Tidak pernah Rasulullah Saw. melarang orang mengerjakan sesuatu pekerjaan pada hari anu atau bulan anu. Apalagi mengatakan hari itu buruk atau bulan ini tidak baik. Hanya yang ada, misalnya Nabi bepergian pada hari Kamis atau pagi-pagi sekali. Dan pernah pula Nabi mengatakan: “Sebaik-baik waktu itu adalah pagi-pagi sekali.”
Beliau juga bersabda: “Tidur di waktu shubuh itu mengakibatkan kemiskinan.”
Hadis itu pun maksudnya bukanlah mengatakan bahwa waktu atau zaman itu yang menyebabkan orang miskin atau susah. Tetapi adalah kesalahan manusia itu sendiri yang menyia-nyiakan waktu itu.
Malah ada lagi sebuah hadis qudsi, , yaitu hadis yang paling tinggi martabatnya, boleh dikatakan nomor dua setelah Al-Quran, yang diriwayatkan Imam Muslim: “Janganlah kalian memaki-maki masa dan sesungguhnya Akulah (Tuhan) yang menciptakan masa/waktu itu.”.
Oleh karena itu pula, anganlah misalnya kita mengatakan zaman gila, zaman edan dan sebagainya.
Sebenarnya, sifat takut kepada benda-benda itu memang sudah menjadi tradisi (kebiasaan) orang di zaman jahiliah. Umpamanya, kalau mereka hendak pergi bekerja, melihat burung terbang dari arah kiri, mereka segera kembali ke rumah, pekerjaan dibatalkan, karena menurut kepercayaan mereka, kalau diteruskan juga pasti berbahaya, paling tidak membawa kerugian. Kalau terbangnya ke sebelah kanan, maka itu pertanda akan membawa keberuntungan, Maka perjalanan atau pekerjaan boleh diteruskan.
Demikian juga apabila burung hantu terbang mondar-mandir di atas rumah mereka sambil berbunyi, timbullah ketakutan mereka, karena bahaya atau malapetaka kan datang menimpa. Ada pula di antara mereka yang mempunyai kepercayaan bahwa burung hantu itu penjelmaan dari roh seseorang yang mati terbunuh terbang kian kemari. Ada lagi, menurut kepercayaan mereka, apabila tiba bulan Safar, timbullah ketakutan mereka karena shafar itu adalah nama seekor ular besar yang sewaktu-waktu mungkin bersemayam dalam tubuh manusia apabila tiba bulan Safar.
Dengan munculnya agama Islam ke muka bumi ini, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan pengertian yang betul kepada kaum Jahiliah terhadap bulan Safar itu. Beliau bersabda: “Tidak memberi bekas sesuatu penyakit dengan berjangkit kepada orang yang tidak sakit dan tidak ada thiyarah {tidaklah burung itu mendatangkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, keuntungan-keuntungan atau kerugian}. Tidak ada binatang yang ke luar dari kepala orang mati terbunuh atau terjadi daripada darahnya, tidak ada shafar (ular besar yang bersemayam dalam tubuh manusia menurut kepercayaan Jahiliah), dan larilah kamu daripada orang yang berpenyakit lepra itu sebagaimana kamu lari dari singa.”
Pendahuluan hadis Nabi yang tersebut di atas tadi yang berbunyi “laa ‘udwa” (tidak memberu bekas sesuatu penyakit dengan berjangkit kepada orang yang tidak sakit). Hal ini tidak berlawanan dengan ilmu kedokteran yang mengatakan bahwa ada beberapa jenis penyakit yang dapat menular. Kalau begitu, apa maksud Nabi mengatakan “tidak memberi bekas sesuatu penyakit dengan berjangkit kepada orang yang tidak mau sakit?” Penyakit itu ada yang menular, tetapi bukanlah dengan kemauan atau kekuatannya sendiri menurut kepercayaan kaum Jahiliah itu. Tetapi menularnya penyakit itu kalu dikehendaki Allah atau dengan takdir Allah, sebab kuman-kuman penyakit yang menular itu pu termasuk jenis makhluk Allah juga. Bisa hidup dan akhirnya mati dengan takdir Allah pula.
Sekiranya kita perhatikan akhir hadis Nabi tadi, yang berarti “dan larilah lamu dari penyakit lepra itu,” maka makin terbuktilah pula, bahwa Nabi benar-benar tahu penyakit itu berjangkit dan menular. Dengan perintah “larilah kamu dari daripada orang yang berpenyakit lepra” dalam hadis tadi, orang janganlah heran ketika Nabi bersabda itu lebih dari 15 abad silam. Saat itu belum ada obat anti kuman lepra. Kita sekarang ini berada di zaman kemajuan teknologi. banyak obat-obat yang dahulunya belum diketemukan, kini sudah banyak di dapat antara lain obat-obat anti kuman lepra ini.
Jadi, kita tidak usah terlalu mengisolir (mengasingkan) para penderita lepra itu jauh-jauh. Cukup bergaul tidak terlampau rapat sambil berusaha memberikan pengobatan kepada mereka. Pernah pula beliau melarang pemilik unta meminumi untanya yang sakit di tempat unta yang sehat. Beliau bersabda: “Jangan sekali-kali unta yang sakit minum di tempat unta yang sehat.”
Sungguh sangat disayangkan kalau masih ada seorang Muslim yang terpengaruh atau terlibat dengan paham-paham Jahiliah tersebut tadi, yang menganggap bulan Safar bulan nahas, bulan sial, bulan yang membawa malapetaka dan bala bencana. Karena itu mereka melarang berdagang, melakukan perniagaan atau transaksi bisnis, melarang bepergian, mencegah penyelenggaraan upacara perkawinan, khitanan, dan lain-lain lagi yang termasuk pekerjaan yang baik-baik. Sebab, jika hal-hal itu dilakukan, kata mereka, bakal membawa sial dan kerugian atau kecelakaan dan malapetaka. Astaghfirullah!

Penulis: H. Hasan Assegaf. Sumber:Panji Masyarakat, No. 522, 21 November 1986