Ads
Aktualita

Inilah Sikap dan Gerak Politik Muhammadiyah

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Di tengah tahun politik sekarang ini ormas-prmas besar pasti ditunggu pendapatnya oleh masyarakat. Riuhnya soal capres dan pemilu, ormas termasuk ormas Islam sangat ditunggu pandangannya.

Muhammadiyah adalah ormas Islam yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat. Anggotanya yang jumlahnya besar pasti menjadi incaran para capres dan partai politik. Tapi, bagaimanakah respon Muhammadiyah menghadapi tahun politik yang mulai memasuki tensi tinggi ini.

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, Muhammadiyah sejak awal berdiri 1912 sampai saat ini bergerak dalam politik kebangsaan, yakni membangun bangsa dan negara serta terlibat aktif dalam dinamikanya sesuai posisinya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.

“Bersamaan dengan itu Muhammadiyah dengan tegas tidak mengambil jalan politik praktis atau politik yang berorientasi langsung pada perebutan kekuasaan sebagaimana dilakukan oleh partai atau kekuatan politik formal,” ujar Prof. Haedar Nashir dalam amanahnya pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas ) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jum’at 29/9/2023).

Muhammadiyah memang pernah menjadi Anggota Istimewa Masyumi tahun 1945-1962, tetapi tidak otomatis menjadi partai politik meski saat itu terlibat dalam dinamika politik praktis.

Menurut Haedar, sejak Masyumi bubar Muhammadiyah menarik diri dari keterlibatan partai politik dan kegiatan politik praktis. ” Kesibukan terlibat dalam Masyumi menyebabkan dakwah dan amal usaha Muhammadiyah terbengkalai. Muhammadiyah pun dikelola dengan cara-cara partai politik. Karena itu,lahirlah sejumlah Khittah yang menjadi garis perjuangan dalam politik,” jelasnya.

Ada Khittah Ponorogo 1969, Khittah Ujung Pandang 1971, Khittah Surabaya 1978, dan kompilasi terakhir ialah Khittah Denpasar 2002 yang disebut “Khittah Berbangsa dan Bernegara”.

” Jadi mungkin orang masih berdebat soal posisi netral atau tidak netral, independen atau tidak independen, atau apapun istilahnya, namun semua harus berbasis pada pemikiran resmi Khittah dan posisi Muhammadiyah sebagai ormas yang telah memilih jalur non-politik praktis,”tegasnya.

Haedar melanjutkan, esensi semua itu, mau memakai istilah netral atau independen tidak masalah, yang penting intinya Muhammadiyah berkiprah dalam politik kebangsaan atau poliitik kenegaraan (high politics), sebaliknya tidak berkiprah dalam politik kekuasaan ( real politics, politik praktis).

Kesimpulannya, Muhammadiyah itu organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang bergerak dalam pembinaan masyarakat dan pembangunan bangsa, tetapi bukan bergerak dan menjalankan fungsi organisasi politik.

“Ijtihad jalan yang dipilih Muhammadiyah dari periode ke periode sebagai wujud ijtihad politik Muhammadiyah. Jalan perjuangan yang meletakkan politik srbagai “al-umur ad-dunyawiyyah” yang meniscayakan ijtihad,” urainya.

Menurut Haedar, ijtihad Muhammadiyah ya tidak berpolitik praktis. Muhammadiyah tidak anti politik praktis. Muhammadiyah mendorong para anggota dan kadernya untuk aktif ke partai politik selain di lembaga pemerintahan, dan lembaga strategis lainnya. Ketua Umum dalam beberapa tahun terakhir bahkan sering mendorong para kadernya untuk berkiprah di eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga strategis lainnya dengan modal kemampuan, integritas, dan visi kemuhammadiyahan yang baik.

Muhammadiyah juga memandang positif fungsi dan perjuangan politik praktis, serta sering berkomunikasi dengan jajaran partai politik.

” Memang juga ada larangan rangkap jabatan tertentu, hal itu penting sebagai koridor agar semuanya tidak bebas, sekaligus ada sejumlah rukhsah atau kebolehan,” pungkasnya.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda