Ads
Cakrawala

APAKAH ANDA TELAH MENANGKAP ISYARAT PERTANDA ZAMAN

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Bagi orang-orang tua yang usianya lewat setengah abad, barangkali hati nuraninya lebih peka untuk mendengarkan syair spiritual Negro “Si-Tua Hitam Joe” (Old Black Joe). Lagu itu melukiskan senandung seorang budak tua yang telah letih bekerja: Telah lewat hari-hari mudaku yang ceria. Telah pergi dari ladang kapas ini, teman-teman sebayaku. Bertolak dari bumi, menuju ke suatu negeri yang indah, dan aku tahu. Kudengar suara mereka menghimbau, datanglah kemari Si-Tua Hitam Joe! (Lalu kujawab:) Aku kan datang! Aku kan datang! Tapi betapa hatiku di sini, diikat erat!….. Suara dari alam gaib itu menghimbau terus.


Tentu tidak demikian dengan hati nurani anak muda. Mereka lebih tanggap terhadap suara genderang. Apalagi angkatan muda kita yang saat ini berusia antara 20 sampai 35 tahun. Mereka adalah generasi pertama yang lahir dan dibesarkan di alam kemerdekaan. Mereka itu tentu memiliki ciri-ciri yang khas di dalam jiwa dan semangatnya untuk merintis masa depan bagi kehidupannya, dan inilah yang membedakan mereka dari angkatan sebelumnya.


Masa-panen-raya
Sejak tahun 1950, setelah perang kemerdekaan selesai, kesempatan belajar terbuka amat luas. Gerakan naik-jenjang atau mobilitas vertikal dari hasil pendidikan mutakhir, tidak lagi menjadi monopoli anak-anak dari golongan elite warisan kolonial, melainkan lebih menyebar dapat di capai oleh anak-anak yang lahir dari golongan masyarakat mayoritas, bahkan sampai ke daerah pedesaan. Usaha membendung kemajuan ini, kalau toh ada misalnya -, tentu akan sia-sia belaka, seperti mencegah air bah sesudah tanggul runtuh.


Antara tahun 1970-1980 adalah saat ‘masa-panen-raya’ pertama, dengan munculnya cendekiawan dan sarjana Indonesia yang lahir sesudah proklamasi kemerdekaan. Bagian terbesar dari mereka itu, tumbuh dari latar belakang keluarga muslim. Mereka diasuh, dan memperoleh pendidikan agama Islam di dalam lingkungan masing-masing, lingkungan tempat peribadatan, bahkan banyak di antara mereka itu pernah mengalami pendidikan dasar di madrasah dan pesantren.


Arus pertumbuhan dan perkembangan itu berlangsung terus, sekalipun luput dari pengamatan kebanyakan orang. Demikian besar arus mereka itu dalam jumlah dan aneka ragam jenisnya, sehingga dapat diperkirakan sejak sekarang, sesungguhnya mereka itulah yang bakal memegang peranan penting dalam estafet perjalanan sejarah menuju masa depan di Indonesia. Sebab, di dalam kalbu mereka telah tertanam besar keyakinan keagamaan sejak masa kanak-kanak, kemudian intelektualitas mereka di dalam otak, dan kesempatan itu berada di depan mereka!


Sementara itu, negeri-negeri yang memperoleh kemerdekaan kembali sesudah Perang Dunia II, banyak di antaranya negeri-negeri yang penduduk mayoritasnya serupa dengan Indonesia. Dengan Mutasis-Mutandis tentang ciri-cirinya yang bersifat lokal, maka sesungguhnya secara garis besar adalah sama belaka, angkatan mudanya yang berusia 20-35 tahun, adalah generasi pertama sesudah memasuki alam kemerdekaan. Memang tampak berat memikul beban sejarah masa lampau zaman kolonial. Tapi sekarang terdapat gairah dan harapan besar menatap masa depan yang lebih baik. Sedangkan orang tua dan nenek moyang mereka berabad-abad tertindas, masih mampu survive bahkan telah melahirkan banyak perjuangan atau mujtahid. Mengapa angkatan sekarang yang sudah merdeka tidak mampu berprestasi lebih cemerlang lagi? Namun, ada kenyataan pula sejumput anak muda yang dimanjakan lalu menjadi mabuk kepayang, dan inilah yang banyak diberitakan. Tapi di balik kemewahan yang membius di permukaan, maka di dalam arus dasarnya bertebaran angkatan muda yang tekun dan tabah, mampu merekam isyarat-isyarat ‘pertanda zaman’.


Abad modern yang sekarang ini sedang dilanda oleh kebudayaan sekuler dan sensoris, diperlengkapi dengan ilmu dan teknologi yang amat mengagumkan, belum pernah ada tandingannya dalam sejarah manusia. Kebudayaan jenis ini telah memperkaya kehidupan dengan serba-benda, sehingga memungkinkan timbulnya gaya bermewah-mewah, berdampingan dengan berita hidup yang serba miskin dan timbulnya kebudayaan miskin. Masing-masing sisi pada gaya hidup itu penuh dengan ketimpangan, menyebarkan keresahan di kalangan orang kaya dan lapisan besar orang miskin. Inilah pertanda bakal munculnya usaha dan pemikiran untuk mencari susunan keseimbangan baru yang lebih adil dan sejahtera, di samping bayang-bayang susunan masyarakat pasca-industri modern (post industrial society) setelah meragukan kesimpulan teknologi yang bertopang pada sumber energi minyak bumi yang bakal habis. Sumber energi penggantinya, yaitu tenaga termo-nuklir, ternyata mendapat tantangan dari banyak penduduk di Eropa dan Amerika, karena mulai cemas terhadap kemungkinan meletusnya perang besar Almagedon, justru di pusat-pusat negeri industri maju. Jikalau sampai tidak terkendali lagi maka berlakulah “malapetaka terjadi di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia”. Dari siapakah datangnya isyarat pertanda zaman ini?

Menjadi penakut
Suatu hal yang menarik perhatian, ialah kerangka budaya yang menggunakan dimensi waktu menurut tahun Masehi. Abad XX diakhiri dengan pesimisme yang mencekam. Mula-mula orang menganggap remeh ketika George Orwell menulis buku yang memuat ramalannya, apa yang bakal terjadi pada tahun 1984. Kemudian Alvin Toffler dengan gaya jurnalistiknya yang memikat, menulis buku tentang ‘Kejutan Masa Depan’ (Future Schock) dan menjadi bacaan umum di seluruh dunia. Kemudian diambung dengan bukunya yang terakhir ‘Gelombang Tiga’ (The Third Wave) tapi tidak mendapat tanggapan semeriah bukunya yang terdahulu. Pesimisme akhir abad XX dalam dua dasawarsa ini, terdapat dengan sarat di lingkungan Pusat Studi filsafat dan Masalah-masalah kemanusiaan di Paris, suatu badan resmi di bawah naungan UNESCO. Himpunan buah pikiran kaum cendikiawan terkemuka dari berbagai negeri yang bersidang pada tahun 1980, diterbitkan menjadi buku dengan judul ‘Bunuh Diri’ atau Hidup terus, tentang tahun 2000, (Suicide or Survival, The Challence of The Year 2000). Semuanya mencerminkan kegelisahan, kecemasan, bahkan putus asa. Mengapa? Mengapa mereka biasanya berbangga-bangga diri dengan kemajuan yang telah dicapai, tiba-tiba menjadi penakut.


Amat berbeda dengan kerangka budaya yang menggunakan dimensi waktu menurut tahun Hijriah. Jutaan penduduk yang sedang bergulat untuk melepaskan diri dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan ini, justru menyongsong abad ke XV Hijriah dengan memberikan julukan abad baru itu sebagai ‘Abad kebangkitan’. Hanya sedikit orang yang memperhatikan, ketika hamper lima tahun yang lampau terbit buku ‘Dunia Baru Islam’ yang disusun oleh Lothdorp Stoddard. Kalangan pembaca menganggapnya sebagai selingan yang mengasyikan dan emosional”. Sebab si penulisnya sendiri, selain masih kurang lengkap melihat jalur arus sejarah masa depan negeri-negeri kaum muslimin, juga tercermin rasa ketakutan jikalau apa yang diramalkannya itu benar-benar terjadi. Sudah lama sejak orang-orang Eropa mengindap ketakaburan karena merasa punya komplek budaya lebih tinggi (the arrogance of cultural superiority complecs). Setengah abad yang lalu, Lothdorp Stoddard memperkirakan, kaum muslimin di seluruh dunia hanya berjumlah 250 juta jiwa, dan hampir semuanya hidup tertindas di negeri jajahan. Seperempat abad kemudian, yaitu pada tahun 1975, tidak kurang dari 45 negeri jajahan dengan penduduk mayoritas muslim itu telah merdeka. Sementara itu berlangsung emigrasi seorang muslim memasuki negeri-negeri maju Eropa, Amerika, Australia, dan Jepang. Tempat pemukiman kaum muslimin yang terbesar memang harus membentang sejak dari Afrika utara bagian barat (Maghribi) di sepanjang khatulistiwa sampai ke Asia Tenggara. Jumlah keseluruhannya sekarang (tahun 1982, ketika artikel ini ditulis, red) ternyata tidak kurang dari 900 juta jiwa dan 20 tahun lagi bakal mencapai satu miliar. Bayangkan! Jikalau mereka itu bangkit serempak atas dasar akidah yang sama.


Namun yang lebih penting dari sekedar jumlah yang berkembang terus itu, ialah kemampuannya untuk memegang peranan yang tak terelakan dalam tiap lingkungan negerinya masing-masing dan dalam percaturan dunia. Sebab sudah mulai ternyata sekarang, tidak semua negerinya itu miskin dan dihuni oleh umat yang bodoh dan terbelakang lagi. Siapa yang mengira, pada pasir tandus di sekitar Teluk Parsi tenyata menyimpan sumber minyak di perut buminya? Siapa yang percaya, kecuali yang beriman, ketika Nabi Ibrahim berdoa untuk negeri padang pasir yang tandus itu, kelak (ribuan tahun kemudian) menjadi negeri makmur yang tinggal memetik buahnya saja, tanpa menanam tetumbuhan? Masalahnya sekarang ialah, apakah kaum muslimin mampu melaksanakan risalahnya menjadi rahmatan lil ‘alamin? (menjadi rahmat seluruh alam).


Angkatan muda yang masih segar bugar menghadapi masalah yang membingungkan dan serba tidak pasti, dalam dua puluh tahun mendatang mungkin saja menempati posisi avant garde (perintis). Sebab, sekali pun prosesnya masih panjang, sebagian orang yang arif bijaksana sudah mulai isyarat-isyarat pertanda zaman: “Kejayaan negeri-negeri itu bakal di pergilirkan…..” Suara siapakah isyarat itu? Suara dari alam gaib? Anda dapat menyimaknya dengan meneliti, misalnya, Al Qur’an.


Penulis: Sudjoko Prasodjo (Almarhum), intelektual Muslim, aktivis HMI selama kuliah di Yogyakarta, bersama beberapa temannya menulis buku Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, Jakarta: LP3ES, 1975
Sumber: Panji Masyarakat, 11 April 1982

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda