Belum lama ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023. Isinya, melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan yang berbeda agama dan keyakinan. Larangan ini menyiratkan bahwa perkawinan beda agama tidak boleh dilakukan alias dilarang.
Menurut MA surat edaran itu dilakukan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan keyakinan.
Selanjut MA mengatakan, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung ini sesungguhnya sejalan dengan Fatwa MUI tahun 2005. Dalam Munas MUI tahun 2005 telah ditetapkan fatwa, pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaulu mu’tamad, juga adalah haram dan tidak sah.
Fatwa di atas dikeluarkan MUI berlandaskan nash baik Al-Qur’an, hadist, dan qaidah fiqh. Juga merujuk dan mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan beda agama.
Reaksi terhadap Surat Edaran MA ini ada yang pro dan ada pula yang kontra alias tidak setuju. Yang tetakhir ini, terutama yang menyanggah, adalah para aktifis hak asasi manusia, termasuk aktifis HAM perempuan. Dasar penolakannya dianggap diskrimanatif serta melanggar kebebasan manusia, dan juga tidak cocok dengan masyarakat yang hetrogen budayanya.
Perkawinan dalam konteks HAM seharusnya tidak dilihat secara kebebasan individual dan personal semata. Dalam konteks HAM Barat memang kebebasan individual sangat diagungkan dan didewakan, sehingga terkadang kebablasan dan merusak tata hidup bersama dalam dunia global. Contohnya adalah pembakaran dan pelecehan terhadap kitab suci Al-Qur’an milik umat Islam. Dengan dalih hanya kebebasan berekspresi -individual, mereka tidak peduli menyinggung dan menyakiti kehormatan bangsa lain. Jadi dalam diri mereka menyimpan split personaliti (kepribadian yang pecah) yaitu menghargai HAM sekaligus melanggar HAM.
Dalam hakekat perkawinan seperti yang diajarkan agama Islam adalah untuk membangun suatu keluarga yang ideal, keluarga yang bahagia, utuh, damai dan sejahtera. Dalam bahasa yang populer keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (keluarga yang tenang, bahagia dan penuh limpahan rahmat atau kasih sayang Allah). Perkawinan dalam Islam agar mendapat keturunan yang jelas nasabnya atau pertalian darahnya, menjadi keluarga yang bersih. Disampung itu yang utama pula, untuk menciptakan rumah tangga yang utuh, berkesinambungan dan tidak mudah terjadi perceraian atau bubarnya perkawinan atau rumah tangga.
Dengan demikian cukup jelas bahwa perkawinan dalam Islam sangat diutamakan keutuhan, kesinambungan dan lestarinya keluarga. Dihindari sejauh mungkin timbulnya perceraian atau bubarnya perkawinan. Meskipun perceraian tidak diharamkan dalam Islam, namun perceraian itu adalah perbuatan halal yang dibenci Allah.
Surat Edaran Mahkamah Agung yang melarang pengadilan melakukan pencatatan perkawinan beda agama– yang secara tidak langsung melarang perkawinan beda agama–yang juga fatwa MUI mengharamkan kawin beda agama, yang ditentang para aktifis HAM, seharusnyalah dilihat dalam konteks ingin menciptakan kehidupan yang damai dan menghilangkan konflik dalam masyarakat.
Keluarga adalah institusi terkecil dalam sebuah bangsa dan negara. Sebuah keluarga yang baik akan memberikan kontribusi baik pula pada institusi besar negara maupun bangsa. Tapi, jika institusi terkecil keluarga berantakan atau broken home akan berimbas pula pada rusak dan gocangnya pula negara.
.
Perkawinan beda agama memiliki potensi dan bibit-bibit perpecahan dalam keluarga. Ayah dan ibu yang berbeda agama akan menimbulkan kebingungan pada anak-anaknya untuk memilih agama yang dianut. Jika muncul persaingan antara orang tua untuk mempengaruhi dan menarik anak pada agama yang dianutnya, maka konflik agama dalam keluagga bisa lebih tajam dan meluas. Muncul pengikut agama yang dianut oleh ayah dan sebaliknya juga pada agama yang dianut ibunya. Konflik ini pada akhirnya rawan terjadi perceraian dan bubarnya perkawinan atau keluarga. Lebih jauh tentu hal ini akan berdampak pada masa depan anak, baik yang menyangkut masa depan pendidikan, pengasuhan, tanggung jawab ekonomi dan lainnya. Hal ini tentu lebih parah kalau anak-anak masih membutuhkan tanggung jawab kedua orang tuanya.
Perkawinan beda agama tidak cukup hanya didasarkan pada rasa cinta. Cinta bersifat relatif dan bisa saja pudar karena berbagai perkembangan yang dijalani dalam hidup berumah tangga. Ikatan agama yang suci dengan ajaran-ajaran yang luhur lebih menjamin kesinambungan hidup berumah tangga.
Perkawinan beda agama harus dipertimbangkan dengan masak dan serius. Kalaupun harus pindah agama karena ingin melangsungkan pernikahan haruslah dilakukan dengan penuh kesadaran dan meyakini kebenaran agama yang dimasuki. Kalau hal ini belum mampu dilakukan, maka sebaiknya mencari pasangan jodoh yang seiman dan seagama.
Kebijakan hukum yang melarang perkawinan agama, dan juga ajaran Islam yang mengharamkan kawin beda agama, bukanlah kebijakan anti HAM, justeru mengantisipasi dan mencegah terjadinya perbuatan melanggar HAM yang lebih besar.