RADEN SJAMSURIDJAL alias Sjam ketika Jong Islamieten Bond (JIB) berada dalam puncak kejayaannya (1925-1935) bersama-sama dengan Wiwoho dan H. Agus Salim dikenal sebagai Driemanschaf JIB. Trio tersebut adalah peletak dasar-dasar pembentukan cendekiawan Islam melewati organisasi JIB yang didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 di Jakarta.
Tatkala ide pembentukan cendekiawan Islam dalam tahap pengembangan, adalah tidak pernah terniatkan untuk melakukan eksklusivisme struktural. Sjam dalam kedudukannya sebagai Ketua Jong Java dalam Kongres ke-7 organisasi tersebut (Desember 1924) mengutarakan gagasan agar Jong Java menyelenggarakan kursus agama Islam bagi para anggotanya yang beragama tersebut, dan tidak keberatan diselenggarakannya kursus agama tertentu bagi yang memerlukannya, nota bene kursus-kursus agama lain itu de facto sudah berlangsung dalam tubuh Jong Java.
Sjam mencetuskan gagasannya itu didorong oleh ’’kesadaran ideologi’’ dalam kerangka kesatuan organis Jong Java. Kesadaran tersebut bangkit oleh adanya fakta bahwa pelajar-pelajar Islam sebagai calon-calon yang tengah menuntut ilmu pada sekolah-sekolah umum “dijepit” oleh keadaan sehingga tiba pada posisi keharusan pelestarian nilai-nilai Islam pada kehidupan para pelajar, oleh karena kelestarian Islam sebagai ajaran terancam dengan adanya kurikulum dan sistem serta metodik didaktik yang berlaku pada dunia pendidikan resmi dewasa ini. Sementara kompetisi intelektual dengan pelajar-pelajar lain berlangsung secara °’kurang fair’’ di dalam pengertian untuk pelajar-pelajar yang secara ideologis dan kultural berasal dari lingkungan bukan Islam dirangsang oleh lembaga swasta untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya lewat pembinaan-pembinaan tertentu ataupun studiefonds (beasiswa).
Adalah sebuah perkumpulan teosofi di Jakarta pada waktu itu yang bernama Theosofische Vereeniging yang mempunyai hubungan terentu dengan sebuah stichting (yayasan) yang benama Dienaar van Indie (abdi dari Indie). Dienaar van Indie melakukan pembinaan-pembinaan terhadap pelajar-pelajar yang dianggap mempunyai bakat, potensi intelektual pelajar-pelajar seperti tersebut dipupuk dan dikembangkan. Pelajar yang merasa dirinya terkemuka pada waktu itu dengan bangga di belakang namanya memberi imbuhan intsial D.I. Katakanlah pelajar tersebut bernama Polan, menjadi Polan D.I. atau Polan Dinaar van Indie.
Beberapa tokoh-tokoh kalangan nonIslam yang kita kenal dalam sejarah, pada masa pelajarnya banyak yang memberi imbuhan D.I. di belakang mamanya itu. Adapun untuk pelajar-pelajar seperti Sjam tidak akan pernah dihubungi oleh pihak Dienaarvan Indie. Oleh karena seperti diterangkan di muka Dienaar van Indie itu mempunyai “hubungan’’ dengan Theosofische Vereeniging. Yaitu perkumpulan yang berambisi untuk mengembangkan nilai-nilai ’’supra agama’’. Pada zaman yang sama Theosofische Vereeniging yang dibentuk di India menentang pergerakan kemerdekaan yang pada waktu itu tengah didengungkan oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi dan Jinnah.
Kongres Jong Java ke-7 melewati Permungutan suara menolak usul Sjam. Sjam pemuda kelahiran Karang Anyar (11 Oktober 1903) putra seorang penghulu pengadilan negeri, berdiri pada sebuah point of no return, tanggung jawab yang berada di pundaknya adalah tanggung jawab sebuah generasi di hadapan sejarah. Dengan tetap di dalam kerangka memelihara keutuhan Jong Java, Sjam setelah Kongres berakhir berkonsultasi dengan H. Agus Salim di Yogyakarta, kemudian muncullah sebuah formula yaitu, Sjam bersama kawan-kawannya tetap menjadi angzgota Jong Java dan Jong Islamieten Bond sebagai wadah pembinaan cendekiawan Islam diproklamirkan berdirinya pada tanggal 1 Januari 1925, Sjam menjadi Ketua yang pertama.
JIB membangun dua prasarana yang kelak ternyata mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi yaitu, pada bulan Maret 1925 diterbitkan majalah An-Noer (Het Licht) sebagai majalah cendekiawan muda Islam pertama di Indonesia, prasarana kedua adalah didirikannya Natipij (National Indonesische Padvinderij), organisasi pandu nasional Indonesia. Sebelum Het Licht, di Surabaya pada tahun 1923 telah diterbitkan sebuah majalah tulisan Arab berbahasa Jawa yang bernama Soewara Santri’ dengan sub title’Islamic Student Journal, tetapi majalah tersebut tidak dapat digolongkan sebagai media cendekiawan Islam karena isinya tidak melukiskan pertumbuhan pemikiran dan proses pergerakan kalangan terpelajar Islam, melainkan masalah-masalah umum keagamaan dan berita-berita umum belaka. Majalah tersebut diterbitkan dan diasuh oleh perorangan yaitu H.A. Ma’roef Surabaya. Soewara Santri diketahui terbit sampai dengan 6 nomor saja, dan diterbitkan setiap bulan. Sedang Het Licht dapat dikatakan sebagai suara sebuah angkatan.
JIB membangun organisasi kepanduan dengan nama Pandu Nasional Indonesia yang untuk kurun waktu itu adalah sebuah langkah bersejarah, mengingat penggunaan nama “Indonesia’’ untuk menerangkan konsep tanah air adalah sangat langka. Di negeri Belanda perkumpulan pelajar-pelajar kita di sana memakal nama Indonesische Vereeniging (yang sebelumnya bernama Indische Vereeniging) dan berubah menjadi Perhimpunan Indonesia juga pada tahun 1925 tatkala Ketuanya dijabat oleh Sukiman (Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Perdana Menteri R.I. 1951-1952). Sebagai perbandingan PPPI (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia) berdiri pada tahun 1927. Dan Indonesia sebagi konsep tanah air, bangsa dan bahasa dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda.
Pandangan ke-Indonesia-an dikembangkan oleh Sjam dan kawan-kawannya melalui wahana Islam: JIB. Islam dan kebangsaan Indonesia tidak pernah diletakkan sebagai komponen yang berpisah apalagi berhadap-hadapan sebagaimana banyak dituduhkan oleh sementara pihak akhir-akhir ini. Organisasi kepanduan Natipij dengan tokoh-tokoh Kasman dan Moh. Roem mengembangkan pelajaran-pelajaran kewiraan, yang kelak ternyata pelajaran-pelajaran tersebut mempunyai manfaat yang besar bagi pertahanan tanah air. Kasman mendapat kepercayaan untuk menjadi Daidancho (Komandan Batalion) PETA (Pembela Tanah Air) Jakarta adalah berkat pengalaman-pengalamannya dalam Natipij. Bersambung

Penulis: Ridwan Saidi (1942-2022), budayawan Betawi, sejarawan dan intelektual Islam. Pernah menjabat Ketua Umum PB HMI, menjadi anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Sumber: Panji Masyarakat, No 378, 21 November 1982.