Ads
Cakrawala

Maulid Nabi, Tradisi Kenegaraan dan Kepribadian Umat

Avatar photo
Ditulis oleh Fuad Nasar

Salah satu sumber sejarah klasik yang terpercaya menyebutkan perayaan memperingati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw. sebagai sebuah tradisi baik di kalangan umat Islam pertama kali dicetuskan oleh Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi, sang pembebas kota suci Yerusalem abad XII Masehi. Tujuan diadakannya peringatan maulid adalah untuk mengobarkan semangat perjuangan umat Islam yang kendur di masa itu.


Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa asing, Maulid Nabi Muhammad sebagai hari besar keagamaan ditetapkan menjadi hari libur nasional. Maulid Nabi menjadi khazanah budaya masyarakat yang ditemukan di berbagai pelosok tanah air kita dan di negara-negara muslim lainnya.


Maulid Nabi tiap 12 Rabiul Awwal, bukan hanya diperingati di lingkungan komunitas masyarakat muslim dengan berbagai cara dan corak, tetapi pernah menjadi tradisi kenegaraan yang diperingati dan dihadiri oleh pejabat negara dalam suatu acara resmi di Istana Negara. Peringatan Maulid Nabi Muhammad dan hari besar Islam lainnya secara kenegaraan di Istana Negara Jakarta yang dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, pimpinan lembaga tinggi negara, para menteri dan korps diplomatik yang beragama Islam pertama kali diadakan di era Presiden Soekarno, di masa Menteri Agama K.H.A.Wahid Hasjim tahun 1950. Peringatan hari besar Islam yang berlangsung khidmat menjadi tradisi kenegaraan hingga beberapa dekade di masa Presiden ke-2 Soeharto, Presiden B.J. Habibie, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo sebelum pandemi Covid-19.


Persinggungan tradisi kenegaraan dengan perayaan hari besar keagamaan meneguhkan fungsi agama sebagai inspirasi dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang baik. Keselarasan pengamalan ajaran agama dan falsafah negara Pancasila semestinya menghasilkan praktik bernegara yang menjunjung tinggi moralitas-religius. Presiden Pertama Soekarno pada tahun 1964 di Istana Negara menegaskan, celaka negara yang tidak ber-Tuhan.


Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, merupakan agama ilmu dan amal. Islam adalah agama yang membawa peradaban dan memperkaya kebudayaan Nusantara. Islam membawa misi mengubah masyarakat menjadi lebih baik, lebih cerdas, berkepribadian, dan berikhtiar untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan keselamatan di akhirat.


Islam bukan kumpulan praktik ritual yang hampa makna atau kumpulan dogma yang tidak terhubung dengan realitas kehidupan. Islam adalah pedoman hidup yang sempurna dan dinamis bagi umatnya dalam menjalani kehidupan pribadi dan sosial. Nama “Islam” ditetapkan oleh Allah di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, surat Ali Imran [3] ayat 19. Kata Islam berarti: patuh, menyerah dan damai. Seorang muslim adalah orang yang patuh dan menyerah kepada Allah, dan damai kepada sesama manusia. Agama Islam mengandung pokok-pokok akidah, syariah, ibadah, muamalah dan akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.


Dienul Islam merangkum ajaran yang diwahyukan oleh Allah Swt. kepada para Nabi dan Rasul terdahulu hingga Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad Saw., untuk menjadi pegangan hidup umat manusia. Praktik beragama secara ekstrem atau berlebih-lebihan tidak dikehendaki dalam Islam yang mengajarkan prinsip washatiyah (seimbang, pertengahan, moderat).


Sebaliknya, sikap beragama yang liberal atau berpaham agnostik meski tetap menghormati simbol-simbol agama, juga tidak dapat diterima. Hal semacam itu bisa timbul akibat memahami ajaran agama hanya sepotong-sepotong. Islam tak dapat disalahkan berkaitan dengan perilaku umatnya yang keliru dalam memahami dan menjalankan agama. Pemahaman dan praktik beragama harus dibangun dengan rujukan yang jelas dan memiliki landasan yang kokoh.


Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad mendidik umat manusia agar berakhlak kepada Allah, dan ber-akhlak kepada sesama manusia dan lingkungan. Nabi Muhammad mengajarkan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi orang Islam lainnya. Senapas dengan itu Islam tidak membedakan martabat dan derajat manusia sekalipun dia tidak beragama.


Seorang muslim yang berkepribadian Islam diharapkan menjadi role model dalam hal sikap rendah hati, kedermawanan, kejujuran, sikap anti korupsi, keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, serta menjadi teladan dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Kalau bukan saudaramu dalam keimanan, dia adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”


Risalah Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad mengajarkan dimensi praktis kebajikan berpedoman pada firman Allah, “Bukanlah kebajikan jika kamu menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, tapi (kebajikan itu) adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi-Nya, memberikan harta yang dicintai kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, orang yang meminta karena membutuhkan, dan memerdekakan budak, mendirikan shalat, menunaikan zakat, yang menepati janji apabila berjanji, sabar di saat kesulitan dan di dalam peperangan. Itulah orang-orang yang benar dan itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2] : 177).


Muslim yang baik adalah yang sanggup menjauhi segala perbuatan yang terlarang, merugikan dan menzalimi orang lain. Dalam pandangan agama, zalim adalah merupakan dosa yang mendatangkan kemurkaan Allah dan kegelapan di hari kiamat. Perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia merupakan aspek integral dari nilai-nilai hidup beragama yang harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam.


Islam mengajarkan sikap peduli terhadap lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum [30] ayat 41 diungkapkan, telah tampak kerusakan dan malapetaka di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan sebagian dari akibat tindakan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar.


Dalam kehidupan sosial, setiap muslim diingatkan oleh Nabi bahwa bukanlah orang beriman bila dia dapat tidur nyenyak di rumahnya, sedangkan tetangganya tidak bisa tidur karena menahan lapar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Orang Islam yang baik adalah yang membuat orang lain selamat dari lidah (ucapan) dan tangan (perbuatannya). Siapa yang suka menolong orang lain niscaya akan mudah memperoleh pertolongan Allah.


Islam mengajarkan sikap menghargai dan menghormati orang lain di tengah segala perbedaan yang merupakan sunnatullah. Salah satu kaidah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam Islam bertumpu pada nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan untuk semua. ”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebenciaanmu terhadap suatu golongan, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” demikian pesan Al-Qur’an dalam surat Al-Maidah [5] ayat 8.


Sikap menghargai sesama perlu ditegakkan sebagai perekat kohesifitas sosial dan keharmonisan dalam masyarakat. Menghormati orang yang usianya lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menghormati ilmu, menghormati kepribadian, menghormati pikiran orang lain dan menghormati kemanusiaan harus ditegakkan sebagai nilai-nilai utama kehidupan beragama bagi umat Nabi Muhammad.


Keadilan hukum dan keadilan gender adalah aspek pengamalan ajaran agama yang penting diperhatikan oleh umat Islam. Islam mengharamkan bertindak sewenang-wenang terhadap manusia lain, apalagi kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan lemah secara politis. Perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan kaum mustad’afin, kelompok marjinal, minoritas dan difabel, merupakan ajaran prinsip dalam Islam.


Hak hidup manusia wajib dihargai dan dilindungi. Setiap orang haram diganggu jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Allah memuliakan siapa yang memuliakan sesamanya dan menimpakan kehinaan kepada siapa yang menghinakan sesama manusia.


Islam perlu dipahami dan diamalkan dengan baik sebagai agama yang memberi kemerdekaan berpikir dan tidak mengenal pengkultusan sesama manusia atau menganggap suatu bangsa lebih tinggi derajatnya daripada bangsa lain. Soekarno dalam Surat-Surat Islam Dari Ende menulis kepada A.Hassan di Bandung, ”Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat. Oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,” tulis Bung Karno.


Nabi menggambarkan kualitas hubungan seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagai satu bangunan, dimana satu bagian dengan bagian lainnya saling menopang dan memperkuat. ”Bukan termasuk umatku, siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin,” sabda Nabi.
Dalam situasi ekonomi rakyat kita yang rentan resesi, diperlukan sikap ta’awun, solidaritas dan gotong-royong sesuai spirit ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah yang diajarkan agama Islam. Salah seorang tokoh umat Islam Indonesia almarhum K.H. Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama) pernah menulis, “Perasaan solider adalah hak tiap-tiap sesama saudara dalam Islam yang wajib ditunaikan. Layakkah disebut umat, jika persatuan cuma slogan, jika solidaritas cuma ketidakacuhan?”


Sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar dan menghadapi persaingan di tingkat global kita harus peduli dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam rangka fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi. Penguasaan ilmu harus seimbang dengan akhlak/moral. Kemajuan yang seimbang antara dimensi materi dan nonmateri harus dikawal dengan baik agar tidak terjadi sindrom kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan dan kemunduran akhlak. Capaian kemajuan di dunia materi, ekonomi, ilmu, teknologi dan transformasi digital tidak bisa membahagiakan hidup manusia bahkan dapat menjadi ancaman bagi kemanusiaan tanpa kehadiran agama atau keyakinan kepada Tuhan sebagai sandaran rohani manusia.


Di dunia pendidikan, sumber-sumber informasi dan pengetahuan kini bisa diperankan oleh teknologi robot, Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Meski demikian, pendidikan dalam arti pembentukan watak, kepribadian dan karakter hanya bisa dilakukan oleh manusia kepada manusia dalam dunia nyata. Dengan kata lain, manusia seutuhnya (insan kamil) hanya bisa dididik oleh manusia, bukan oleh mesin. Teknologi bisa mentransfer ilmu, tapi tidak bisa menghasilkan manusia yang berkarakter, berintegritas, berakhlak dan bersusila. Oleh sebab itu kecerdasan digital harus didampingi dengan kecerdasan intelektual dan kesucian batin yang melahirkan akhlak-moralitas. Kemanusiaan masa depan, disadari atau tidak, tetap membutuhkan agama, guru dan teladan.


Nabi Muhammad adalah guru terbesar sepanjang masa karena Nabi yang mulia itu mengajarkan manusia tentang Tuhan dan alam semesta serta menjelaskan kedudukan dan tugas manusia di muka bumi. Dalam Islam, berdasarkan Hadis Nabi, ulama disebut sebagai “pewaris para nabi,” konteksnya mewarisi tugas kenabian sebagai guru yang membimbing umat dengan kebenaran Ilahi dan membina kepribadian umat dengan nilai-nilai agama. Mutu kepribadian umat menjadi hal yang sangat penting agar tidak sekadar umat yang dihitung, tetapi menjadi umat yang diperhitungkan.
Wallahu a’lam bisshawab.

Tentang Penulis

Avatar photo

Fuad Nasar

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Agama RI, pernah menjabat Sesditjen Bimas Islam.

Tinggalkan Komentar Anda