COBLOSAN masih lama, Nak?’’ tanya seorang kakek tua di kampung terpencil.
“Oh, pemilihan umum, masih tinggal setahun lagi, Kek.”
“Syukurlah kalau masih lama,” ujar kakek tua itu sambil memberi serbuk kemenyan pada rokok yang dilintingnya. Sebersit senyum kepedihan membayang di bibirnya menimbulkan obsesi di hati pemuda di hadapannya. Kemudian pemuda itu meluncurkan tanya:
“Mengapa Kakek tanya tentang pemilihan umum?”’
“Aku ngeri, Nak! Setiap menjelang coblosan selalu terjadi pertengkaran antara cucu-cucuku. Mereka bertengkar hanya karena soal gambar.”
Itulah sebuah ilustrasi sederhana yang diambil dari tengah masyarakat yang sederhana. Berbicara pemilu di kalangan masyarakat yang kurang mengerti tidak lepas dari dampak-dampak yang tidak menguntungkan. Ada mertua ikut partai kambing merasa tidak dihargai oleh menantunya karena sang menantu memasang tanda gambar partai kancil. Si Sekrup tidak mendatangi undangan Si Baut hanya karena tak separtai tak segolongan. Bahkan ada beberapa pesantren nyaris gulung tikar ditinggalkan pulang santri-santrinya karena Pak Kiai hijrah ke partai lain yang tidak sesuai dengan selera santri-santrinya. Di tambah lagi ada beberapa peristiwa lain yang menjurus pada pertandingan tinju massal tanpa wasit di lapangan terbuka sesama bangsa sendiri.
Tentu saja kita tidak lantas mengatakan itu hanya exses, apa lagi menyebutnya sebagai variasi pemilu, yang menunjukkan kecenderungan pada penggunaan istilah-istilah yang tidak manusiawi. Kita tak usah menyulap kegetiran dengan bungkus kata-kata merdu. Dan ekses-ekses semacam itu mungkin tak akan dicatat oleh sejarah, sebab sejarah mungkin punya tugas yang lain.
Apakah ekses-ekses itu perlu dilupakan? Dilupakan tentu saja boleh, tapi tak perlu berulang kembali. Dalam menghadapi pemilihan umum yang akan datang, apa tak sebaiknya semua kontestan yang ikut pemilu sejak sekarang menyiapkan diri dengan memberi penyuluhan kepada seluruh anggota masyarakat dengan pengertian yang bisa membersihkan jiwa mereka dari fanatisme buta.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pemimpin ketiga kontestan yang sejak semula menunjukkan tanggung jawabnya dengan baik, kiranya bagi tokoh-tokoh yang lain yang belum mampu menggunakan penalaran yang rasional, saat ini sudah waktunya membenahi diri dan menyiapkan rem yang ampuh, agar pada saat-saat menjelang pemilu sekaligus pada masa kampanye nanti, tidak mudah mengeluarkan kata-kata yang bisa memberi semangat kepada anggota-anggota partai dan golongannya untuk berhati panas sehingga senang adu jotos dengan anggota partai lain.
Masyarakat kita yang sebagian besar bermukim di pedesaan, adalah orang-orang yang lugu dan sederhana. Barangkali merekalah sosok tubuh yang sebenarnya dari potret masyarakat Dunia Ketiga yang ditunjuk orang-orang negeri super power dengan jari kelingking. Namun dalam hidup bermasyarakat semangat gotong-royong mereka sulit ditandingi. Mereka mengerti kehormatan dan harga diri. Tapi mudah dikobarkan tmosinya bila apa yang mereka cintai (termasuk guru dan tanda gambarnya) tersenggol sikut orang lain. Saat itu nyawa orang yang menyinggung perasaannya salah-salah bisa dianggap sampah.
Maka amat bijaksanalah apabila ’’psikologi massa’’ yang dimiliki para pentolan politik negeri ini nanti tidak hanya digunakan untuk menarik akseptor sebanyak-banyaknya, tapi juga memperhitungkan bagaimana mengarahkan massa untuk beradab dalam berpartai dan bergolongan.
Lebih tidak diharapkan kalau nanti di satu pihak berdiri sekelompok ulama siap dengan petikan ayat-ayat Al-Qur’an dan di pihak lain juga tegak barisan mubalig dengan firman-firman Allah. Sangat menyakitkan lagi kalau Kalamullah itu diterjemahkan seenak kemauannya sendiri. Maka perang ayat bisa gencar. Umat Islam yang sebagian besar persepsinya tentang khilaful ulama masih awam, akan lebih cenderung menanggapi: ayat-ayat Al-Qur’an itu satu dengan yang lain ada yang saling bentrokan. Mereka yang tidak mengerti duduk persoalan yang sebenarnya bisa kebingungan. Salah-salah akidah mereka jadi goyah. Dipandang dari sudut spiritual, perang itu tidak kalah dengan perang dunia ketiga yang ditakuti banyak orang. Dalam perang ayat itu tercermin rontoknya kejujuran sebahagian kecil orang-orang yang mengerti agama di dalam menghayati firman-firman Allah.
Sangat tidak sehat kalau saya mengusulkan agar ulama tidak usah ikut berkampanye pada menjelang pemilu nanti. Munculnya ulama di atas mimbar kampanye saya kira tetap perlu, untuk memberi wibawa pada pesta demokrasi yang akan kita laksanakan. Referensi yang diambil dari Al-Qur’an juga penting, selama diterjemahkan dengan kejujuran hari nurani.
Tapi tidak kurang pentingnya yang harus kita pikirkan sejak sekarang, ialah bagaimana mencari alternatif lain untuk menghindari perang ayat itu. Di luar kita ada orang lain yang akan menonton pertunjukan yang tidak bagus itu dengan tersenyum-senyum. Siapa tahu perang ayat itu hanya sandiwara yang tidak lucu.
Hanya Allah yang Mahatahu siapa yang menggunakan Al-Qur’an dengan jujur dan siapa pula yang mempergunakannya dengan cara yang kotor.

Penulis: D. Zawawi Imron, penyair, tinggal di Madura.
Sumber: Panji Masyarakat, No 497 11 Maret 1986
`