Ads
Cakrawala

Makna Syukur Ditinjau dari Sudut Psikologi

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Setiap agama menganjurkan umatnya untuk bersyukur. Dalam Islam ucapan syukur kepada Allah Swt. Merupakan kalimat pertama dari surat Al-Fatihah yang dalam setiap salat dibaca sedikitnya dua kali.

Dengan demikian maka praktis setiap orang harus bersyukur dalam keadaan apa pun. Dalam keadaan senang dia harus bersyukur, dalam keadaan melarat dia harus juga bersyukur, demikian pula keadaan sakit, rindu, kecewa dsb.

Mengapa begitu? Mengapa kita harus bersyukur dan bersyukur itu harus dilakukan dalam kondisi yang bagaiamanapun? Bukankah syukur itu hanya pantas dan bisa dilaksanakan dalam keadaan senang, bahagia, beruntung, mujur dan lain-lain yang sejenisnya? Masalah yang nampaknya sepele ini sebenarnya jauh dari sederhana dan karena banyak yang tidak mengerti akan makna syukur yang sebenarnya, banyak orang tidak bersyukur, malahan merasa kurang puas terus walaupun nasib baik telah berturut-turut menimpa dirinya. Orang jadi serakah. Di samping .itu. ada pula orang yang bersyukur secara berlebih-lebihan, misalnya dengan mengadakan pesta-pora, dengan mengundang makan sanak-saudara, kerabat, atau teman-teman yang sesungguhnya sudah sama-sama kaya raya sehingga sebetulnya mereka tidak lagi memerlukan makanan-makanan tsb. Nah, agar kita lebih memahami seluk-beluk syukur ini, maka saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk meninjau soal ini. dari sudut psikologi. Siapa tahu setelah membaca karangan ini anda akan bisa lebih menikmati hidup Anda, frustrasi-frustrasi Anda akan berkurang dan yang penting anda pun bisa mendidik putra-putri Anda untuk bersyukur sejak mereka belia.

Arti Syukur

Arti syukur secara harfiah adalah terima kasih. Tetapi berbeda dari terima kasih yang kita ucapkan kepada sesama manusia yang telah menolong atau membantu kita, ucapan syukur biasanya kita tujukan kepada Tuhan. Yaitu suatu Dzat yang kita percaya mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini, termasuk diri kita sendiri. Kemauan dan kekuasaan Tuhan tidak terlawan oleh kekuatan apa pun dan karena itu kalau kita mendapat nikmat dari-Nya, patut kita bersyukur kepada-Nya.

Demikianlah arti yang sesungguhnya dari syukur. Akan tetapi arti ini kemudian diberi arti-arti tambahan yang justru bisa menyesatkan. Arti yang kurang benar itu antara lain adalah sebagai berikut. Karena Tuhan Maha Kuasa, maka Tuhan memberikan ganjaran-ganjaran kepada kita yang sifatnya luar biasa pula, yang cenderung kepada keajaiban, yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa. Maka orang bersyukur hanya kalau mendapatkan nasib baik yang sungguh luar biasa, seperti lolos dari bahaya maut, tiba-tiba naik pangkat atau mendapat jabatan yang sudah lama diimpikan, atau ternyata lulus ujian walaupun rasanya tidak bisa apa-apa di dalam ujian tersebut dan sebagainya. Sebaliknya, hal-hal biasa yang sifatnya keseharian tidak lagi perlu disyukuri. Makanan yang kita santap setiap hari dua atau tiga kali, tidak perlu lagi disyukuri karena itu adalah hasil membeli dari pasar dan uang pembeli makanan itu adalah hasil kerja kita sendiri atau orang tua kita, pokoknya hasil manusia. jadi, paling banyak cukup dengan terima kasih saja. Tidak usah disyukuri. Hal ini bisa berkembang lebih jauh: kalau kita berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan yang sulit misalnya, kita menganggapnya sebagai hasil kerja keras kita sendiri, kalau misalnya anak atau isteri kita selamat dari sakit keras maka kita berpikir bahwa itu kan karena kepandaian dokter saja, dst.

Akibat dari syukur yang disalahartikan seperti ini, maka ada kemungkinan kita akan kehilangan rasa syukur sama sekali. Kita merasa selalu bisa mencapai sesuatu yang lebih baik lagi, lebih tinggi lagi, lebih banyak lagi sampai akhirnya kita merasa bahwa kemampuan kita tidak terbatas. Dalam eadaan ini maka kegagalan akan ditanggapi dengan emosi frustrasi, kecewa dan pada gilirannya kejengkelan sebagai akibat dari kekecewaan itu akan dilampiaskan kepada Tuhan. Tuhanlah yang dianggap menghambat, Tuhanlah yang dipandang sebagai penghalang. Padahal Tuhan punya kekuatan yang tak terkalahkan dan kekuatan itu digunakan untuk menghambatnya. Tuhan jadi dianggap tidak adil. Orang itu jadi marah pada Tuhan. Dan karena Tuhan memang tidak bisa dilawan, maka orang itu sendirilah yang akan menderita akibat kemarahannya kepada Tuhan itu.

Sistem Kebutuhan

Untuk dapat mengerti perlunya rasa syukur, kita perlu lebih dahulu mengerti sistem dan mekanisme kebutuhan dan motivasi yang terdapat dalam diri manusia. Sifat pertama dari kebutuhan-kebutuhan yang terdapat dalam jiwa manusia adalah bahwa_ kebutuhan-kebutuhan itu berbagai jenisnya dan jenis-jenis itu tersusun secara berjenjang. Sifat kedua, kebutuhan akan meningkat dari jenjang yang paling rendah ke jenjang yang lebih tinggi sampai tingkat yang tak terbatas selama kondisi memungkinkan.

Kita ambil contoh misalnya seorang pemuda penganggur lulusan SMA yang sedang mencari pekerjaan. Waktu ia melamar ke sebuah perusahaan ia akan mengatakan: ’’Kerja apa saja, deh Pak. Gajinya terserah kepada kebijaksanaan Bapak saja.’’ Kebetulan perusahaan itu sedang memerlukan tenaga pesuruh yang tugasnya adalah membersihkan ruang kantor, menyediakan minuman dan makanan kecil dan mengantar surat ke bagian-bagian lain. Pemuda itu mau menerima jabatan pesuruh itu karena ia memang sedang sangat membutuhkan pekerjaan. Kebutuhan yang berfungsi pada saat ini adalah kebutuhan ’’primer’’, yaitu kebutuhan untuk bisa menyambung hidup. Akan tetapi setelah beberapa saat ia bekerja di kantor itu ia mulai ingin memakai celana keren dan naik skuter. Masak sudah jadi pegawai cuma gitu-gitu saja. Lagi pula dia kan punya ijazah SMA, mestinya dia jadi pegawai administrasi dong, masak jadi pesuruh.

Nah, mulailah timbul kebutuhan-kebutuhan sekundernya dan ia mulai menuntut kepada atasannya untuk dinaikkan gajinya dan dinaikkan pangkatnya. Kalau permintaannya ini dipenuhi, maka akan timbul kepuasan sementara, akan tetapi akan segera menyusul pula kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi yang menyebabkan ia menuntut lagi kepada pimpinannya. Kalau, tuntutan-tuntutannya itu tidak dipenuhi, maka pemuda tersebut akan kecewa, frustrasi. Tetapi kalau dipenuhi terus-menerus akan merongrong perusahaan. Jadi timbullah kondisi yang tidak menyenangkan, baik buat si pemuda maupun buat perusahaan.

Sifat lain dari kebutuhan adalah sekali ia sudah mencapai jenjang kebutuhan yang tinggi, maka sulit sekali ia kembali ke jenjang yang lebih rendah. Misalnya, orang yang sudah biasa naik mobil, sulit untuk kembali naik bus. Atau orang yang sudah biasa mempunyai banyak pembantu dan ajudan, sulit untuk kembali berkebun sendiri atau mengurus keperluan-keperluannya sendiri. Tidaklah mengherankan jadinya gejala frustrasi yang menimpa pejabat-pejabat tinggi yang pensiun Karena tiba-tiba ia harus kehilangan segala yang pernah dimilikinya.

Peranan Syukur

Tetapi frustrasi tidaklah perlu terjadi kalau kita selalu mau bersyukur. Rasa syukur selain berfungsi untuk mengingatkan kita kepada nikmat Allah yang sudah kita miliki saat ini, juga berfungsi membuat kita terdorong untuk waspada karena yang kita nikmati itu sewaktu-waktu bisa berkurang atau lenyap dan sehubungan dengan itu kita terdorong untuk berusaha atau bekerja lebih keras.

Kita ambil contoh misalnya pemuda pencari kerja tersebut di atas. Mestinya ia mensyukuri nikmat Tuhan bahwa ia diberi kesehatan dan kekuatan fisik sehingga bisa mencari kerja. Selanjut- nya,dalam kondisi masyarakat di mana pekerjaan memang sangat langka, maka. ia harus bersyukur bahwa ia ditolong Tuhan mendapatkan pekerjaan walaupun hanya sebagai pesuruh. Rasa syukur ini akan membuatnya tetap bersemangat tinggi dalam menghadapi tantangan selanjutnya. Ia akan berusaha lebih keras lagi agar atasannya bisa menilai baik pada dirinya untuk selanjutnya mendapatkan kenaikan gaji dan pangkat sesuai dengan prestasi kerjanya itu. Kalaupun di perusahaan itu ia menghadapi jalan buntu, ia tidak putus asa. Kedudukannya sebagai pesuruh tetap disyukurinya karena dari situ ja bisa mencari kesempatan lain yang lebih baik di perusahaan atau kantor lain yang tidak akan mungkin dilakukannya jika ia masih menganggur (penganggur) selamanya cenderung akan menerima -pekerjaan apa saja sekalipun yang kurang baik.


Contoh pejabat yang pensiun itu juga tidak perlu frustrasi seandainya saja ia bisa mensyukuri nasib baiknya selama ia sedang menikmatinya. Rasa syukurnya akan membuatnya lebih berhati-hati sehingga jauh-jauh hari ia sudah membuat persiapan-persiapan untuk menghadapi masa pensiunnya.

Di samping itu, syukur juga masih mempunyai manfaat lain. Terhadap. alam dan lingkungan rasa. syukur bisa menimbulkan rasa penghargaan akan karunia Tuhan sehingga orang tidak akan sembarangan merusak alam dan lingkungan. Sedangkan terhadap orang lain, terutama terhadap orang yang nasibnya tidak sebaik nasib sendiri akan timbul rasa setia-kawan, solidaritas dan ingin menolong yang pada gilirannya akan mendorong perilaku amal kepada orang lain.

Menanamkan Syukur pada Anak-anak.

Karena rasa syukur ini penting sekali artinya untuk pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan jiwa, maka ada baiknya jika penanaman rasa syukur ini sudah ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Seperti diketahui ada tiga bentuk pernyataan syukur yaitu: pengakuan dalam hati, pengakuan dalam bentuk ucapan (Alhamdulillah) dan pengakuan dalam bentuk perbuatan (amal). Pengakuan dalam hati adalah bentuk pengakuan yang paling sempurna, karena pengakuan syukur itu betul-betul timbul dalam jiwa kita walaupun tidak diucapkan. Selain itu pengakuan yang tulus datang dari nurani kita itu tentu akan mendorong perbuatan kita ke arah amal yang sejalan dengan rasa syukur tersebut. Tetapi pengakuan dalam hati tidak dapat ditimbulkan begitu saja. Pada taraf pertama, yaitu pada taraf kanak-kanak, pengakuan ini perlu dibuktikan dengan ucapan terlebih dahulu. Jadi, anak-anak perlu dilatih untuk mengucapkan rasa syukurnya kepada Tuhan, baik pada waktu sembahyang maupun pada kesempatan-kesempatan lain. Orang tua perlu menegur, bila anak tidak mengucapkan syukur bila ia sedang mengalami atau menghadapi nikmat Tuhan.

Bersamaan dengan latihan bersyukur .melalui pengucapan lisan itu, perlu pula anak dilatih untuk bersyukur dalam bentuk perbuatan. Misalnya, kalau anak bermaksud memetik bunga di taman, orang tua bisa menegurnya dan mengatakan bahwa bunga yang cantik itu adalah nikmat Tuhan yang harus kita syukuri dan tidak boleh kita petik sembarangan. Dengan perbuatan, kita tanamkan rasa syukur, sedangkan rasa syukur yang sudah tertanam juga akan timbul dalam bentuk perbuatan. Jadi ada semacam arus bolak-balik antara kesadaran sendiri (syukur yang tak diucapkan) dengan perbuatan. Kalau arus bolak-balik ini sudah terbentuk dengan mantap, maka dapat diramalkan bahwa orang itu akan banyak mengalami kenikmatan dalam hidupnya di dunia.

Penulis: Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (1944-2016), Guru Besar Psikologi Sosial, penerjemah dan penulis buku-buku psikologi. Kolumnis di pelbagai media massa ini pernah menjadi Dekan Fakultas UI Universitas Indonesia.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 400 1 Juli 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda