Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Bagaimana Anda Direkayasa (1)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Apakah sumber ilmu menurut Al-Qur’an? Muhammad Iqbal menyebut tiga pokok, dan itu boleh dipegang. Yakni, alam, manusia, dan sejarah (Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, terj. Ali Audah, et. al., 126). Karena itu telaah tentang aspek keilmuan Qur’an, setelah ayat-ayat yang menarik minat kepada alam dan ilmu-ilmu kealaman (Panji Masyarakat, 14 Juli 1997), akan seharusnya diikuti pembicaraan tentang ayat-ayat yang menunjuk diri manusia, sebelum sejarah.

Itu bisa dilakukan melalui tiga aspek. Pertama, manusia sebagai makhluk biologis, khususnya dari segi penciptaan (reproduksi). Kedua, manusia dari segi kehidupan batinnya, satu-satunya yang ditekankan lqbal dalam penciriannya (Op. cit., 96-97). Dan, ketiga, manusia dalam dimensi sosial.

Dunia Lama dan Dunia Baru

Ayat-ayat yang paling tua dalam Al-Qur’an, yang merupakan pembuka wahyu pertama, adalah yang berbicara tak lain tentang dua hal pokok ini: manusia dan Pena. Ini memang bisa menunjukkan bahwa untuk manusialah kalam Allah itu menubuhkan dirinya dalam wujud wahyu, dan bahwa kedatangan wahyu itu sendiri adalah untuk ilmu, di dalam tahap baru kemanusiaan yang adalah tahap ilmu. Ini sejalan dengan kesimpulan Iqbal bahwa ciri kenabian Muhammad s.a.w. adalah keberadaan beliau di antara dunia lama dan dunia baru: dari segi sumber wahyu beliau dalam dunia lama, sementara dari spirit-nya dalam dunia baru (Ibid, 125). Bahwa wahyu Al-Qur’an, dari segi semangat maupun kandungan, berbeda dari wahyu yang tercerminkan dalam kitab-kitab lama, dengan sumber yang sama, bisa dilihat dalam rangkaian lima ayat pertama itu, sekadar contoh pembuka:

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta
Mencipta manusia dari gumpal darah
Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah
Yang mengajar dengan pena
Mengajar manusia apa yang tak diketahuinya

(Q. 96:1-5) .

Bayangkan bahwa seluruh wahyu, yang kemudian dihimpunkan dalam Al-Qur’an, tak lain ibarat pengajaran Allah kepada manusia dengan pena lambang yang menunjuk ke dunia baru, yang bukan lagi dunia oral kitab-kitab purba, dan pengajaran itu menunjuk kepada alam, diri manusia sendiri, dan sejarah.

Berbeda dengan pemaparan tanda-tanda kealaman, yang dalam Al-Qur’an diberikan untuk menyadarkan kita akan kebesaran Allah dan akan tauhid, umumnya ayat-ayat tentang manusia dari segi penciptaan dikaitkan dengan salah satu butir keimanan atau kehidupan keagamaan. Dalam ayat Al-Ghafir (Al-Mukmin) berikut ini, yang diwahyukan di Makkah, dan berbicara tentang proses reproduksi secara sangat global, keterangan tentang topik itu diberikan sebagai alasan mengapa orang memang seharusnya beribadah:

“Katakan, Aku dilarang menyembah yang kalian seru selain Allah ketika sudah datang kepadaku berbagai keterangan dari Tuhanku. Aku diperintahkan berserah diri kepada Tuhan semesta raya. Dialah yang menjadikan kalian dari debu, lalu dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian mengeluarkan kamu sebagai bocah, kemudian agar kamu mencapai usia dewasa, kemudian agar kamu menjadi kakek lanjut usia. Di antaramu ada yang dimatikan sebelum itu, dan agar kamu mencapai ajal tertentu, dan agar kamu memakai otak.” (Q. 40:66-67).

“Menciptakan kamu dari debu” bisa menunjuk kepada penciptaan Adam dalam tafsiran baku, bisa pula penciptaan kita sendiri. Yakni, dari tanah yang sudah berubah unsur-unsurnya oleh zat makanan dan menjadi tumbuh-tumbuhan, lalu menjadi binatang. “Dari tumbuhan dan hewan itu tersedia makanan kamu, sedangkan dari tanah (dengan pengertian itu) terbangun tubuh kamu, dengan antara lain air mani, yang kemudian akan menjadi gumpal darah, lalu gumpal mudigah, lalu kamu pun lahir sebagai bocah,” demikian Thanthawi Jauhari menyadur ayat di atas. Begitulah, “agar kamu menggunakan otak” yakni mengambil segala pelajaran dan dalil dari perubahan kamu dalam siklus itu, “karena dalil yang paling kena adalah yang dirasakan manusia dari dirinya sendiri” (Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir, fi Tafsiril Qur’an, XIX:20).

Demikian ayat pertama. Untuk contoh kedua adalah sebuah ayat dalam surah Al-Hajj, yang umumnya dianggap sebagai diturunkan di Madinah (Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, I:10-11), kecuali menurut sebagian (yang dituruti oleh misalnya pengarang Al-Jawahir) yang menganggapnya turun di Mekah, dan hanya enam ayat di Madinah. Betapapun, melihat keterangannya yang lebih terinci, sangat meyakinkan bahwa ayat ini diturunkan sesudah ayat makkiah dari Al-Ghafir di atas. Di sini keterangan tentang rekayasa manusia diberikan sebagai alasan bagi akidah tentang kebangkitan dan untuk itu, menjadi sedikit lebih kompleks, digabungkan dengan tanda-tanda kealaman di luar diri kita:

“Wahai manusia. Jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan, maka Kami telah menciptakan kalian dari debu, kemudian dari tetes mani, kemudian dari gumpal darah, kemudian dari gumpal daging, yang terbentuk sempurna maupun yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu, dan Kami tetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu tertentu. Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian agar kamu sampai ke masa dewasa. Sebagian kamu ada yang dimatikan, sebagian yang lain dikembalikan ke usia yang paling rendah agar ia, sesudah tahu, tak lai tahu sesuatu pun. Lalu kaulihat bumi kering kerontang, kemudian ketika Kami turunkan padanya air hujan, ia bergerak dan melembung dan menumbuhkan berbagai pasangan yang indah” (Q. 22:5). Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah-majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 28 Juli 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda