lapis topeng yang kita kenakan di wajah asli kita yang dianugerahkan oleh Allah sebagai ahsani taqwim!”
Kemudian si anak nakal sampai kepada apa yang ia maksudkan sebagai sindiran Allah atas manusia. “Renungkan, apakah manusia macam kita ini pantas untuk disujudi seperti Adam? Bahkan oleh makhluk yang bernama iblis pun? Apakah terlalu berlebihan apabila saya kemukakan bahwa manusia modern yang pintar menyembunyikan muka busuk dalam artikulasi-artikulasi indah ini berhak dihormati oleh iblis? Bukankah banyak bagian dari hidup kita yang mencerminkan bahwa justru kita yang menyembah iblis?”
Ustaz makin lebar senyumnya.
Si anak nakal melanjutkan, bahwa tatkala para Malaikat tak setuju kepada Allah atas ide penciptaan manusia karena “mereka hanya akan sibuk menumpahkan darah, bisa mengandung moralitas yang berbeda-beda. Kita berpihak pada Allah dan memusuhi iblis sambil merasa bahwa Allah sama sekali tak melihat kita sibuk menumpahkan darah. Kita anggap Allah melindungi kebusukan kita dan menjadi tenanglah kita.
Para malaikat bersikap moderat dan demokratis dengan mencoba sabar melampaui waktu untuk kelak mengerti kata-kata Allah “Aku mengetahui apa yang engkau tak ketahui Tetapi, iblis bersikap tegas dan ambil keputusan radikal: menolak mensujudi Adam. Kemudian ia memateri tekad dalam dirinya untuk menumpahkan hidup semata-mata buat membuktikan, dengan mendorong dan merangsangnya, bahwa manusialah yang justru menyujudi iblis. “Dan hari ini, saudara-saudara”, kata si anak nakal, “iblis-iblis itu tertawa dan pesta pora, dengan fasilitas yang kita sediakan lewat akumulasi keduniaan, kesementaraan dan kesia-siaan!”
Ustaz tiba-tiba ingin menggoda. “Malaikat dan iblis berbeda pengambilan sikapnya Tapi mereka berangkat dari pandangan yang sama tentang manusia. Begitu?”
“Ya!” jawab si anak nakal.
“Iblis sudah memutuskan sejak semula untuk untuk merintis neraka?”
“Ya!”
“Seperti Rabiah Al-Adawiyah, yang ingin mengembung tubuhnya sehingga bisa memenuhi neraka, sehingga tak seorang manusia pun punya ruang di neraka. Alangkah mulia Rabiahl Alangkah mulia iblis!”
Si anak nakal membantah. “Kami tidak sedang berbicara tentang stereometri, melainkan tentang akidah dan iktikad. Ada orang yang bersedia menghabiskan waktunya untuk membantu orang-orang lain agar ia masuk sorga meskipun seandainya ia sendiri akan kehabisan tempat di surga Tetapi saya tidak mengajak Ustadz untuk membayangkan bahwa neraka itu semacam kamp Nazi dan surga itu seperti gedung dunia fantasi dan itu terletak sekian ribu tahun sesudah dunia hancur. Saya berbicara tentang sikap dan tujuan hidup serta bagaimana makhluk Allah setia melakukannya. Maka persoalannya apakah Rabiah benar-benar melakukan pekerjaan kehidupan yang membantu orang-orang agar terhindar dari api neraka, ataukah ia hanya berpuisi-puisi mabuk betapapun menggiurkannya puisi itu. Dan iblis menjadi tidak mulia dengan pengorbanannya memilih neraka, sebab yang ia kerjakan ialah merangsang manusia justru untuk merintis neraka. Jadi, Ustaz, saya berlindung dari kemungkinan pekerjaan iblis, tapi saya juga belajar menimba pelajaran dari sikap tegas iblis mengenai manusia. Ilmu Allah tak terbatas, juga segala kisah yang la tuturkan kepada Muhammad. Di antara ilmu-Nya ada fenomena yang bernama sindiran. Sindiran itu suatu pola bahasa komunikasi yang mengandung pembebasan dan demokrasi Setiap orang bisa saja merasa tak terlibat dalam isi sindiran. Tetapi manusia yang bergaul baik dengan dirinya dan dengan Allah, senantiasa mengerti makna sindiran-Nya”.
Ustaz kembali tersenyum dan berbisik lembut, “Anakku telah sampai pada persilangan nilai yang paling sensitif. Apa yang terbaik dan yang terburuk, yang terjauh dan terdekat dengan Allah, amat dekat jaraknya pada persimpangan itu. Bahkan tipis bagai sutera. Maka sembahyanglah di segala waktumu, untuk memelihara kejernihan penglihatanmu terhadap sutera itu. Maka pertanyakan dan renungi kembali penglihatan itu. Engkau tahu, Nak, akidah yang paling mulia dan iktikad yang paling luhur pun senantiasa harus diuji apakah ia benar-benar akidah mulia dan iktikad luhur. Ya Allah, hawwil haalanaa ilaa ahsanil haal.

Penulis: Emha Ainun Nadjib, penyair, esais, budayawan, tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 1 November 1986.