Menurut ajaran Al-Qur’an, moralitas yang ditawarkan olehnya kepada ummat Islam adalah lebih mendahulukan “kewajiban” (obligation atau duty), baru kemudian berbicara tentang hak (right). Pandangan yang demikian jelas berlawanan dengan moralitas Barat yang mendahulukan hak, beru kemudian kewajiaban. Walaupun tampaknya tak jauh berbeda, hanya penekanan saja, tapi sesungguhnya jika ditelesuru dan direnungkan akan kelihatan sekali perbedaan dan akibat yang ditimbulkan.
Right is alright against someone. Duty is a duty towords someone, tulis Dr. Fazlurahman Ansar dalam The Qur’anic Foundations and Structure of Muslim Society (vol. II). Bahwa kalau seseorang berbicara dan menuntut haknya, mau tidak mau ia mengambil dari orang lain. Ia mengambil sesuatu dari luar dirinya, untuk dirinya. Bila kita menuntut hak berarti juga melibatkan orang lain yang harus merelakan sesuatunya buat kita, atau seseorang harus melakukan sesuatu buat kita.
Sebaliknya, duty atau kewajiban, mengandung tuntutan seseorang berbuat, melakukan sesuatu ataupun memberikan sesuatu pada orang lain. Dengan ungkapan lain, hak berarti meminta, sementara kewajiban berarti memberi. Dikatakan leebih lanjut oleh pemikir Islam terkemuka ini, dengan menitikberatkan kepada kewajiban, berarti juga menekankan atas terciptanya harmoni dalam kehidupan sosial. Mengapa? Salah satu jawabannya ialah, bilamana setiap individu berlomba untuk berbuat baik pada orang lain, bukannya menuntut dari orang lain, maka keluhan-keluhan akibat perampasan hak seseorang kian berkurang.
Sumber Perselisihan
Sebaliknya, bilamana dalam kehidupan sosial orang lebih mengutamakan “hak”, maka yang segera muncul adalah perselisihan dan pertengkaran. Orang selalu berhitung akan haknya, sehingga tidak pernah berpikir akan kewajibannya terhadap orang lain. Orang selalu berpikir ingin menuntutnya, bukannya ingin memberi. Pertengkaran yang makin membengkak yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya antara buruh dan pemilik modal, antara sesama bangsa atau negara, adalah diakibatkan masing-masing terlalu menitikberatkan pada hak dan melalaikan kewajiban.
Dalam kaitan ini, contoh yang mudah sekali dijumpai misalnya beberapa buruh pegawai menggerutu kalau “gajinya” dipotong, sementara mereka tidak pernah merasa bersalah kalau membolos kerja berhari-hari. Sebaliknya, pihak pimpinan sering menekankan haknya sebagai pimpinan untuk berbuat ini dan itu, sedangkan kewajiban yang semestinya dilakukan dilupakan. Namun anehnya, kalau terjadi kekeliruan, katakanlah kecelakaan yang menyangkut suatu instansi, sering kali orang melemparkan kesalahannya pada pihak lain. Dengan kata lain, orang cenderung mengenyam manisnya dan melepas kewajiban serta tanggung jawabnya. Moral yang demikian jelas berlawanan dengan ajaran Al-Qur’an.
Unity and disunity
Dengan demikian, kata Dr. Fazlurahman Ansari, dalam upaya menciptakan harmoni dan kerukunan (unity) di antara sesamanya, maka kewajiban haruslah diutamakan. Kewajiban bukanlah suatu tindakan keterpaksaan, melainkan harus keluar dari hati yang tulus, merdeka dan penuh simpati atas apa yang dilakukan dan kepada siapa ditujukan. Kalau orang berbuat tapi penuh dengan perhitungan untung rugi, maka yang demikian sesungguhnya menyalahi makna kewajiban. Kita sadar sekali, salah satu kebahagiaan hidup ialah manakala kita dapat berbuat baik dan memberi manfaat orang lain. Sebaliknya, adalah suatu siksaan bilamana kita selalu hidup dalam suasana menggerogoti orang lain, selalu dituntut oleh orang lain. Yang pertama akan melahirkan kerukunan dan kesatuan, sedangkan yang kedua akan menyeret pada bentrokan-bentrokan sosial.
Disinilah keagungan ajaran Al-Qur’an yang lebih mengutamakan duty, bukannya pada right.

Penulis: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Redaktur Ahli Panji Msyarakat, Rektor Universitas Islam Internasionl Indonesia (UIII)
Sumber: Panji Masyarakat, 1 September 1982