Ads
Aktualita

YLBHI Ungkap Sejumlah Data Kekerasan Konflik PSN dan SDA di Berbagai Daerah

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Proyek Strategis Nasional (PSN) sedang menjadi sorotan masyarakat. Munculnya kasus unjuk rasa rakyat yang menolak wilayah pemukimannya digusur dan di relokasi ke tempat lain. Yang terakhir dan sedang menjadi perhatian publik adalah kasus Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang demo ricuh pada 7 dan 11 September lalu, rakyat di semprot gas air mata.

Bukan hanya di Pulau Rempang, unjuk rasa juga terjadi awal Agustus lalu, penolakan warga Air Bangis, Pasaman Barat, yang wilayahnya juga mau dijadikan Proyek Strategis Nasional, mendapat perlawanan masyarakat.

Riuhnya penolakan warga terhadap proyek strategis nasional telah mendorong Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melacak kasus-kasus kekerasan dan tindak represif selama pemerintahan Jokowi.

Selama kurun 2017-2023, YLBHI mendata kekerasan terhadap petani dari penanganan kasus di 18 kantor LBH. Waktu tujuh tahun ditetapkan berdasarkan dimulainya PSN sejak 2016-2013.

Paparan data kriminalisasi mencakup wilayah konflik SDA, khususnya di wilayah PSN. Data terbagi dalam beberapa variabel antara lain jumlah konflik, luas wilayah konflik dan jumlah korban pelaku kekerasan dan kriminalisasi pola kekerasan, penyebab dan dampak struktural konflik.

Sebanyak 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI dan LBH di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang berkonflik sekitar 800.000 hektar dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban.

“Sektor perkebunan mendominasi dengan 42 kasus, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan dengan 37 kasus. Selanjutnya, diikuti dengan konflik PSN dengan 35 kasus,” ungkap YLBHI.

YLBHI memetakan berbagai subjek pelaku dalam konflik-konflik tersebut. Perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri dalam 50 konflik.

Dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda. Secara garis besar terdapat tiga pola.

Pertama, pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan dalam bentuk fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan. Pola ini tercatat sebanyak 48 kasus ( 40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik). Kedua, pola pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga, kriminalisasi dengan 43 kasus.

” Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap, misalkan diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi, kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi,” papar YLBHI.

Selanjutnya, kata YLBHI, warga yang dikriminalisasi dijadikan sebagai alat negoisasi hingga terjadinya perpecahan pro dan kontra di masyarakat.

YLBHI mencatat dari 43 kasus krimininalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya krimanilisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) dengan 29 kasus.

Kemudian diikuti UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No. 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus, dan UU Anti Marxisme-Lenisme dengan 1 kasus.

YLBH juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada dalam wilayah 18 LBH Kantor. Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi. Para korban dari petani berasal dari 5 provinsi dan kota, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar dan Menado.

“Kriminalsasi terbanyak terdapat di Jawa Tengah 10 kasus dan Padang 10 kasus,” tulis YLBHI.

Dilihat dari dasar hukum kriminalisasi, YLBHI mencatat hampir semuanya didasari oleh produk hukum KHUP.

YLBHI dan 18 LBH pun mendesak pemerintah dan DPR serta kementerian dan lembaga terkait untuk membatalkan semua PSN yang dinilai justeru merugiksn rakyat, memicu praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara melalui aparatnya kepada rakyat di berbagai wilayah.

YLBHI juga meminta pemerintah menghentiksn perampasan tanah rakyat atas nama hak Pengelolaan dan klaim tanah negara. Tuntutan lainnya yskni meminta pemerintah menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah konflik agraria dan PSN, serta nencabut UU Cipta Kerja beserta turunannya yang dinilai sebagai pemicu meningkatnya praktik perampasan tanah dan kekerasan negara terhadap rakyat.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda