Ads
Tafsir

Tentang Nabi dan Rasul (1): Muhammad Sang Pengemban Tugas Risalah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Sungguh Kami telah mengutus engkau dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, sedang engkau tidak ditanya tentang para penghuni neraka (Q. 2:119).

Ini ayat pertama tentang diri Muhammad s.a.w. yang bisa kita jumpai dalam susunan mushaf Qur’an. Ayat ini bicara tentang misi beliau sebagai rasul. Dan bagi Abul Qasim Az-Zamakhsyari (467-538 H), misi itu menunjuk pada pengutusan beliau “untuk memberi kabar gembira dan memperingatkan, dan bukan untuk memaksakan iman” (Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, I:308).


Kata kebenaran (al-haqq), dalam terjemahan ayat, bisa kita ganti dengan sebenarnya. Dan sebenarnya itu bisa berhubungan dengan kata ‘mengutus’ (menjadi “Karni telah mengutus engkau dengan sebenarnya”), bisa juga dengan ‘pembawa .berita gembira dan peringatan’ (“Dengan sebenarnya engkau pembawa berita gembira dan peringatan”). Demikian Al-Fakhrur Razi (544-604 H).


Adapun jika al-haqq diartikan sebagai kebenaran, seperti dalam terjemahan di atas, maka maknanya adalah agama dan Al-Qur’an (Razi, At-Tafsirul Kabir, IV:33). Abu Haiyan Al-Andalusi (654-754 H) menambahinya dengan: tanda-tanda yang jelas, dan kejujuran dalam penyam-paian, di samping Islam dan Al-Qur’an tadi (Abu Haiyan, AI-Bahrul Muhith, I:367). Sedangkan Muhammad Abduh, ulama awal abad ini, mengartikannya sebagai “akidah-akidah yang benar yang sesuai dengan keadaan aktual, – dan aturan-aturan yang sahih yang bisa menyampaikan orang ke kebahagiaan dunia dan akhirat” (Rasyid Ridha, Al-Manar, I:442).


Ayat ini suatu penghiburan kepada Nabi s.a.w.— datang dari Allah, untuk melepaskan beliau dari mendung pikiran dan kesesakan dada akibat sikap orang yang keterus-terusan dalam kekufuran dengan gaya menuli. Padahal, “Allah tidak akan menanyaimu tentang para penghuni neraka: mengapa mereka tidak juga beriman …” Ini mengandung arti yang sama dengan ayat “Sesungguhnya kewajibanmu hanyalah penyampaian, sementara tanggungan Kami adalah penghitungan” (Q. 13:40). (Zamakhsyari, loc. cit.). Atau, seperti ditambahkan Abu Haiyan, “Engkau tidak bisa memberi petunjuk orang yang engkau cintai, tetapi Allah menunjuki siapa yang Ia kehendaki” (Q. 28:56). Di situ terdapat dalil bahwa seseorang tidak akan ditanya mengenai dosa orang lain. “Dan tidak seorang pemikul beban memikul beban orang lain” (Q. 6:164, 17:15, 35:18, 39:7, 53:38). (Abu Haiyan, 637-368).


Nasib Orangtua Nabi
Itu jika ungkapan dalam teks asli dibaca sebagai Iaa tus-alu (“engkau tidak ditanya”). Dan memang begitulah qiraat jumhur (mayoritas) ulama Quran. Tapi Imam-imam Nafi’ dan Ya’qub membacanya laa tas-al. Artinya: “jangan bertanya” (Baidhawi, Al-Anwarut Tanzil, I:185; Rasyid Ridha, op. cit., I:443). Dan bila demikian, yang dimaksudkan adalah “jangan bertanya tentang pembalasan apa yang bakal mereka terima, karena itu besar sekali”. Jenis larangan seperti ini dipakai untuk membuat takut—tidak sebagai larangan sebenarnya — satu pemakaian yang dikenal semua orang hingga sekarang.


Toh sebagian mufasir mengira, larangan dalam ayat itu (dengan pembacaan laa tas-al) larangan sebenarnya. Dan itu khusus untuk Nabi s.a.w.—untuk tidak bertanya mengenai nasib kedua orangtua beliau. Para mufasir itu meriwayatkan bahwa Rasulullah meminta kepada Jibril untuk ditunjuki makam Ayah-Ibu, dan itu dituruti. Lalu beliau ziarah ke sana, mendoakan mereka, kemudian berangan-angan kalau-kalau beliau bisa mengetahui keadaan mereka di akhirat. Kata beliau, “Duh, kalau saja aku tahu apa yang diperbuat kedua orangtuaku.” Maka turunlah ayat itu. (Rasyid Ridha, ibid.).


Yang jadi masalah ialah ini: orangtua Nabi s.a.w. wafat sebelum masa kenabian beliau. Avah, Abdullah ibn Abdil Muththalib, berpulang ketika beliau dalam kandungan, sedangkan Ibu, Aminah bint Wahb, pada usia kanak-kanak beliau, sekitar enam tahun, ketika membawa sang putra berziarah ke makam ayahandanya di Abwaa, dan dimakamkan di sana. Dengan kata lain, ayah dan ibu Nabi belum pernah mengucapkan kalimah syahadat. Karena itulah beliau berangan-angan seperti itu—dan kemudian “beliau dilarang menanyakan ihwal orang-orang kafir atau mementingkan nasib musuh-, musuh Allah.” (Zamakhsyari, loc. cit).


“Tetapi riwayat itu jauh nian,” komentar Razi. Sebab, “Rasulullah s.a.w. mengetahui kekafiran mereka itu,” katanya—di samping beliau juga tahu bahwa orang kafir mendapat siksa. “Jadi bagaimana mungkin beliau berkata seperti yang diriwayatkan itu?” (Razi, loc. cit.).


Alangkah sedih. Tapi, syukurlah, sanggahan Razi di atas juga tidak benar. Penulis catatan kaki pada tafsirnya menyatakan, kata-kata Razi bahwa Rasulullah s.a.w. mengetahui kekafiran mereka (ayah-ibu beliau) itu kalimat yang “membikin merinding kulit orang-orang mukmin”, sebuah “kesalahan yang jelas”. Patut diingat bahwa terdapat jumlah besar tulisan para ulama generasi yang dahulu maupun yang kemudian, yang menuturkan selamatnya ayah-bunda Nabi s.a.w. di alam akhirat. Lalu, penulis itu menyebut penafsiran yang benar, yaitu yang dilakukan imam Abu Haiyan, yang menghubungkan “nasib ukhrawi” dalam ayat itu dengan Yahudi dan Nasrani. (Razi, ibid., 33n).


Konteks yang Benar
Abu Haiyan memang juga memuat riwayat mengenai pertanyaan Nabi itu, dan menyebut sumbernya dari Muhammad ibn Ka’b Al.Qurazhi r.a. (juga Ibn Abbas; lihat Qurthubi, II:92). Tapi itu mustahil, kata Abu Haiyan. Karena Nabi s.a.w. mengetahui ihwal mereka berdua (bukan kekafiran mereka; pen.) yang sampai kepada beliau. -Lagi pula, seperti dinukif mufasir Mesir asal Granada ini, ‘Iadh meriwayatkan bahwa ayah-bunda Nabi itu dihidupkan (Allah), kemudian thasuk Islam. Dan sebuah berita yang sahih menyatakan bahwa Allah mengizinkan Nabi s.a:w. menziarahi makam orangtua beliau.
“Tapi itu pun jauh,” kata Abu Haiyan sendiri. Karena, konteks ayat itu menunjukkan bahwa ungkapan “Engkau tidak ditanya (atau: jangan bertanya) tentang penghuni neraka” itu pulangnya kepada Yahudi, Nasrani, dan para musyrik Arab, yang sudah mendustakan kenabian beliau dan bersikap kafir sambil melawan dan berlarut-larut dalam kekafiran n-tereka. Harus diingat pula, sambungan ayat itu adalah, “Tidak akan rida kepadamu kaum Yahudi dan kaum Nasrani sampai engkau mengikuti agama mereka” (Q. 2:120). (Abu Haiyan, 368).


Pendahulu Abu Haiyan, Abu Abdillah Al-Qurthubi (“Orang Cordoba”, wafat 671 H) mengemukakan semacam perubahan pada “nasib” orangtua Nabi s.a.w. ketika ia menukilkan kata-kata beliau kepada seseorang: “Ayahku. dan ayahmu dalam neraka”—dan kemudian bahwa Allah menghidupkan ayah-ibu Nabi, yang lalu beriman kepada beliau (Qurthubi, II:93).


Tetapi, sebenarnya, hadis “Duh, kalau saja aku tahu apa yang diperbuat orangtuaku” itu tidak bisa dijadikan pijakan—dikatakan oleh Al-Hafizh Al-Iraqi. Bahkan peneliti seperti As-Suyuthi menyatakan, sebenarnya dalam masalah “nasib ukhrawi” orangtua Nabi itu tidak ada riwayat apa pun kecuali yang mu’dhal, dengan mata rantai pada rangkaian (isnad) yang daif. Begitulah adanya. “Tapi kata-kata (anggapan) itu sudah meluas,” kata Muhammad Abduh. “Sehingga, kalau bukan karena itu, tak ingin sebenarnya kami menyebutnya.”


Bahwa kemudian Abduh juga membicarakannya, itu tak lain sebagai pengingatan, bahwa “yang batil itu menjadi tersebar di kalangan muslimin akibat kelemahan ilmu, sementara yang benar ditinggalkan dan dilupakan”. Padahal, tak ayal, katanya, derajat kedudukan Nabi alaihish shalaatu was-salam dalam pengetahuan mengenai rahasia-rahasia agama, dan hukum Allah mengenai mereka yang terdahulu dan yang terkemudian, sudah menghalangi munculnya pertanyaan seperti yang diriwayatkan itu—sebagaimana susunan kalimat Al-Qur’an sendiri menolak hal itu sebagai yang dimaksudkan ayat. (Rasyid Ridha, loc. cit.).


Kafir Statistik
Padahal, sebenarnya terbersit suatu ketidakadilan dari riwayat tentang nasib ukhrawi orangtua Nabi di atas. Apa salah kedua beliau itu, Sehingga “disiksa di dalam kubur”? Hanya karena mereka dihidupkan, oleh Allah sendiri; sebelum datang masa kenabian Muhammd s.a.w., yang adalah putra mereka? Dan, di neraka pulakah tempatnya gelombang besar manusia yang lahir di zaman antara dua nabi? Orang bisa mengingat memang, di sini, tidak hanya teologi Jabariah, tapi juga Asy’ariah, yang (cenderung) tidak mengakui faktor ‘tujuan’, termasuk ke dalamnya pengertian keadilan, dalam tindakan Allah.


Tetapi bukankah faktor keadilan—yang berarti keadilan Allah—yang berada dalarn bawah sadar fatwa Syekh Mahmud Syaltut mengenai “nasib ukhrawi” para nonmuslim? Bisa ‘dijadikan bandingan, untuk generasi-generasi yang berada di luar masa kerasulan seorang nabi (khususnya Nabi s.a.w.), adalah bangsa-bangsa yang malahan hidup dalam masa berlakunya syariat kenabian Muhammad tetapi tidak memeluk Islam. Mereka itu, “yang tidak pernah dicapai oleh akidah Islam, atau dicapai tetapi dalam gambaran yang membuat orang lari, atau mereka tak paham hujah-hujahnya, bersama dengan kesungguhan mereka di dalam mencarinya,” menurut Syaltut, “selamat dari hukuman ukhrawi yang disediakan untuk para kafir, dan tidak dilekatkan pada mereka istilah kafir'." Yang menjadi dasar kesimpulan mantan syekh Al-Azhar di Mesir itu, almarhum, adalah kenyataan bahwa ayat-ayat Qur’an yang begitu "sadistis" terhadap para kafir sebenarnya bicara tentang para musyrik Mekah dan Arab serta sebagian kaum kitabi, khususnya Yahudi Madinah, yang menghendaki tumpasnya Islam sejak mula—sementara, diasumsikan, mereka tahu kebenaran Islam tetapi menolak. "Mereka mendustakannya, sementara diri mereka meyakininya, lantaran zalim dan angkuh" (Q. 27:14). Kuncinya pada "mendustakan" itu—yang menyebabkan mereka menjadi kafir indallah (dalam pandangan Allah). Jadi, bukan sembarang nonmuslim, yang hanya pantas disebut kafir syar'i, alias "kafir statistik". (Syaltut, Al-Islam,Aqidah wa Syari’ah, 21-22).


Toh maksud ayat yang kita bicarakan ini sebenarnya bukan itu—seperti dinyatakan Abu Haiyan maupun Abduh. Ini tak lain ayat yang menegaskan kedudukan Muhammad s.a.w. sebagai nabi, dan menjadi kewajiban beliau, dengan demikian, untuk mengemban tugas risalah itu tanpa merasa gundah oleh kekafiran yang terlalu dari sebagian orang. Sebab beliau tidak bertanggung jawab atas para calon penghuni neraka. Ini bukan ayat penghiburan, tapi sebuah ayat perjuangan. ***

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah-majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juli 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda