Ads
Cakrawala

Kolom Gus Dur: Islam dan Tantangan Kehidupan Modern

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Kehidupan modern telah membawakan tantangan kepada semua agama, ideologi dan paham pemikiran. Tantangan itu ada yang bersifat fundamental, dalam arti dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam inti keimanan agama, keabsahan premis pokok ideologi dan ketepatan alur pemikiran dari paham yang dianut. Dengan sendirinya, tantangan yang dapat berakibat pada perubahan mendasar itu lalu menimbulkan responsi di kalangan penganut agama, pendukung ideologi dan eksponen paham pemikiran yang ada. Walaupun. pada rumusan abstraknya tantangan mendasar itu dapat digeneralisasi ke dalam sejumlah kategori yang bersifat universal, berlaku di mana dan dalam intensitas yang sama, namun dalam kenyataan kongkret ia menjelmakan diri dalam bentuk yang beraneka warna, tergantung pada situasi, kondisi dan kualitas kehidupan yang dilalui agama, ideologi dan paham pemikiran yang bersangkutan.

Demikian pula, bagi agama Islam tantangan yang diajukan oleh kehidupan modern mengambil bentuk yang tidak sama dari satu ke lain tempat dan dari satu ke lain kalangan kaum muslimin. Untuk Saudi Arabia yang relatif berwatak homogen dalam kehidupan beragamanya, tantangan mendasar adalah justru bagaimana modernitas kehidupan lahirlah, yang dibawakan oleh tingkat kemakmuran sangat tinggi dan teknologi-konsumtif bertingkat lanjut yang diimpor dari luar, tidak sampai merusak tatanan masyarakat yang masih belum lanjut perkembangan historisnya. Padahal, di Indonesia yang demikian beragam pola kehidupan etnis, budaya dan agamanya, tantangan mendasarnya adalah bagaimana menghindarkan Islam dari irelevansi akibat adanya kemajemukan (heterogenitas) sangat tinggi tingkatannya.

Untuk mencari jawaban atas tantangan mendasar yang. diajukan kehidupan modern kepada Islam itu, memang harus diketahui terlebih dahulu situasional masing-masing masyarakat muslim (dengan tingkat modernitas, paham keagamaan dan sebagainya). Namun hal itu tidak dapat dilakukan dalam kesempatan sesingkat ini, karenanya kali ini perhatian hanya dicurahkan pada beberapa masalah yang menjadi ’wilayah sengketa’ (areas of dispute) antara Islam di mana-mana dan kehidupan, modern. Diharapkan, dengan cara demikian masalah utama dapat digali, guna memungkinkan pengambilan kesimpulan tentang bagaimana Islam harus mengatasi tantangan kehidupan modern. Pendalaman masalah lalu dapat dilakukan sebagai kelanjutan upaya kali ini, kalau perlu dengan memeriksa keabsahan kesimpulan-kesimpulan sementara itu sendiri. Dengan demikian, kesimpulan-kesimpulan sementara itu berfungsi sebagai ancang-ancang bagi pencarian jawaban saksama, final di kemudian hari.

Wilayah Sengketa
Beberapa masalah yang menjadi ‘wilayah sengketa’ antara Islam dan kehidupan modern itu dapat dikemukakan sebagai berikut:

  • a) Kehidupan modern, atau proses modernisasi, muncul sebagai kekuatan yang membuat relatif kebenaran-kebenaran mutlak yang melandasi keimanan agama. Relativisasi hal-haj yang dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh Islam itu terjadi di bidang moralitas (dalam arti susila dan kesopanan), ketundukan kepada ketentuan hukum agama, fungsi lembaga agama yang ada dalam Islam, dan metode berpikir serba skolastik yang melandasi wawasan ilmu pengetahuan dalam Islam.
  • (b) Kehidupan modern muncul sebagai ‘proses peng. gusuran’ Islam dari keterlibatan total dengan kehidupan, baik dalam lingkup perorangan maupun lingkup kemasyarakatan. Keterlibatan Islam lalu menjadi parsial, mengalami penyusutan luar biasa besarnya, yang mengakibatkan krisis identitas diri di kalangan kaum muslimin, baik yang disadari maupun tidak. Krisis identitas diri yang disadari mengambi bentuk telaahan berkepanjangan atas fungsi Islam sebagai pengatur kehidupan, sedang yang tidak disadari umumnya berbentuk hanyutnya muslim-muslim yang bersangkutan ke dalam pola hidup yang oleh pandangan formal Islam. dipandang ’bukan Islam’.
  • (c) Kehidupan modern muncul dengan seperangkat paham ideologi sekuler yang mau tidak mau akan menggusur Islam dari posisi sentral sebagai jalan hidup yang diperlukan manusia untuk memajukan diri dan lingkungan, dengan akibat Islam akan diidentifikasi (baik oleh orang luar maupun oleh pemeluknya sendiri) sebagai sebuah “keterbelakangan’ (backwardness, takhaluf). Sebuah masyarakat yang sepenuhnya melaksanakan ajaran Islam lalu terkesan akan tidak dapat maju (karena kreativitas ilmu dan teknologi tidak dapat berkembang di dalamnya), tidak dapat menjag keluhuran martabat manusia di dalamnya (karena wanita tidak dipersamakan haknya dengan pria secara mendasar dan hak-hak asasi manusia tidak terlindung oleh “Hukum Islam’’) dan masyarakat muslim seperti itu sendiri tidak akan mampu berkembang dalam alur umum kemanusiaan.
  • (d) Sebagai akibat dari ke semua masalah di atas, kehidupan modern membawakan pula semacam ‘diktum’ bahwa Islam harus ’’membatasi dari’ dalam fungsi kehidupan yang diperankannya, yaitu menerima sekularisasi sebagai hal yang wajar dan hasil logis dari perkembangan sejarah. Islam, dengan demikian, harus “menerima nasib* dengan mengurusi aspek-aspek kerohanian yang bersifat ukhrawi belaka. Keempat bidang permasalahan di atas disebut sebagai ’wilayah sengketa’, karena di dalamnya kaum muslimin jelas tidak dapat membiarkan hal-hal yang terjadi itu, tanpa terancam identitas diri mereka sebagai pemeluk agama samawi terakhir itu sendiri. Semacam dialog dikotomis berlangsung dalam skala masif di seluruh Dunia Islam tentang hal-hal tersebut, dan lingkup ’wilayah-wilayah sengketa’ itu semakin hari semakin meluas, mulai dari perdebatan intensif tentang perlu tidaknya ada Negara Islam hingga sikap-sikap emosional berwatak apriori dalam ’aspek-aspek kecil’ seperti penggunaan kerudung (jilbab) di sekolah sekuler yang dicanangkan sebagai ‘nonagama’ (walaupun cukup luas wanita yang merasa beragama Islam tanpa bersembahyang dan dengan tenang berpakaian bikini di pemandian umum).

Sikap Ulama
Ada dua sikap utama yang menjadi responsi kaum muslimin yang sadar akan adanya identitas diri dalam kehidupan mereka, sebagai akibat adanya ’wilayah-wilayah sengketa’ di atas. Kedua sikap utama itu dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama sikap ‘tegas’ untuk menampilkan Islam sebagai totalitas jalan hidup yang harus dianut secara konsekuen, sebagai alternatif tunggal bagi semua jalan hidup lain. Islam harus berfungsi sebagai kebenaran formal yang utuh dan tidak perlu. membuat proses tawar-menawar dengan modernisasi, ia bahkan justru harus mendefinisikan kembali modernitas dan mengendalikan proses modernisasi. Islam, dengan demikian, adalah keutuhan ideologis yang harus diperjuangkan secara tuntas di hadapan semua ideologi dan paham pemikiran yang ada, kalau perlu dengan menampilkan konsep kemasyarakatan lengkap, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai ’konsep ad-din’ atau juga ’konsep al-Islam’.

Kedua, sikap ‘lentur’ untuk menerima modernisasi ‘dari luar’ sebagai kenyataan, dan mencoba menyelamatkan inti ajaran Islam (dalam bentuk tauhid, syari’ah dan akhlaq) dari kemerosotan lebih jauh dari kalau mungkin, mengembalikan alur kehidupan kepada tingkat ideal kehidupan masyarakat Islam. Watak dari sikap ini adalah gradualisme yang menolak konfrontasi dengan proses modernisasi, melainkan mencoba menjinakkan dan kemudian menggunakannya bagi kepentingan hakiki Islam. Banyak varian-varian dapat ditemukan di lingkungan responsi adaptif’ ini, namun semuanya berinduk pada sikap ’memelihara apa yang minimal dapat dicapai’,

Kedua responsi di atas bukannya tidak berinteraksi satu sama lain, melainkan justery hiruk-pikuk perdebatan intern kaum muslimin terjadi antara keduanya. Ungkapan-ungkapan seperti “sikap fanatik, “pandangan ekstrem’’ dan sebagainya di satu pihak dan ‘penggadaian iman’ atau lemahnya keyakinan’ di pihak lain, saling di lontarkan tanpa henti di seluruh Dunia Islam selama hampir satu abad ini. Demikian intensnya perdebatan intern itu berlangsung, sehingga ia bahkan menjadi sasaran kajian tersendiri sebagai apa yang dirumuskan seorang pengamat dalam ungkapan berikut: proses modernisasi internal dalam Islam.

Munculnya responsi yang bertentangan seperti itu adalah wajar, kalau ditinjau dari masifnya lingkungan yang terlibat, yaitu ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia. Juga wajar, kalau ditinjau dari sudut pandangan historis, bahwa hasil akhir dialog itu justru akan menentukan ’warna’ Islam di kemudian hari (bahkan, menurut sementara pihak, menentukan ’hidup matinya Islam di kemudian hari sebagai agama samawi terakhir di muka bumi’). Namun, perdebatan yang tidak memiliki wawasan yang terang dan batasan yang jelas dengan cepat akan menjurus kepada semacam katarsis, kemelut intern yang berkepanjangan dan tak mungkin terleraikan. Dilihat dari kepentingan Islam sendiri di masa depan, situasi katarsis seperti itu harus dihindari sejauh mungkin, karena dapat berakibat fatal bagi wawasan universal Islam sendiri.

Karenanya, yang diperlukan dalam proses ‘’penghadapan’’ Islam kepada kehidupan modern adalah kemampuan menyusun ‘agenda perdebatan’ yang akan menuju kepada penyelesaian masalah dalam jangka panjang, di mana sintese baru akan muncul dari kedua responsi yang saling bertentangan di atas. Hanya dengan penemuan sebuah jawaban berupa sintesis baru seperti itu di masa depan, Islam akan mampu memecahkan kemelutnya sendiri, dan sekaligus memberikan sumbangannya sendiri yang berharga bagi peradaban dunia di masa datang.

Penulis: Abdurrahman Wahid (1940-2009), Ketua Umum PBNU (1984-1999), Presiden RI ke-4

Sumber: Panji Masyarakat, No 402, 21 Juli 1983

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda