Ads
Relung

Angkuh dan Zalim

Ditulis oleh Panji Masyarakat

SALAH SATU di antara penyakit rohaniah yang paling berbahaya ialah sipat/sikap congkak, sombone, angkuh atau yang lebih populer disebut over-acting, aksi yang berlebih-lebihan

Dalam Al-Qur’an watak sombong itu disebutkan takabur (membesar-besarkan diri) atau fafakhur (membangga-banggakan diri). Menurut Ilmu Akhlak, sifat/ sikap yang demikian termasuk dalam budi_ pekerti yang buruk dan tercela, akhlakul mazmumah.

Adapun ciri-ciri atau gejala-gejala sikap sombong antara lain-lain ialah riya, suka memuji-muji dan membanggakan diri sendiri, baik mengenai keturunan maupun pengetahuan dan harta bendanya;
memandang rendah (meremehkan) orang lain; berlebih-lebihan (over-acting) dalam ucapan, kotor mulut, suka mencela dan mengeritik orang lain. Omongannya ’’plas-plus’’, ’’asal bunyi’’ (asbun) dan yang seumpamanya; membuang (memalingkan) muka waktu bertemu dengan orang lain, dan menunjukkan ganteng dan gagah dalam berjalan (istilah Minang: ’’rancak di labuh’’ = bergaya di jalan); berlebih-lebihan (pamer) dalam berpakaian dan mubazir dalam harta benda; dan lain-lain sikap yang mengandung tendensi ’’menepuk-nepuk dada’’.

Sebab-sebab timbulnya sipat angkuh atau takabur itu adalah karena orang yang bersangkutan merasa dirinya lebih besar, lebih sempurna, lebih cukup dalam segala hal, baik yang berkenaan dengan soal-soal duniawi maupun masalah-masalah ukhrawi.

Imam Gazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin membagi sebab-sebab timbulnya siFat takabur itu kepada tujuh sebab, yaitu: (1) ilmu; (2) ibadah dan amal; (3) turunan; (4) kecantikan; (5) kekayaan; (6) kekuasaan/kekuatan; (7) keluarga besar (pendukung yang banyak).

Selain dari perkataan takabur itu, di dalam Al-Qur’an ditemui lagi perkataan lain yang serupa maksudnya, yaitu ’ujub, yang dapat dikatakan ’’saudara kembar’’ dari takabur itu.

Perkataan ‘ujub itu terambil dari akar kata ‘ajaba, yang berarti mengagumi. maksudnya, mengagumi dir sendiri, merasa gagah. Sebagai satu budi pekerti yang tercela, maka kaum Muslimin dilarang berlaku angkuh dan ujub dalam segala sektor kehidupan, Iebih lebih lagi dalam kehidupan masyarakat.

Tentang larangan takabur itu) disebutkan dalam Al-Qur’an: “Aku (Allah) akan memalingkan orang orang yang menyombongkan diri di muka bumi ini tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (Al-A’raf: 146). Pada ayat yang lain diperingatkan: “Janganiah engkau memalingkan mukamu dari manusia karena kesombongan, dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.’’ (Luqman: 18). Adapun mengenai siFat/sikap ujub itu diterangkan dalam Al-Qur’an: “Ketika peperangan di Hunain, pada waktu itu kamu bangga (ujub) karena banyak jumlah kamu, tapi jumlah yang banyak itu tidak menolong kepada kamu sedikit pun.’’ (At-Taubah: 25).

Angkuh Karena Kuasa

Pada kesempatan ini hendak kita ulas soal yang mengenai keangkuhan lantaran kekuasaan dan kekuatan.

Sejarah dunia sudah menunjukkan bahwa banyak penguasa yang angkuh dan congkak, sebab mereka merasa mempunyai kekuasaan yang tak bisa dijungkirkan dan percaya terhadap ketangguhan ben. teng pertahanannya, baik mengenai. alat-alat senjata maupun barisan/pengikutnya yang akan melindunginya.

Sejarah yang terbaru ialah kecongkakan Hitler dan Mussolini yang mempunyai kekuasaan yang luar biasa sesudah perang dunia pertama. Tentang Hitler sampai-sampai dikatakan .’’Hitler hat immer racht” (Hitler selalu benar); sedang Mussolini disebut ’’Mussolini hat semper ragione’’ (Mussolini selalu tepat).

Orang-orang yang mempunyai kekuasaan di atas kemampuannya, kebanyakan bersifat sombong, takabur. Orang-orang yang mempunyai kekuasaan di bawah kesanggupannya pada umumnya bersifat rendah hati. Lebih-lebih lagi apabila seorang penguasa tidak percaya terhadap adanya Allah Swt. (atheis), yang Merencanakan dan Menentukan segala sesuatunya, maka kadar sifat takabur itu semakin tinggi dan naik. Takabur yang demikianlah yang bersemi dalam jiwa Fir’aun tatkala Nabi Musa berseru kepada kaumnya, bangsa Mesir purbakala, supaya percaya kepada Allah yang menciptakan alam semesta ini. Fir’aun yang sudah mulai memuncak kekuasaannya pada waktu itu menentang ajakan Nabi Musa itu, dan selanjutnya memerintahkan kepada pasukan-pasukannya supaya membunuh setiap orang yang percaya dan menerima ajakan tersebut. Malah dengan sombong Fir’aun menyatakan bahwa ia akan membunuh Nabi Musa dengan tangannya sendiri, dan secara congkak dipersilahkannya agar Musa meminta pertolongan kepada Tuhan yang dibangga-banggakannya agar Musa meminta pertolongan kepada Tuhan yang dibangga-banggakannya itu, seperti yang dirumuskan dalam Al-Qur’an.

Berkata Fir’aun: “Biarkanlah aku membunuh Musa dan supaya dipanggilnya Tuhannya itu.” (Al-Mu’min: 26).

Dalam Al-Qur’an banyak diuraikan kisah-kisah tentang kecongkakan umat dahulukala. Di antaranya kisah kaum ‘Aad yang diajak oleh Nabi Hud ke jalan kebenaran, demikian juga kaum Tsamud yang dengan congkak menampik seruan Nabi Shalih.

Akan tetapi, sebagaimana juga Fir’aun yang pada tingkat terakhir terbenam dan mati di Laut Merah ketika menguber-uber pengikut Musa, demikian pula kaum ‘Aad. Mereka dimusnahkan oleh angin yang keras dan kaum Tsamud dihancurkan oleh petir yang menyambar-nyambar.

Semua itu adalah balasan atas keangkuhan terhadap Kekuasaan Ilahi. Adapun perasaan ujub (bangga) atas kelebihan diri sendiri itu pernah ditimbulkan Allah Swt sebagai percobaan yang bersifat mendidik (edukatif) kepada kaum Muslimin di zaman Rasulullah, yaitu tatkala terjadi peristiwa perang Hunain, yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (surat Al-Baqarah: 25).

Seperti diketahui, perang Hunain itu terjadi di lemwh pesunungan Hunain, pada tahun ke-8 Hijrah yang ettak kira-kira 14 mil dari kota Makkah.

Tentara kaum Muslimin pada waktu itu berjumlah kira-kira 10.000 sampai 12.000 orang, sedang kekuatan musuh hanya lebih kurang 4.000 orang. Mengingat jumlah yang banyak itu, maka timbullah perasaan ujub (bangga) pasukan Islam dan memandang enteng ethadap pasukan musuh. Kaum Muslimin kurang bersungguh-sungguh menghadapi pertempuran, dan mempunyai asumsi bahwa jumlah pasukan musuh yang kekuatannya hanya sepertiga dari pasukan Islam, pasti dapat digulung dengan gnusah.

Akibatnya, pada babak pertama tentara Islam mendapat pukulan dan terdesak. Untunglah pada taraf-taraf terakhir, dengan kepahlawanan Rasulullah yang langsung memimpin sendiri pertempuran itu, pasukan Islam berhasil merebut kemenangan.

Apabila sifat/sikap angkuh dan ujub itu melekat di atas jiwa sesuatu kaum atau bangsa, maka hal yang demikian dapat menimbulkan chauvinisme, yaitu cinta buta terhadap tanah air sendiri. Satu paham nasionalisme yang sempit tapi kadarnya tinggi, yang memandang hanya bangsanya sendirinya saja yang paling di atas. Jika sesuatu bangsa dihinggapi paham chauvInisme itu, akhirnya timbullah keinginan untuk menguasai bangsa lain, yang mengakibatkan terjadinya pertentangan dan permusuhan, kemudian meningkat menjadi peperangan.

Islam memberikan petunjuk kepada setiap orang, baik dia memegang kekuasaan/kekuatan maupun sebagai manusia/rakyat biasa, bahwa kekuasaan yang mutlak adalah Di tangan Allah Swt. Oleh sebab itu ajaran Islam menggariskan bahwa setiap kelebihan, keistimewaan, kesempatan dan peluang-peluang baik lainnya haruslah dimanfaatkan untuk berbakti kepada Penguasa Tunggal (Allah) dan berbuat kebajikan terhadap sesama umat manusia. Dalam pada itu, hendaklah setiap orang menyadari bahwa kehidupan di dunia ini selalu silih berganti antara senang dengan susah, antara sertawa dengan menangis, antara bangkit dengan jatuh dan yang seumpamanya. Hampir di tiap-tiap daerah di seluruh Nusantara, walaupun dengan sebutan dan nada yang berbeda-beda, ada peribahasa yang mengatakan, “Hidup laksana roda pedati, sekali ke atas, sekali ke bawah.’’

Bagi orang-orang yang dapat menghayati bahasa Minang, tentu akan lebih meresap ke dalam jiwanya.

Bagi orang-orang yang dapat menghayati bahasa Minang, tentu akan lebih meresap kedalam jiwanya senandung Elly Kasim yang menyanyikan: Hiduik bak cando roda pedati. Sekali ka ateh sekali ka bawah. Tibo di ateh galak badarali. Tibo di bawah badan merasai (Hidup seperti roda pedati/
Sekali ke atas, sekali ke bawah. Waktu di atas, tertawa jeli. Ketika di bawah, terengah-engah).

Apa yang dikisahkan itu, semuanya adalah Sunnatullah, yang berputar menurut hukum Ilahi, seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Demikianlah perputaran hari-hari itu (bangkit dan jatuh) Kami pergilirkan di antara umat-manusia.’’ (Ali Imran III; 140)

Dengan menyadari yang terkandung pada ayat tersebut, hendaknya setiap orang dapat menjauhkan diri dari sikap angkuh. Sebab watak yang demikian hanya membuahkan tindakan-tindakan zalim.

Penulis: M. Yunan Nasution (1913-1996), ikut mendirikan dan menjadi motor majalah Pedoman Mas Masyarakat yang terbit di Medan pada 1936. Majalah ini kemudian melebur dengan majalah Panji Islam menjadi majalah Panji Masyarakat yag terbit pada tahun 1959. Yunan Nasution juga aktif di politik dan menjadi Sekjen Partai Masyumi sampai partai ini dibubarkan pada 1962. Ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh tahun oleh rezim Soekarno dan baru dibebaskan pada awal Orde Baru. Ia lalu aktif di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan menjadi kontributor Panji Masyarakat yang terbit kembali pada awal Orde Baru setelah dilarang rezim sebelumnya.

Sumber: Panji Masyarakat No. 356, 11 April 1982

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda