Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersembunyi di balik sebatang pohon. Pernahkah Anda mendengar seorang nabi merasa perlu bersembunyi, dan mengintip dari balik pohon? Bukan dalam keadaan perang, padahal. Beliau ingin mengetahui gerak-gerik seorang anak muda Yahudi yang berperilaku aneh. Dan Profesor Macdonald, di belakang hari, menganggap perbuatan beliau “lucu”.
Yang sebenarnya terjadi: Nabi mencoba menyelidiki masalah kejiwaan si anak muda, Ibn Saiyad namanya, yang dalam keadaan ekstasi, suka mengeluarkan igauan-igauan yang menarik perhatian. Nabi sudah menanyai-nya. Tapi itu tidak cukup: sikap pemuda ini akan berbeda jika is sendirian. Sayang, waktu Nabi mengamatinya diam-diam, ibu si anak melihat beliau. Dan memberitahu si pemuda. Maka, kata Nabi, seperti diriwayatkan antara lain oleh Bukhari, “Kalau wanita itu membiarkannya seorang diri, persoalannya bisa menjadi lebih jelas.”
Tidak berlebihan jika Iqbal kemudian menyebut Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. “penyelidik pertama gejala-gejala kejiwaan dengan cara yang kritis.” Beberapa sahabat, yang menyaksikan peristiwa itu, juga para ahli hadis di belakang hari, menurut Iqbal “sama sekali tidak memahami betapa pentingnya sikap Nabi” tersebut. Juga Prof. Macdonald, yang rupanya tidak tahu “perbedaan psikologis yang pokok antara kesadaran yang bersifat mistik (yang me-nyangkut pengalaman si anak muda) dan yang bersifat nubuwah.”
Adapun muslim pertama yang dapat memahaminya, menurut filosof asal Pakistan ini (1873-1938), adalah Ibn Khaldun—yang, antara lain, hampir sekali mencapai cara hipotesis modern tentang ‘bentuk-bentuk bawah sadar’. Macdonald sendiri menyebut Ibn Khaldun (Tunis, 1332- 1406) punya pikiran-pikiran psikologis yang sangat menarik dan boleh jadi akan sangat sesuai dengan buku William James (1842-1910), Varieties of Religious Experience. Ilmu jiwa modern hanya baru-baru ini saja memahami pentingnya arti penyelidikan yang teliti akan isi kesadaran mistik, sementara kita belum memiliki suatu cara ilmiah yang tepat untuk menguraikan isi kesadaran dalam bentuknya yang nonrasional. (Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Reli-gious Thought in Islam, terj. Ali Audah, Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad, 18-19).
Genetika, Psikologi
Contoh di atas itu saja sudah cukup menggambarkan betapa manusia, dari ‘sebelah dalam’, seperti dikatakan Iqbal, adalah satu sumber ilmu—di samping dua sumber lain: alam dan sejarah (Panji Masyarakat, 28 Juli 1997). Bagi Iqbal, ayat Q. 41:53 sebenarnya menerangkan bahwa Tuhan menampakkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin, juga dalam pengalaman lahir. Ayat itu ialah: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di ufuk-ufuk dan di dalam (di antara) diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa dialah (Islam, atau Al-Qur’an) kebenaran itu.” (Q. 41:53).
Kebanyakan mufasir menggabungkan “ufuk-ufuk” dan “diri mereka” sebagai satu kesatuan—dan memahami ayat itu, yang diturunkan di Mekah (dalam keadaan umat muslimin lemah), sebagai sebuah berita masa depan tentang akan tersebarnya Islam ke sudut-sudut bumi yang terjauh. Tetapi adalah suatu kemungkinan, dengan atau tanpa pendekatan mistik seperti yang diambil Iqbal, kenyataan bahwa sumber ilmu terdapat pada alam, di samping manusia (dan kemudian sejarah; lihat Q. 14:5) itu bisa ditarik sebagai kesimpulan dari keseluruhan ayat yang bertebaran dalam Qu’ran sendiri, dan bahwa ke-simpulan itu, untuk dua per tiganya, sejalan dengan pernyataan ayat tentang ‘ufuk’ dan ‘diri mereka’ di atas. Tanpa mengingat sebab turun (sababun nuzul)-nya, ayat itu menunjuk sesuatu yang umum. Dan, meminjam kaidah ushul fikih; Al ‘ibratu biumumil lafzhi la bikhushushis sabab, kesimpulan memang layak didapat “dari keumuman kandungan lafal, bukan dari kekhususan sebab”. Dengan kata lain, ufuk memang juga bisa berarti alam semesta, sementara manusia adalah sebuah alam (kecil) yang lain.
Tetapi, mengapa dikatakan “akan Kami perlihatkan”, dalam ayat di atas, kalau yang dimaksudkan adalah semesta, sementara semua orang sudah melihat semesta (langit, bintang-gemintang, misalnya) sejak dulu? Ini memang juga menjadi pertanyaan Zamakhsyari (1075-1144 M.), dan mendasari kesimpulan yang kemudian diambilnya. ‘Akan’ itu, katanya, menunjuk kepada sesuatu yang waktu itu belum terjadi, dan itulah kebesaran Islam. Itu benar. Tetapi para ilmuwan penafsir Qur’an lebih mengerti bahwa tidak ada penunjukan Qur’an mengenai dunia kealaman yang lebih sugestif pemahamannya di-banding setelah ilmu-ilmu pengetahuan alam mencapai satu taraf yang memungkinkan orang bisa lebih benar dalam memahami ayat-ayat yang dahulu hanya diterka-terka dan, seperti dikatakan Maurice Bucaille, ditafsirkan dengan banyak kekeliruan (Panji Masyarakat, 7 Juli 1997). Termasuk jika ‘tanda-tanda Tuhan’ yang berhubungan dengan ‘diri mereka sendiri’ (manusia) dihubungkan dengan ‘capaian-capaian terkini di bidang, di samping ilmu genetika, psikologi.
Nurani adalah Cahaya
.Syahdan, ayat-ayat Al-Qu’ran memberikan kesempatan, kepada setiap peneliti, untuk merumuskan pandangan kitab suci ini tentang diri kita sendiri. Di antara semua yang menyinggung bab reproduksi manusia (Panji Masyarakat, 28 Juli 1997), ayat-ayat berikut ini tidak hanya bicara tentang penciptaannya sebagai makhluk dari darah dan daging, tetapi juga secara eksplisit menyebut ‘roh’ dan, lebih dari itu, ‘hati’:
“Itulah Yang Mahatahu yang gaib dan yang nyata, Mahaperkasa, Maha Pengasih. Yang membuat bagus semua yang Ia ciptakan, dan memulai penciptaan manusia dari tanah. Lalu Ia jadikan keturunannya dari sari pati, dari air yang rendah. Lalu Ia sempurnakan, Ia tiupkan sesuatu dari rob-Nya, dan Ia jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan hati. Sedikit sekali kalian berterima kasih.” (Q. 32:6-9).
Dengan kata lain, manusia bukan hanya, secara fisik, bagian dari alam. Pemberian roh itu membedakannya dari bends mati, sementara pemberian ‘hati’ menyebabkannya berada di atas binatang. Sementara itu pendengaran dan penglihatan mewakili pancaindra, sedang-kan ‘hati’ mewakili kehidupan dalam. ‘Hati’, dikatakan Iqbal, adalah sejenis intuisi batin atau wawasan yang menurut Qur’an sesuatu yang ‘melihat’, dan basil laporannya, kalau diartikan secara tepat, tak pernah salah (Iqbal, op. cit., 17). Ia berhubungan dengan pikiran (intelek) secara organis. Pikiran menangkap kebenaran sepotong-sepotong, intuisi menangkapnya secara global. Tegasnya, seperti dikatakan Bergson, intuisi hanyalah semacam intelek yang lebih tinggi (Iqbal, ibid., 4, 5).
Tetapi ‘hati’ juga menunjuk pada pertimbangan moral. Dalam pengertian agama, ia dihubungkan dengan cahaya (nur), dan karena itu kita menyebutnya hati nurani. Itu berarti Tuhan memberikan kepada kita sesuatu yang baik, tempat kita mengidentifikasikan diri. Ajaran bahwa manusia adalah makhluk yang baik tidak disebut per kalimat di dalam Qur’an. Tetapi dengan pengertian tentang nurani, ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia diberi potensi kebaikan dan keburukan tidak berarti bahwa manusia makhluk yang sekaligus baik dan buruk.
“Demi jiwa dan penyempurnaan yang diberikan-Nya Lalu diilhami-Nya jalan-jalan kefasikannya dan ketakwaannya Beruntunglah orang yang mensucikannya Dan merugilah orang yang mengotorinya” (Q. 91:7-10)
“Sungguh manusia diciptakan dalam keluh kesah Jika ditimpa keburukan, is gelisah Jika beroleh kebaikan, berderma is sangat susah Kecuali mereka yang sembahyang.” (Q. 70:19-22)
Kebaikan dan keburukan, dalam ayat-ayat itu, bukanlah hal-hal yang melekat dalam diri kita, tapi sesuatu yang datang. Buktinya, pada kelompok ayat pertama dinyatakan bahwa kita bisa menyucikan jiwa kita. Alat penyucian itu tak lain nurani kita yang baik itu, yang pada kelompok ayat kedua diwakili oleh sembahyang, yang bisa melenyapkan segala kecende-rungan jelek. Jadi, yang eksistensial pada kita adalah nurani yang baik itu, yang kita pakai menghadapi kecenderungan baik maupun buruk yang aksidental. Ini tak mengherankan: nur itu datang dari Allah—dan ini pengertian yang tak boleh tidak bagi pernyataan Allah sendiri bahwa ke dalam diri kita, sewaktu di perut ibu, sudah ditiupkan “sesuatu dari roh-Ku (Allah)”.
Itulah sebabnya, orang yang bertobat disambut Allah dengan “kegembiraan” demikian ungkapan hadis Bukhari) yang luar dari kebahagiaan orang yang kehilangan ontanya, di tengah gurun pasir, kemudian tertidur, dan waktu bangun, onta itu berada di sampingnya. Karena, sebagaimana onta kembali kepada si pemilik, dengan tobat itu kita kembali kepada Allah, kepada “fitrah Allah yang telah dipakai-Nya untuk menciptakan manusia” (Q. 30:30). Yakni kesucian, atau, seperti yang dinyatakan di awal ayat, Islam sendiri.
Semua itu menjelaskan bahwa manusia jauh lebih tinggi derajatnya dibanding binatang. Ini tak perlu disebut lagi, kalau bukan karena kita maupun binatang diciptakan dari zat yang sama, bahkan bentuk kita dalam rahim ibu, pada salah satu stadium, adalah juga bentuk binatang (Panji Masyarakat, 28 Juli 1997). Nyatalah bahwa bukan aspek fisik yang penting dalam penilaian harkat. Melainkan, seperti dituliskan dalam syair Al-Bushiri:
Hendaklah kelola jiwa, dan sempurnakan semua kelebihannya/Sebab lantaran jiwa, dan bukan jisim, engkau seorang manusia
Bahkan kita ditetapkan Allah lebih tinggi dibanding malaikat. Bukankah ayat menyatakan, “Maka bila telah Kusempurnakan bentuknya, dan Kutiupkan kepadanya sesuatu dari roh-Ku, rebahlah kamu (malaikat) kepada-nya (manusia) dalam sujud.” (Q. 15:29)? Tentunya karena malaikat, makhluk otomat yang suci, tidak menghadapi problem berat antara kebaikan dan kejahatan seperti kita, alias tidak dipercayai dengan tanggung jawab. Memang, yang ditentukan lebih tinggi adalah manusia per definisi, dan bukan pertama kali orang per orang. Tetapi bahwa manusia (yang mungkin, seperti Adam, terantuk dosa) adalah baik, dikuatkan oleh status Adam sendiri, yang dalam ayat dinyatakan “telah menerima dari tuhannys beberapa kalimat, kemudian Is mengampuninya—karena Ia Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (Q. 2:37).
Baik dari sisi fitrah, dan bersih dari sisi peluang ampunan Allah, inilah makhluk yang paling indah (Q. 95:4), dengan kemungkinan secara aksidental jatuh ke posisi paling rendah (Q. 95:5), khalifah Allah di bumi (Q. 2:30), yang dalam dirinya terben-tang persoalan seluas dunia, dan yang tak habis-habis dijelajahi sebagai bidang garapan atau sumber ilmu. Itulah, Allahumma, ciptaan Engkau. Satu unikum. Manusia. Wallaahu Waliyut taufiiq. ■

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah-majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ia juga memerankan tokoh Aidit dalam film Pengkhianatan G.30 S/PKI karya Arifin C. Noer.
Sumber: Panji Masyarakat, 11 Agustus 1997