Ads
Cakrawala

Beratnya Hukum Akhirat bagi Koruptor

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Kejahatan korupsi di negara kita sungguh luar biasa. Rasanya, begitu sulit untuk dilenyapkan. Adanya hukuman seumur hidup atau puluhan tahun tidak menimbulkan efek jera sama sekali. Buktinya, kejahatan korupsi selalu muncul dan silih berganti. Sampai saat ini koruptor di negara kita belum ada yang dihukum mati. Andaikan hukuman mati diberlakukan secara tegas mungkin perilaku korupsi bisa dilenyapkan.

Korupsi di negara kita bisa dilakukan secara per-orangan, namun bisa juga secara berjamaah. Korupsi dilakukan di negara kita umumnya oleh orang yang ekonominya sudah baik, terpelajar, dan biasanya oleh  oknum pejabat,  baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dan keterlibatan pengusaha   Dan, korupsi yang dilakukan bukan dalam jumlah kecil, tapi miliaran dan sampai triliunan.

Kalau hukum dunia tidak membuat para pelaku koruptor jera, apakah hukum akhirat juga tidak membuat pelaku korupsi merasa miris dan ngeri?

Dalam Al-Qur’an koruptor itu disebut Ghulul, artinya perbuatan khianat. Ini tertera  dalsm surat Ali Imran ayat 161,”Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat ( dalam urusan rampasan perang). Barang siapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian setiap.orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi”.

Ayat ini menunjukkan betapa berat hukuman bagi seorang koruptor, yaitu akan dililitkan dilehernya apa yang dia korup.

Pada zaman Nabi Muhammad juga terjadi perbuatan korupsi. Kalau melihat besarannya sungguh kecil nilainya, tapi Nabi mengingatkan betapa betapa berat hukuman yang bakal diterima. 

Melansir tulisan KH Abdul Rahman Bustoni,LC, MA, di www.Istiqlal.or.id diceritakan beberapa hadist yang mengungkap perbuatan korupsi dengan nilai kecil, tapi sangat dibenci oleh Nabi, dan dapat ancaman hukuman berat di akhirat.

Pertama hadist riwayat Imam Bukhori dari Abu Hurairah mengungkapkan, Rasulullah bersabda, ” Kami berperang bersama Rasulullah SAW dalam perang Khaibar– 120 km dari Madinah–untuk menghantam orang Yahudi yang berkhianat dan memporakporandakan orang Yahudi di benteng Khaibar yang amat kuat”.

Pada peperangan tersebut tidak mendapatkan apa-apa, kecuali barang biasa saja. Kemudian Nabi mendapat hadiah seorang budak laki-laki yang bernana Bid’am. Budak hadiah ini diberikan oleh Rifa’ah bin Zaid. Bid’am ini kemudian diberi tugas untuk membawa barang-barang pampasan Perang Khaibar. Namun, ketika sampai di Wadil Quro bersama Rasulullah, Bid’am terkena panah nyasar, menusuk tubuhnya hingga meninggal.

Sahabat Nabi mengatakan, “Semoga Bid’am masuk sorga,”. Tapi, Nabi berkata,” Tidak. Bid’am tidak masuk sorga. Demi Tuhan yang jiwaku dalam genggaman-Nya, budak ini tidak masuk surga karena justeru baju hangat atau jaket yang dia ambil dan sembunykikan akan menyulut api di dalam neraka”.

Seharusnya Bid’am mengembalikan dulu barang itu kepada penguasa atau Nabi. Kesimpulannya sederhana, jaket atau baju hangat yang disembunyikan oleh Bid’am  ternyata itu menjadi penyulut api neraka.

Dan, kalau diperhatikan apa yang diambil dan disembunyikan oleh Bid’am bukan barang bernilai jutaan, miliaran dan apalagi triliunan, hanya sepotong jaket. Tapi, Nabi mengatakan,” Tidak, dia tidak masuk surga. Demi Tuhan yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, bahwa apa yang disembunyikannya itu dapat menyulut api neraka”.

Mendengar perkataan Nabi tersebut para sahabat segera berlarian mengembalikan tali sepatu yang didapat dari ghanimah (pampasan ) Perang Khaibar tersebut.

” Barang ini jika tidak dikembalikan akan menjadi penyulut api di neraka, walau dengan satu tali atau dua tali,” (HR Bukhari dan Muslim).

Kisah lain, masih dalam Perang Khaibar, seorang meninggal dalam peperangan tersebut. Ketika orang itu namanya disebut-sebut di hadapan Nabi, Nabi merespon dengan nengatakan,”Silahkan kalian menshalatkan orang yang meninggal itu,”.

Apa makna dari perkataan Nabi. Mengapa Nabi enggan menshalatkan orang yang meninggal pada Perang Khaibar itu? Para shahabat merasa bingung. Lalu shahabat memeriksa tasnya, ternyata ditemukan semacam perhiasan manik-manik kecil, yang kalau ditaksir harganya mungkin sekitar 2 Dinar. Kesalahannya, ia menyembunyikan dan tidak menyerahkan dulu kepada pengurus untuk dibagikan. Bayangkan, dengan kesalahan sekecil itu Nabi menolak untuk menshalatkannya.

Begitulah ajaran Islam yang sangat ketat melarang korupsi atau al-Ghulul, yaitu sikap berkhianat dan mengambil barang atau sesuatu yang bukan haknya secara khianat.

Merujuk kepada peristiwa sejarah Nabi di atas, bila dikaitkan dengan konteks korupsi sekarang ini yang jumlahnya cukup fantastis dikorup dan pelakunya juga kadang bisa berjamaah, betapa berat hukuman yang bakal diterima di akhirat.

Jika ketakutan atau kesadaran Iman ini tidak ada maka layaklah korupsi ini sudah sangat parah dan makin membudaya di negara kita.  Hukum akhirat tidak ditakuti dan hukum dunia tidak membuat jera, maka korupsi makin membudaya dan merajalela. Hukum akhirat nanti bakal menunggu!

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda