Kita, sebagaimana biasanya sedang menghadapi berbagai kesulitan. Salah satunya: bagaimana merumuskan pertanyaan perspektif Islam tentang nasionalisme. Jenis apakah nasionalisme itu dalam konteks Islam yang supranasional?
Ketika perkembangan Islam merambat ke luar dari jazirah Arab dan sekitarnya, tak pernah terbayangkan akan lahir sebuah negara, dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, yang kemudian disebut Indonesia.
Islam, seperti terkesan pada banyak statement, memang menaruh curiga atas nasionalisme. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, nasionalisme tumbuh di hampir seluruh daerah-daerah Islam. Dan kawasan yang sebelumnya terikat dalam sebuah imperium besar, Turki Usmani, terobek-robek. Imperium besar dan merupakan simbol dari supra-nasionalisme Islam itu, secara perlahan-lahan runtuh. Negara-negara dan masyarakat-masyarakat Islam, kemudian, tumbuh bercerai-berai. Tanpa kepemimpinan.
Perpecahan yang lebih bersifat ”sekuler” ini segera memantul menjadi persoalan ”imani”. ”Nasionalisme,” jerit para pemimpin Islam di masa itu, “adalah alat kolonialisme Barat untuk memperlemah kesatuan Islam.” Daerah-daerah yang luas, yang merentang dari jazirah Arab, sampai Persia, Mesir, Turki, bahkan sampai ke Afrika Selatan—yang sebelumnya dipersatukan oleh sebuah imperium — bergolak secara sendiri-sendiri. Mereka, mungkin, tidak pernah menemukan lagi kepemimpinan yang bersifat trans-nasional. Kepemimpinan, menjadi ciut, hanya dalam lingkup nasional.
Salahkah kolonial Barat yang menghembuskan asap nasionalisme di dunia Islam? Sangat bisa jadi. Bahkan. sampai kini pun, bekas-bekas kolonialisme masih menjadi pusat dari biang keladi kekalutan dan ketidakseimbangan perkembangan banyak Dunia Ketiga. Dan negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, termasuk di dalamnya. Tapi bukankah juga semangat nasionalisme yang sama telah merobek-robek kesatuan masyarakat Barat? Runtuhnya sistem kehidupan sosial-ekonomi, politik dan kultural feodalisme Eropa pun sebenarnya berkaitan dengan kebangkitan nasionalisme.
Islam dan nasionalisme, boleh jadi, masih tetap menjadi agenda perdebatan yang belum selesai. Tapi mungkin juga, “kecurigaan” tokoh-tokoh Islam atas nasionalisme — seperti, yang pernah diperlihatkan Saudi Arabia, yang berambisi untuk menggantikan posisi kepemimpinan Turki Usmani dalam dekade 1920-an — lebih didasarkan pada sentimen sejarah, dibandingkan dengan keyakinan doktrinal. Setidak-tidaknya dengan sedikit perbandingan, bahwa klaim universalitas sebuah agama, tidak hanya terbatas pada Islam.
Sifat supra-nasionalisme Islam, menemukan bentuknya yang kongkret dalam untuk gampangnya kita sebut — kecenderungan “paradigma sejarah” lampau. Suatu kecenderungan perkembangan dan dinamika sosial-ekonomi dan politik serta budaya yang belum terputus pada garis sejarah imperium. Dalam masa ini, politik dan kekuasaan selalu cenderung ekspansionis, melintasi batas-batas etnik, kultural dan ras. Dalam masa inilah kita melihat tampilnya raja agung, Iskandar Zulkarnain. Tapi juga bisa Fir’aun. Disusul dengan munculnya. berbagai imperium: besar. Katakanlah Rum, Persia, dan sederetan organisasi kekuasaan klasik lainnya. Dan Islam, yang bangkit persis ketika kedua imperium besar Rum dan Persia sedang. runtuh, tinggal meneruskan alur kecenderungan sejarah yang sudah terbentuk.
Sifat supra-nasionalisme Islam menemukan akar historisnya yang kongkret justru di masa awal, ketika Nabi masih hidup yang kemudian dilanjutkan oleh Al-khulafaur Rasyidun. Untuk selanjutnya, hampir tidak bisa dielakkan, supra-nasionalismie Islam ini menemukan akarnya yang lebih kokoh di bawah dinasti Umayyah, Abbasiah, Fatimiyyahdan kemudian berakhir dengan runtuhnya imperium Tirki Usmani atau Ottoman. Supra-nasionalisme Islam, agaknya terbentuk dalam kecenderungan sejarah yang belum tertransformasikan. Ini pulalah yang dijadikan model konkret universalisme Islam dewasa ini.
Terdamaikankah ketegangan Islam dan nasionalisme? Di Indonesia, kita menemukan kenyataan lain. Islam, oleh karena rentangnya telah melintasi batas etnis dan kultural dalam keanekaragaman struktur horizontal masyarakatnya, telah menjadi akar yang paling fundamental bagi tumbuhnya semangat nasionalisme. Tapi mungkin juga, karena kecenderungan sejarah telah tertransformasikan ke dalam babak baru. Dan penduduknya, yang merupakan bagian terbesar pemeluk Islam di dunia, tidak melihat adanya pertentangan itu.

Penulis: Fachry Ali, intelektual Muslim, pengamat sosial politik dan budaya.
Sumber: Panji Masyarakat, 21 Mei 1986