Ads
Aktualita

Kasus Rempang, Antara Kepentingan Investor dan Warga Lokal

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Investor datang masyarakat meradang. Bukannya merasa gembira daerahnya dibangun, ketakutan digusur dan dipindah ke tempat lain (relokasi) itulah penyebab munculnya aksi unjuk rasa dan penolakan terhadap investasi belakangan ini.


Warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, misalnya, selama September 2023 ini sudah dua kali mengadakan aksi unjuk rasa menghadang petugas, yang berujung ricuh dan menimbulkan korban, baik aparat maupun warga.


Petugas terpaksa menyemprotkan gas air mata dan water canon untuk membubarkan unjuk rasa. Dan, bukan hanya pendemo yang terkena semprotan gas air mata, juga sekolah sehingga guru dan murid tergopoh-gopoh berlarian menyelamatkan diri.


Pada Kamis (7/9/2023) aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP terlibat bentrok dengan warga Rempang, Batam. Bentrok itu terjadi saat dilakukan proses pengukuran dan pematokan untuk pengembangan kawasan tersebut oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Warga masih belum setuju dengan pengembangan kawasan ini yang merupakan kampung adat masyarakat Melayu. Dalam unjuk rasa ini sebanyak delapan orang warga ditahan.


Unjuk rasa kedua terjadi pada Senin, 11 September 2023, dilakukan ribuan warga Rempang dan Galang di depan Kantor BP Batam. Demo yang sempat ricuh ini juga melempari kantor BP Batam sehingga sempat terjadi kebakaran samping kantor.

Demo juga diikuti oleh Laskar Pembela Marwah Melayu Batam, dan diikuti laskar dari daerah lain seperti Jambi, Lingga, Siak, Karimun, Kalimantan Barat dan Makassar memberikan dukungan moril pada warga Rempang.


Dalam unjuk rasa ini ada 43 orang yang diamankan aparat. Polresta Barelang menahan 28 orang, dan Polda Kepri mengamankan 15 orang. Mereka diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap petugas, pengrusakan pagar dan kaca gedung Kantor BP Batam. Dalam kericuhan unjuk rasa ini sebanyak 22 orang personil petugas mengalami luka-luka.


Tuntutan yang disampaikan pengunjuk rasa menolak relokasi 16 kampung tua, mendesak kepala BP Batam untuk dicopot, warga yang ditangkap supaya dibebaskan, dan membatalkan proyek investasi di Rempang.

Pemerintah memang berencana untuk merelokasi 16 titik kampung tua di Pulau Rempang dan Galang untuk pembangunan kawasan Rempang Eco City.


Sekitar Agustus 2023 lalu Pulau Rempang telah ditetapkan menjadi Proyek Strategis Nasiional (PSN). Di kawasan ini akan dibangun industri, wisata, perdagangan dan perumahan. Kawasan yang dikembangkan seluas 7.572 hektar dari luas keseluruhan Pulau Rempang 16.500 hektar. Kawasan ini diharapkan bisa bersaing dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Untuk itu PB Batam menggandeng PT Makmur Elok Graha (MEG) membangun Rempang Eco City. Perusahaan ini adalah anak perusahaan PT Arta Graha milik pengusaha taipan Tommy Winata.
Selain itu di Rempang juga akan dibangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia. Perusahaan yang akan membangun adalah PT Xinyi Group milik negara Cina. Investasi diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau setara Rp174 triliun.
Memorandum of Agreement atau nota kesepakatan terkait investasi ini telah ditandatangani di Chengdu, Cina, pada Juli lalu antara PT Makmur Elok Graha dengan Xinyi International Investment Limited.
Menurut BP Batam, investasi pengembangan Pulau Rempang diperkirakan mencapai Rp 381 triliun dan bakal menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080.
Warga yang menolak relokasi pasca pengosongan kawasan ini dengan alasan mereka telah menempati kawasan ini sejak 1834. Warga tidak ingin kampungnya dihilangkan, meskipun diberi tempat baru untuk tinggal. Mereka sebenarnya tidak menolak masuknya investasi, asal tidak direlokasi atau dipindahkan ke tempat lain.
Pemerintah telah menetapkan tenggat waktu terakhir desa Rempang ini bersih dari penduduk, sampai 28 September 2023.

Menurut Kepala BP Batam Muhammad Rudi, bagi yang terdampak relokasi pemerintah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi. Juga, diberikan keringanan berupa bebas biaya uang wajib tahunan (UWT) selama 30 tahun, gratis pajak bumi dan bangunan (PBB) selama 5 tahun, BPHTB dan SHGB.


Kawasan relokasi itu berada di wilayah Dapur Tiga, Sijantung, dengan luas 450 hektar. Di situ akan dibangun fasilitas pendidikan, rumah ibadah, lapangan bola, dermaga dan infra struktur jalan. Termasuk listrik dari PLN hidup 24 jam.


Pembangunan hunian ini tahap pertama direncanakan selesai pada Agustus 2024. Karena itu, BP Batam menawarkan bantuan sewa rumah, uang tunggu, atau rusun untuk warga yang direlokasi. Besarannya, setiap orang dalam satu keluarga diberikan biaya hidup sebesar Rp1,2 juta, ditambah biaya sewa rumah sebesar Rp1,2 juta.


Diperkirakan warga yang bakal dipindahkan berjumlah antara 7000 sampai 10.000 jiwa. Mereka berasal dari Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. “Saya berharap nasib masyarakat bisa berubah menjadi lebih baik,” ujar Rudi.


Sementara itu Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, yang terjadi di Pulau Rempang bukanlah penggusuran, tetapi pengosongan lahan karena secara hak tanah itu akan digunakan oleh pemegang haknya. Dia menjelaskan kronologi status tanah Pulau Rempang tersebut. Menurutnya, pada tahun 2001-2002 negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahasn berupa hak guna usaha. Surat Keterangan hak guna usaha dikeluarkan secara sah. Hanya, sebelum investor masuk, tanah di Pulau Rempang itu belum digarap dan tidak pernah dikunjungi.


“Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak guna itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak, karena investor akan masuk,” ungkap Mahfud, seperti dikutip Tempo.co


Namun, pernyataan Mahfud tersebut dibantah oleh warga Pulau Rempang. Mereka menyatakan sudah menempati pulau tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya. Orang tua, kakek dan nenek mereka sudah lama menempati pulau tersebut, bahkan meninggal dan dimakamkan di pulau ini. Warga juga menyatakan setiap pemilu mereka aktif mencoblos dan memberikan suara sebagai bukti penghuni pulau tersebut.


Tampaknya, diperlukan dialog dengan warga Pulau Rempang dalam mencari solusi yang memuaskan untuk kedua belah pihak. Pemerintah diharapkan menghindari cara represif atau kekerasan. Sebab, tentu akan jatuh korban dari kedua belah pihak bila masing-masing memaksakan kehendaknya.
Sementara itu bagi Muhammadiyah proyek Rempang Eco City di Batam itu lebih baik dicabut sebagai proyek strategis nasional karena dianggap sangat bermasalah.


Menurut Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, payung hukum Rempang Eco-City baru disahkan pada 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN. Namun, proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak.
“Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Psrekonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN,” demikian pernyataan PP Muhammadiyah.


Majelis Hukum dan HAM PP Muuhammadiyah mengecam pemerintah yang menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau, demi kepentingan industri swasta. Apalagi, tambah pernyataan Muhammadiyah, dalam proses penggusuran itu dikerahkan kepolisian dan TNI menggunakan kekuatan secara berkebihan. Sikap represif dari aparat untuk memaksa warga pindah sangat brutal dan memalukan.


Muhammadiyah merasa heran pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan. “Melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar,”ujar pernyataan Muhammadiyah.


Majelis Hukum dan Hikmah Muhammadiyah juga menilai pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap sangat keliru. Faktanya masyarakat di sana sudah ada sejak tahun 1834.


“Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama tinggal dan hidup di pulau tersebut,” katanya.


Bagaimanakah suasana Pulau Rempang ke depan, jelang tenggat waktu yang diberikan buat warga tersisa dua minggu lagi?


Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan akan menambah personil polisi sebanyak 4 SSK (Satuan Setingkat Kompi) atau 400 personil untuk mengantipasi keadaan. “Tentunya kekuatan personil saat ini terus kita tambah kurang lebih 4 SSK, dan terus kita tambah disesuaikan dengan eskalasi ancaman yang terjadi,” ungkapnya, Kamis (14/9/2023) di Jakarta.


Apakah ini menunjukkan Pulau Rempang akan makin tegang ke depan? Dan makin penting dan istimewanya investasi ini dilindungi dibandingkan tuntutan warga?

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda