Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Bahasa Alat Pembebas

Ditulis oleh Panji Masyarakat

ANDAIKATA belum ada kesatuan bahasa, akankah Indonesia merdeka jua? Saya berharap ini bukan pertanyaan yang bodoh — walau, sebenarnya datang dari orang yang tidak terlalu cerdas.
Tapi memang, tidak ada suatu alasan kuat yang mampu menopang pertanyaan di atas. la, pertanyaan itu, keluar dan lepas dengan begitu saja. Tanpa tujuan yang terlalu mendalam. Maka, jawabannya pun sebenarnya tidak perlu dipikirkan dengan serius. Sebab, bukan saja kemerdekaan bisa menyembul tanpa sangkut pautnya dengan bahasa, melainkan juga, dalam kenyataannya, banyak sekali negara-negara yang baru lepas merdeka tanpa kesatuan bahasa. Toh mereka bisa berkembang juga.


Namun, barangkali, dalam konteks yang lebih luas, bahasa — setidak-tidaknya seperti yang pernah terjadi di Eropa dan Amerika beberapa abad yang lampau — telah memainkan peranan penting dalam revolusi. Salah satu faktor keberhasilan gerakan-gerakan pembebasan di Amerika, demikianlah seperti pernah ditulis oleh Ben Anderson dalam buku Imagined Communities, adalah bahasa nasional. Ia merupakan pusat ideologi dan politik penting. Bukan saja karena kesatuan bahasa itu telah mampu melepaskan diri dari kontrol sesuatu yang disakralkan, tetapi juga seiring dengan munculnya print capitalism (kapitalisme percetakan), kesatuan bahasa telah menjadi alat untuk menyebarluaskan, mensosialisasikan — dan karena itu membentuk — kesadaran baru umat manusia untuk meninggalkan masa lampaunya — yang kerap menindas. Gerakan-gerakan nasionalisme bisa berhasil, mungkin sekali terletak pada faktor bahasa ini.


Maka, bahasa — sekali lagi, dalam konteks yang lebih luas — adalah pula salah satu alat untuk “membebaskan”. Suatu pernyataan yang sangat bombastis. Tapi dalam konteks Indonesia, makna “pembebasan” ini Setidak-tidaknya telah kita alami. Ia, mengatasi batas-batas pelapisan masyarakat, batas-batas geografis dan memperantarai komunikasi antara dua orang yang saling belum mengenal tetapi berlatar belakang budaya yang sama. Seorang Jawa, demikian seperti yang pernah saya alami, akan lebih cenderung memilih Bahasa Indonesia dengan kawan lainnya dari daerah yang sama, hanya karena ingin menghilangkan kekikukan. Sebab, dia belum bisa memastikan — jika ia harus berbicara dalam Bahasa Jawa – jenis atau tingkat bahasa, dalam anggota masyarakat suku ini, sekaligus menentukan status sosial sekarang.


Maka, pilihan terhadap Bahasa Melayu, sebagai Bahasa Indonesia, yang diproklamirkan kaum muda pada tahun 1928 itu, adalah pilihan yang tepat. Dia, telah membebaskan orang dari hierarki struktur sosial yang telah terlembaga dalam berkomunikasi. Dan karena itu pula, dalam Bahasa Indonesia telah membagi rata semua orang. Tidak ada lagi batas-batas yang tegas antar lapisan dalam masyarakat kita
Tapi memang kita tidak tahu dengan tegas, ke manakah arah pemerataan sikap ini di masa mendatang. Bahasa Melayu, yang jadi landasan Bahasa Indonesia, tidaklah bisa dipungkiri, berasal dari bahasa pasar. Bahasa kaum pedagang. Berbagai bentuk kesusastraan memang pernah lahir dalam naungan bahasa ini. Tapi, sikap “kepasaran”-nya tetap masih kuat. Apakah ini berarti, pada dasarnya, struktur egalitarian lebih dominan bagi para pendukung bahasa ini?


Marilah kita menjawab pertanyaan ini secara bersama-sama. Sebab, kalau benar kecenderungan egalitarian lebih kuat bagi para pendukungnya, maka tidak ada alasan untuk tidak berpartisipasi – memecahkan masalah ini. Tapi toh pada akhirnya, harus pula kita akui, bahwa bahasa lebih merupakan produk struktur sosial pendukungnya. Dan bukan sebaliknya. Karena itu, egalitarianisasi sosial dengan (hanya) bertumpu pada kemampuan bahasa, adalah suatu sikap yang terlalu optimistis.


Kita, boleh senang dengan sikap yang optimis, Tapi tidaklah pula kita menyadari bahwa optimisme ini hanya akan bisa diejawantahkan, apabila semangat egalitarian yang terkandung dalam bahasa kita, lebih mempengaruhi tingkah-laku dan pada tingkat terakhir, struktur sosial kita sendiri?


Oh, betapa eratnya hubungan bahasa dengan politik. Sebab, pada instansi terakhir, ” upaya egalitarianisasi sosial (juga ekonomi) seperti yang sebenarnya berakar dalam tata bahasa-kita — hanya akan berhasil apabila mendapat “dukungan politik” yang memadai.


Soal bahasa, memang bukan sesuatu yang sederhana. Sebab ia, menginspirasikan kita untuk lebih merealisasikan makna kemerdekaan.
Sebuah pekerjaan rumah!


Penulis: Fachry Ali, intelektual publik, pengamat sosial politik dan budaya. Tinggal di Jakarta.
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 1 November 1986.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda