Paragon, pada akhirnya, terlebih untuk zaman kita ini, akan berarti sebagai sosok karakter. Ia lalu berarti sebagai teladan yang paripurna. Jika sosok karakter begini muncul pada diri seorang tokoh, maka tokoh itu langsung memiliki sebuah karisma
Musa, yang selalu merasa dirinya secara sadar sebagai nabi, dan karena itu pula menganggap memiliki sifat-sifat teladan paripurna, ternyata masih perlu dididik lagi oleh Tuhan. Ia diperintahkan agar menemui seorang intelektual, yang kecerdasannya jauh melebihi Nabi Musa. Ternyata intelektual ini pun seorang nabi, yang bernama Khidir, yang kearifannya tidak bertara. Beberapa kali Musa harus kecele ketika menghadapi paradigma yang dikemukakan Khidir dalam mengambil keputusan sebagai suatu sikap.
Musa secara beruntun harus berkali-kali terheran-heran karena setiap Khidir mengambil suatu keputusan, Musa menganggap keputusan itu tidak masuk akal dan karenanya dianggap tidak intelektual. Musa yang gemar mempertanyakan langsung pada Tuhan mengapa begini dan begitu, kali ini di balik rasa penasaran dan kekaguman yang tersembunyi, hanya mempertanyakannya kepada Khidir. Pada mulanya Khidir masih memberikan jawaban demi jawaban atas tiap kasus yang dia putuskan itu kepada Musa. Tapi pada akhirnya, Khidir harus tegas memberi peringatan pada Musa agar dia diam.
Peringatan Khidir itu adalah sebuah sikap intelektual yang tertinggi. Sikap diam, dengan demikian, adalah bagian dari bobot dari paradigma intelektual, yang ternyata belum dimiliki Musa saat itu, kendati ia telah diangkat Tuhan sebagai nabi. Tuhan bermaksud ingin menambah kecerdasan Musa, yang konon paling gemar bertanya dan belum puas kalau tidak diberi jawaban dengan segera. Musa dalam suatu riwayat pernah diperintahkan Tuhan menemui seorang manusia biasa itu hanyalah seorang tukang daging. Musa bertanya pada Tuhan: Mengapa aku, seorang nabi, harus dipertemukan dengan seorang tukang daging ini? “Dia calon temanmu di surga,” jawab Tuhan. Musa melongo.
Bukan itulah soalnya! Sebagaimana bukan itulah soalnya pula Tuhan memerintahkan Musa menemui Khidir. Soalnya adalah: Tuhan ingin memperkenalkan derajat-derajat intelektual kepada Musa, sebuah postulat budaya, bahwa kaum intelektual itu adalah bersosok karakter sebagai paragon. Status intelektual yang terbaik adalah status “mpu”, yang menjadi teladan paripurna kepada yang lain, khususnya kepada calon-calon intelektual. Intelektual adalah bentuk konkret ciptaan Tuhan dari manusia-manusia cerdas yang pantas menyandang sifat-sifat mulia. Dan karena itu, jika dipelajari sejarah hidup nabi-nabi yang terkenal, mereka ini adalah percontohan kaum intelektual sebagai paragon-paragon, teladan-teladan paripurna. Mereka menyandang kecerdasan lebih karena memiliki bobot watak yang mendukung kecerdasannya.
Socrates adalah contoh intelektual sebagai paragon, yang pada akhirnya bersikap pasti. Bahwa dia lebih baik menerima hukuman mati diracun ketimbang harus menukar pendiriannya. Muhammad menolak kedudukan dan kekayaan duniawi yang ditawarkan kaum Quraisy jahiliah dengan penolakan mentah-mentah, ucapan beliau yang terkenal, “Sekalipun engkau berikan padaku bulan di tangan kiri matahari di tangan kanan.” Penolakan demikian adalah penolakan seorang intelektual sebagai paragon, dan justru lawannya akan lebih menghargainya, bukan sekadar menghormati.
Kecenderungan sikap intelektual zaman kita justru sebaliknya. Kaum intelektual lalu gila hormat, tetapi mau memberikan kehormatannya sendiri, dengan mengesampingkan harga diri.
Seorang intelektual harus bicara pada saat dia harus bicara, dan dia pun harus diam tatkala dia harus diam. Kaum intelektual harus mengenal makna momentum.
Zaman kita, yang terkesima oleh rasa kagum cara berpikir pragmatis. Pragmatisme yang merupakan hasil olahan kaum materialis, telah mengebiri standar intelektualisme yang dipertahankan berabad-abad. Mereka ini adalah korban dari sistim “Pendidikan praktis a la Barat” dan hampir tidak sadar bahwa mereka justru kehilangan kadar intelektual. Mereka menjadi robot-robot beberapa gelintir penguasa-penguasa duniawi yang zalim. Lalu mereka, yang mengaku kaum intelektual itu, bukannya merekam sikapnya dalam pita rekaman. Mereka ini mungkin tidak lebih berharga dari sehelai kertas tissue. Mereka menyangka dirinya sebagai “paragon” padahal mereka adalah paragon of ugly, contoh keburukan tampang, sebagai lawan dari paragon of beauty, contoh kecantikan.

Penulis: Motinggo Busye (1937-1999 ), sastrawan, sutradara dan pelukis,
Sumber: Panji Masyarakat, 21 November 1982