Perbuatan zalim merupakan suatu akhlak yang tercela. Perbuatan zalim biasanya dipahami sebagai perilaku buruk yang dilakukan terhadap orang lain. Namun, sebenarnya perbuatan zalim bisa juga dilakukan terhadap diri sendiri.
Zalim terhadap diri sendiri (zalim linafsih) adalah tindakan atau perbuatan yang mengandung dosa dilakukan diri sendiri, terkadang manusia tidak menyadarinya.
Ilustrasi tentang perbuatan zalim terhadap diri sendiri bisa kita pahami seperti ditamsilkan dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 32-40. Dalam ayat ini perbuatan zalim terhadap diri sendiri ditamsilkan dalam kisah dialog seorang pemilik kebun yang kaya dengan sahabatnya.
Diceritakan, pemilik kebun adalah seorang yang kafir. Ia memiliki dua kebun anggur yang juga dikelilingi kebun kurma. Di antara dua kebun itu ada ladang. Di celah-celah kebun itu ada aliran sungai yang indah. Kebun-kebun itu tidak pernah berhenti berbuah, selalu menghasilkan. Sehingga jadilah pemilik kebun yang kufur itu menjadi kaya raya.
Karena kekayaan itulah pemilik kebun itu menjadi sombong dan angkuh. Ia berkata kepada kawannya yang beriman ketika bercakap-cakap, “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikutku lebih kuat.” (Al-Kahfi ayat 34).
Dengan kekayaan itu ia menjadi lupa dengan Allah. Bahkan, ketika berada dalam kebunnya itu kesombongannya makin terlihat. Gayanya, seolah kekayaannya itu akan abadi dan kekal. Dalam ayat 35 surat Al-Kahfi diungkapkan bahasa tubuh atau body language si kafir pemilik kebun.”Dan dia memasuki kebunnya dengan sikap merugikan dirinya sendiri (wa huwa zalimun linnafsih) karena angkuh dan kafir. Dia (pemilik kebun) itu berkata, ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-selamanya.’” Kemudian keangkuhannya itu diungkapkan pada ayat 36, “Dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini.”
Demikianlah gambaran Al-Qur’an tentang orang yang zalimun linafsih atau zalim kepada dirinya sendiri. Sebab dengan kekayaannya ia lupa siapa dirinya, dan pikirannya yang jernih menjadi hilang dan tertutup karena merasa diri besar dengan harta yang dimiliki.
Dan, karena itulah kawannya mencoba mengingatkan, “Kawannya yang beriman berkata kepadanya sambil bercakap-cakap dengannya, ‘Apakah engkau ingkar kepada Tuhan yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna.’” (Al-Kahfi 37).
Temannya melanjutkan nasihatnya, “Tetapi aku percaya bahwa Dia-lah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun. Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, masya Allah, la quwwata illa billah (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit dari padamu. Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberikan kepadaku kebun yang lebih baik dari kebunmu ini, dan mengirimkan petir dari langit ke kebunmu, sehingga kebun itu menjadi tanah yang licin. Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka engkau tidak akan dapat menemukannya lagi. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya tanda nenyesal terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya, lalu dia berkata,”Betapa sekiranya dahulu aku tidak menyekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.” (Al-Kahfi ayat 37-42).
Dari penjelasan Al-Qur’an di atas bisa disimpulkan bahwa zalim terhadap diri sendiri adalah adanya sikap sombong dan angkuh, sikap tidak meyakini adanya Allah, dan tidak percaya pada hari berbangkit. Sikap zalim terhadap diri sendiri juga menuhankan harta dan menganggapnya suatu kemuliaan, dan merendahkan orang miskin yang tidak memiliki kekayaan.
Melansir Jateng Kemenag.go.id disebutkan dalam Al-Qur’an terdapat 289 kali kata zalim. Ini menunjukkan masalah zalim tidak bisa dianggap soal sepele. Setiap muslim harus waspada untuk menjauhi dan mencegah perilaku zalim.
Selain zalim pada diri sendiri, ada dua lagi perilaku zalim lainnya. Yaitu zalim kepada Allah dan zalim kepada manusia. Zalim kepada Allah yaitu karena kufur, mendustakan Allah dan Rasulnya. Kezaliman karena syirik dan mengingkari Allah ini dosanya tidak bisa diampuni. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 168: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak pula akan menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.”
Kedua, zalim kepada sesama manusia. Perilaku ini juga dibenci Allah. Zalim corak ini sangat banyak macamnya, seperti memfitnah, menyiksa, mencuri harta yang bukan haknya, membunuh, berlaku kejam, berlaku tidak adil dan lainnya.
Zalim kepada manusia sangat berbahaya, karena jika pihak yang dizalimi atau korban tidak memaafkan, maka amal saleh si pelaku akan diambil oleh korbannya. Jika si pelaku tidak mempunyai amal shaleh, maka kejahatan si korban akan ditimpakan pada si pelaku perbuatan zalim .
Hadis tentang hal di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Rasulullah bersabda,” Barang siapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalan (maaf) darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak tidak lagi ada. Jika ia punya amal shaleh, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya”.
Ketiga, zalim kepada diri sendiri seperti yang telah disinggung di muka. Perbuatan ini terkadang dilakukan tanpa disadari atau disadari. Mengotori pemikiran dan jiwa dengan perbuatan dosa adalah juga kezaliman kepada diri sendiri.
Intinya adalah setiap perbuatan yang melanggar perintah Allah merupakan perbuatan zalim kepada diri sendiri. Misalnya, dalam ibadah wajib seperti shalat, puasa dan mengeluarkan zakat bagi yang mampu, apabila tidak dilaksanakan merupakan perbuatan zalim kepada diri sendiri. Demikian juga melakukan perbuatan yang dilarang Allah, apabila tetap dikerjakan maka itu adalah perbuatan zalim pada diri sendiri, antara lain, minuman keras, berzina, berjudi, makan daging babi atau bangkai. Semua larangan itu adalah misteri Tuhan, namun kita bisa merasakan bahwa larangan itu adalah buruk bagi kehidupan manusia jika dilanggar atau tidak dipatuhi.
Zalim kepada diri sendiri bisa dilakukan dengan bertobat kepada Allah. Bukan hanya manusia biasa, nabi pun bertaubat dengan mengakui telah melakukan kezaliman pada diri sendiri.
Nabi Adam dan istrinya Hawa ketika melanggar perintah Allah dan terusir dari surga mengakui kesalahannya dan minta ampun dengan berdoa, karena berbuat zalim kepada diri sendiri, seperti tertera dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 23, ” Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”
Nabi Yunus juga bertobat kepada Allah ketika ditelan ikan paus dan tinggal dalam perut ikan selama 40 hari dalam kegelapan. Ia menyeru dan mengakui kesalahannya karena berbuat zalim pada diri sendiri. Ia berseru kepada Allah: “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya ayat 87).
Dalam dunia modern tampaknya kezaliman kepada Allah, kepada sesama manusia dan kepada diri sendiri bisa secara kasat mata dilihat. Baik yang dilakukan secara perorangan, kelompok maupun terorganisir. Sebagai contoh perbuatan korupsi, penggusuran tanah rakyat dan lainnya, yang bila dilakukan tidak secara adil dan bijak, secara perspektif keagamaan adalah perbuatan zalim yang mengandung dosa dan harus bertobat untuk menjadi manusia yang baik. Allahu a’lam.