Seperti kata Erich Fromm, seorang psikolog kenamaan di abad ke-20, sesungguhnya tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak bertuhan, yang tidak menganut sesuatu agama. Siapa pun orangnya mesti memiliki ketergantungan secara total pada kekuatan di luar dirinya. Hanya persoalannya, adakah ketergantungan tersebut permanen terhadap obyek yang tunggal, dan lagi, apa dan siapa yang dipertuhankan.
Kadang tidak disadari, seseorang telah menggadaikan sebagian kemerdekaannya pada bendera. Pada tanah air. Pada uang. Pada nafsu seks, dan lain sebagainya. Lebih daripada menggadaikan, mereka telah menjadi pemuja, sehingga timbul ketergantungan dan premis baru, tanpa “dia” maka hidupnya akan sengsara.
Sikap demikian itu, secara psikologis, sudah mendekati sikap keberagamaan. Akhirnya seseorang telah memusatkan pada suatu obyek pengabdian yang sangat digandrungi. Nah, kalau demikian halnya, siapa orang yang tidak bertuhan? Sikap inilah yang disindir oleh Al-Qur’an: “Adakah engkau tidak melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan mereka?”
Jadi, sikap kebertuhanan dalam beberapa segi mirip tuntutan pada makan, minum, dan tidur, di mana semua itu merupakan kebutuhan dasar. Hanya, apa yang diminum, bagaimana cara mendapatkannya? Jangan-jangan obat nyamuk Baygon seperti yang sering diberitakan akhir-akhir ini. Demikianlah, Tuhan mana yang dijadikan objek ‘pengabdian’, di sini risalah Muhammad hendak meluruskan kepercayaan-kepercayaan yang sesat dan menyesatkan.
Dalam perjalanan sejarah, terhitung ratusan agama pernah muncul di permukaan. Tetapi dalam perjalanannya satu-satu ada yang minggir, karena manusia kian kritis, dan dewasa pemikirannya, sehingga agama yang memang tidak jelas ujung Walaupun beberapa agama atau kepercayaan hilang. Tetapi sama sekali tidak berarti manusia lalu tidak beragama. Seperti yang disebutkan di muka, kapan pun dan di mana pun orang memerlukan ketergantungan. Dan berbahagialah mereka yang mendapatkan tali Allah, yang dengannya tertolong kemana perjalanan hidup dan kehidupan ini mesti mengarah.
Islam dan warga metropolitan
Bagaimana dengan Islam? Anggapan orang bahwa Islam hanya layak bagi masyarakat padang pasir, masyarakat kampung yang serba-serbi jorok dan terbelakang, semua itu tidaklah benar.
Banyak premis-premis lama tentang Islam telah patah. Kini terlalu mudah kita mendapatkan pusat-pusat studi Islam atau populernya pengajian yang berlangsung di jantung-jantung kota besar, di lingkungan orang gedongan. Dan tentu gegabah, misalnya, ibadah haji dikaitkan dengan mode dan show. Apa yang diharapkan dari ibadah haji untuk popularitas diri? Itu urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhannya. Kita hanya tahu yang lahir, sedangkan yang bersangkutan dan Allah akan lebih tahu tentang hati dirinya.
Oh, ya. Gelisah soal pendidikan agama di sekolah, yang akhir-akhir ini sering terdengar, sesungguhnya haal itu memiliki makna ganda. Bisa saja, dan tampaknya begitu, akibat kurangnya jam pelajaran, maka orangtua kian sadar akan tanggung jawabnya mendidik agama di rumah. Orangtua sudah sampai pada kesimpulan, pendidikan agama amat mutlak bagi generasi muda maupun tua, yah… tentu saja bagi setiap individu. Dengan demikian tidak bias bidang ini diandalkan pada guru agama di sekolah.
Kesadaran inilah barangkali yang telah melahirkan trend baru yang semarak, di lingkungan keluarga gedongan pun rumahnya mulai diramaikan oleh suara anak belajar mengaji. Sementara yang telah dewasa lebih tinggi lagi obyek studinya.
Ribuan guru agama privat, sejak yang tergolong mengajar tingkat SD, SLTP, SLTA, sampai PT, merupakan suatu dunia tersendiri yang memang tidak populer. Secara diam tetapi pasti Islam menghembuskan aromanya menelusuri relung hati warga metropolitan yang pening hiruk-pikuk bisnis itu. Berita kriminalitas, skandal seks, korupsi, setiap pagi terpampang dalam surat kabar.
Tampaknya ekspose itui, di samping indikator apa yang terjadi, juga turut mematangkan suasana kecut dan frustrasi di kalangan warga kota. Kini orangtua melihat anak gadis mereka benar-benar bagaikan melihat telur di ujung tanduk. Orang tua tidak bisa lega dan percaya anak mereka kelihatan pergi ke sekolah.
Perkembangan itulah barangkali yang membuat warga gedongan segara ambil sikap,. Tak da jalan lain yang lebih ampuh, kecuali mereka harus diinfus dengan kesadaran dan penghayatan agama.
Nah, gejala apa ini semua, kalau bukan orang mencari keseimbangan materi dan spiritual? Di sinilah Islam tampil sebab ia diturunkan memang sebagai rahmatan lil alamin.
Sumber: Panji Masyarakat, 21 November 1982