JUMAT 10 Februari 1911. Udara bertuba di Penyengat Indera Sakti. Residen Riau O.F. Bruinskops atas nama Gubernur Jenderal Belanda di Betawi, berlagak menghentikan Sultan Muazham Syah dan Tengku Besar.
Muazham Syah berkepala batu, bertelinga badak, sungut Brinskops. Ia lalu mengeluarkan data: Muazham mencoreng arang di kening Belanda. Tak bisa diberi muka. Semakin dibiarkan semakin menjadi-jadi. Hendak memijak kepala pula. Bangsat betul.
Tahun 1902, Muazham dengan sengaja tidak mengibarkan bendera Belanda di kapalnya. Bahkan dengan mata kepalanya sendiri, Bruinskops melihat Muazham mengibarkan bendera kerajaan lebih tinggi dari bendera Belanda pada 1 Januari 1903.
Muazham Syah tak bisa diajar rupanya. “Dia mempermain-mainkan marsose raya,” bentak Bruinskops. Betul juga. Pada 1906 Muazham Syah langsung tidak menaikkan bendera Belanda di istananya. Tidak sampai di situ. Muazham diam-diam mengadakan kontak dagang dengan bangsa lain. Selalu menebarkan benih permusuhan dengan Belanda. Mengibarkan semangat jihad budak-budak Melayu untuk menentang kekuasaan residen. Sampai hendak berbuah mulut Belanda mengingatkan Muazham agar tidak mengikutsertakan cendekia-cendekia kelompok Rusydiah Klub dalam menjalankan roda pemerintahan, si domba-domba mawar yang bukan main gatalnya itu.
Agaknya, kesalahan yang terakhir inilah yang menggusarkan hati Belanda. Dalam setiap langkah, Muazham selalu meminta pendapat dari anggota Rusydiah Klub. Rusydiah Klub tak ubahnya seperti ladang yang lapang, di sana tertanam puluhan tanam-tanaman yang subur semarak. Tentu tak indah menurut benak Belanda.
Halnya dengan Tengku Besar Umar? Presiden Rusydiah Klub itu dengan anggota-anggotanya yang piawai, telah menyediakan tebusan makihamun dan pujian di atas ungkapan yang berdelau: Wamahyaaya wamahmaati lillahi rabbil ‘aalamiin.
Jangan cari karangan-karangan cendekiawan Rusydiah Klub yang memuji Belanda. Sebiji haram tak ditemui. Berbagai peringatan dilontarkan kepada Muazham Syah dalam menjalankan pemerintahan titipan Allah ini. Jangan hanya memikirkan periuk nasi sendiri, memimpin menurut selera perut saja. Tinggal benda yang molek kepada anak cucu, kata Raja Ali Kelana, Maktub Rusydiah Klub yang bergerak di bidang Agama Islam, ilmu pengetahuan, politik, sosial dan sastra budaya itu. Penyemaian bibit kepahlawanan kepada budak-budak Melayu gencar dilaksanakan. Mereka sebarkan kekalahan Rusia di tangan Jepang 1905 dengan menerbitkan brosur untuk jihad berjuang tadi. Ditambah lagi peringatan kemangkatan Raja Haji Marhum Teluk Ketapang 1784.Acara-acara keagamaan diiringi dengan pembacaan syair-syair perjuangan dan tuntutan hidup. Mesjid menjadi panji pengibaran motivasi. Diskusi-diskusi pembangunan masyarakat mengalir dari sini. Pengajaran dan pengajian Agama Islam apalagi. Pokoknya mesjid, lumbung utama Ipoleksosbudhamkamnas sebagaimana yang diukir manis oleh Rasulullah Saw serta sahabat-sahabatnya. Sampai pula pendirian tentara sukarela, Indera Sakti.
Fatwa Dicari-cari
Tiga kali perkumpulan ini mengirimkan utusannya ke luar negeri. Tahun 1904 Raja Ali Kelana berangkat ke Turki meminta sokongan kepada perjuangan Agama Islam di Riau. Seorang diplomat tangguh Rusydiah Klub, Raja Khalid Hitam, 31 Oktober 1913, diberangkatkan ke Jepang agar perjuangan mereka didukung secara internasional. Menyusul keberangkatannya yang kedua, 11 Desember 1913. Raja Khalid Hitam bernasib malang. Sampai hari ini, ia redam entah ke mana. Maklum mata-mata Belanda pun bukan budak semalam.
Cendekiawan-cendekiawan Rusydiah Klub bukan tak bisa hidup makmur kalau saja mereka menurut titah perintah Belanda. Segalanya bisa diurus dengan menatik. Asyik. Raja Ali Kelana misalnya, Dia ini orang yang berhak menjadi Yang Dipertuan Muda, seorang pemimpin yang dapat menghitam dan memutihkan keadaan. Dia tolak jabatan itu. Lagi pula, gunanya buat apa, setelah semua pekerjaan berdasarkan dikte orang lain. Pengaruhnya di tengah masyarakat boleh diuji. Keris di tangannya bukan sembarang keris. Sebagaimana layaknya keris tempo doeloe, keris pada suatu saat dipandang sebagai benda suci, pengunjung martabat, tetapi juga bisa menjadi bala bencana yang maha dahsyat. Jangan kira hal itu tidak mustahil. Tak sedikit cendekiawan yang dipesan. Beribu fatwa, beribu dalil, memenuhi pesanan itu. Untuk ini, memang dicari-cari. Artinya, halal semua jalan, asalkan menurut selera sebuah pandangan dan sejenisnya yang harus dipandangkan. Masyarakat? Masabodoh, ah.
Rusydiah Klub tak mau jadi saksi palsu pesanan itu. Sebab mereka sadar, seorang cendekiawan haruslah orang yang berbuat bukan karena diharuskan. Seorang cendekiawan bukan harus diciptakan oleh situasi, tetapi berusaha menciptakan situasi. Caranya memang tidak semudah membalik telapak tangan. Penciptaan situasi tak lahir dari bim salabim. Tetapi ia harus digodok hancur dalam lubuk hati, Rusydiah Klub tak mau menggadaikan itu semua untuk kepentingan kerajaan apalagi kepada Belanda. Peringatan-peringatan yang mereka lontarkan kepada kerajaan cukup sengit. Tak tanggung-tanggung. Penggodokan yang hancur dalam lubuk hati itu mereka paparkan dengan berani.
Kalau begini, peperangan antara cendekiawan yang diciptakan oleh situasi dan cendekiawan yang menciptakan situasi, tentu tidak dapat dielakkan. Wajar, bila cendekiawan yang kedua pupus dari permukaan bumi. Dalam misi si tukang pesan, ia tentu tak terpakai. Jadi barang rongsokan, tak berguna. Menyemak. Segudang alasan pun telah dipersiapkan untuk mereka. Ekstrem, tak tahu kepentingan umum yang biasanya menurut kepentingan si tukang pesan, si empunya kekuasaan.
Astaga. Ah, itu belum seberapa, Sobat. Mungkin saja sebuah edaran mengintai cendekiawan “penyemak” tadi: Babat semua domba mawar liar itu.

Penulis: Taufik Ikram Jamil, penulis puisi, cerpen dan novel. Di samping itu, ia juga menulis esai dan sering menjadi pembicara di berbagai seminar kebudayaan, serta aktif di dunia pendidikan. Tahun 1983—2002, Taufik menjadi wartawan di beberapa surat kabar dan terakhir bergabung dengan harian Kompas Jakarta lebih dari 14 tahun. Tahun 1991 ia mendirikan Yayasan Membaca yang bergerak di bidang kebudayaan, terutama untuk menerbitkan majalah sastra Menyimak. Dia juga mendirikan Yayasan Pusaka Riau yang sama-sama bergerak di bidang kebudayaan, antara lain dengan membuka Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Dia menjadi Ketua Dewan Kesenian Riau setelah mengundurkan diri dari wartawan.
Sumber: Panji Masyarakat, 21 Oktober 1986