Ads
Cakrawala

Kolom Fakhrunnas MA Jabbar: Riau oh Riau, Riuh oh Risau

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Segalanya telah jadi mitos. Begitu puluhan tahun yang silam orang berusaha mengkaji usul-usul nama Riau, jawaban pasti ditemukan hanyalah mitos-mitos yang selalu merujuk pada kebenaran sejarah kehidupan. Kebenaran kondisi geografis dan kultural. Maka segalanya bisa jadi benar dan logis. Barangkali saja kata Riau bermuasal dari Rio yang berarti sungai. Sebab, memang banyak lintasan sungai di wilayah ini. Tapi kalau ada pendapat lain yang menonjolkan kata Riuh, ini pun sebuah kemungkinan yang tak sulit diterima akal sehat. Tak usahlah merujuk jauh-jauh pada uuu sejarah yang panjang. Tapi, tetaplah gejolak kehidupan di Riau saat kini dan beberapa waktu sebelumnya. Orang-orang akan cepat bersepakat bahwa negeri Lancang Kuning ini memang sumber segala keriuhan. Lebih riuh dibandingkan provinsi-provinsi lain di Idonesia.


Lantas, timbul semacam asumsi, bila tidak ada lagi yang riuh, bukanlah Riau namanya. Meski pandangan ini keliru, tetapi selalu saja muncul ke permukaan sebagai aksioma yang mudah diterima kebenarannya. Oleh sebab itu, menjadi orang Riau memang sudah harus siap untuk risau. Pemberitaan atas berbagai kejadian yang selalu membuat kejutan, terasa bagaikan suara letupan meriam di gendang telinga. Hati siapa tak risau, kalau negerinya menjadi gunjingan pemberitaan yang selalu kurang mengenakkan. Tapi kalau tak ada yang seperti itu, kapan lagi nikmatnya majalah dan surat kabar untuk dibaca. Oh Riau!


Inikah gejolak prototipe manusia Melayu? Mungkin hal ini hanyalah pendapat yang terlalu memperlebar persoalan. Tapi segalanya jadi logis bila Riau memang sebagian besar dihuni oleh orang-orang bersuku dan berkultur Melayu. Meskipun tak kalah besarnya para urban dan transmigran spontan yang berasal dari Jawa dan Minangkabau, tetangganya. Keragaman demikian boleh jadi makin membuat keriuhan yang bermacam-macam. Apa jadinya kalau air bercampur garam bercampur minyak bercampur gula dan bercampur asam-asaman. Tetap namanya air, tetapi entah air apa. Beginilah Riau berkembang dan hidup dalam heterogenitas suku dan ras yang ternyata masih cukup aman dan damai dengan berpegang pada prinsip Bhineka Tunggal Ika dan landasan Pancasila.


Masih belum lekang dari ingatan ketika kasus pemilihan gubernur Riau yang mengangkat tokoh sipil Ismail Suko, belum sampai setahun lalu. Tapi kenyataan menginginkan lain. Ismail Suko tetap tersingkir dan Haji Imam Munandar tetap diberi mandat dan restu memimpin provinsi Riau untuk lima tahun mendatang. Lantas timbul pergunjingan soal nilai dan kriteria demokrasi. Apalagi peristiwa tersebut memang baru pertama kali terjadi di Indonesia. Segalanya berubah jadi riuh bagai sungai yang mengalir dan bermuara pada kerisauan-kerisauan orang yang mendambakan demokrasi dalam proses memilih pemimpin. Media penerbitan heboh dan membesar-besarkan peristiwa yang memang sudah cukup ‘besar’ itu.


Mungkin ‘Peristiwa Ismail Suko’ itulah yang terus menggelinding dan mewarnai berbagai peristiwa unik dalam kehidupan orang Riau. Buktinya bertolak pada titik itu pula lantas muncul soal rencana recall atas para anggota DPRD Riau yang melakukan semacam ‘pendurhakaan’ atas kebijakan golongannya. Seperti diduga, ada yang mencak-mencak dan terus menyatakan sikap kontradiktifnya. Orang langsung saja menoleh pada sikap dasar orang Melayu yang sudah dianggap sebagai tipe yang ssuka memendam rasa amuk dan aruk.
Meskipun tak jarang sikap perajuknya muncul pada kesempatan yang lain.


Terakhir rentetan peristiwa yang menyapu kelabu lembaran demokrasi kepemimpinan, tercermin lagi pada ancang-ancang penghapusan 19 anggota DPRD Riau dari daftar calon untuk Pemilu 1987 mendatang. Meskipun jauh hari, kebijakan Golongan Karya akan tetap mempertahankan 60 persen anggotanya untuk tetap menjadi anggota DPRD untuk lima tahun mendatang. Sementara di Riau, kondisi 60 persen itu jelas sudah terlampaui. Bahkan mencapai 80 persen. Jenis amuk dan aruk yang macam apa pula ini?


Begitu pula kasus harta karun di Kepulauan Riau yang semakin berkepanjangan dengan hilangnya seorang arkeolog yang melakukan penyelaman. Lagi-lagi makin meriuhkan suasana saja. Ditambah pula kasus lima warga Indragiri Hulu yang menjadi korban penyerobotan oleh PTP IV Gunung Pamela yang konon ceritanya ‘takut’ pulang ke Riau dan terkatung-katung selama beberapa hari di Jakarta. Rio oh Riau, Riuh oh Risau!


Apalah arti sebuah nama, kata orang-orang dulu. Tapi, kadang-kadang nama memang memberi tabiat kepada objek yang memiliki sang nama. Makanya Nabi Muhammad Saw menganjurkan agar memberikan nama pada anak berdasarkan makna yang baik. Sebab, terkandung di dalamnya harapan dan keinginan agar anak yang diberi nama Abdullah, misalnya, benar-benar menjadi hamba Allah yang tekun mengabdi pada-Nya di suatu saat kelak. Dan, andai saja, orang-orang yang menghuni provinsi yang kaya minyak ini cepaat tahu soal puaka sebuah nama tersebut, tentulah mereka tidak akan memberi namanya Riau, yang lebih berkonotasi pada riuh dan risau.


Segalanya telah jadi mitos. Riau telah membuktikan mitos-mitos itu dengan serangkaian keriuhan dan kerisauan yang nyaris tak berkesudahan. Sementara di Selat Malaka, kerisauan-kerisauan dan keriuhan itu tetap saja berlangsung mulai dari penyelundupan barang-barang impor hingga ekspor gelap hasil kekayaan laut Riau yang selalu mengalir bagai sungai ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Oh Riau!

Penulis: Ir. Fakhrunnas MA Jabbar, M.I.Kom, Sastrawan dan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau. Tulisan ini dimuat saat insinyur perikanan ini menjadu koresponden Panjimas di Riau.
Sumber: Panji Masyarakat, 21 September 1986.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda