Ads
Cakrawala

Pergolakan Pemikiran Islam: Sebuah Shock Therapy

Ditulis oleh Panji Masyarakat

SELAKU salah seorang penyunting buku Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, saya berbesar hati melihat banyaknya tanggapan yang dihadapkan kepadanya. Tanggapan-tanggapan tersebut tidak hanya dinyatakan lewat berbagai surat kabar, majalah maupun surat-surat pribadi yang disampaikan langsung kepada penyunting, melainkan juga lewat berbagai diskusi dan pembicaraan
pribadi. Bagaimanapun sifat tanggapan-tanggapan itu, menyambut gembira atau menyerang keras, nuchter atau berkobar-kobar, semuanya saya anggap positif. Sebab hal itu menunjukkan misi buku Pergolakan Pemikiran Islam cukup berhasil, yaitu menggelitik pikiran orang. Dan saya merasa bangga karena di antara penanggap itu adalah Prof. Dr. H.M. Rasyidi.

Sikap Defensif dan Reaktif

Saya tidak menyangkal kegunaan buku-buku lain yang menunjukkan kebenaran, kehebatan dan keindahan Islam, apalagi kalau buku itu ditulis orang bukan Islam. Buku-buku semacam itu akan membuat kita mengangguk-angguk kepala penuh kebanggaan. Kita menjadi puas karena diakui orang lain. Buku-buku itu lalu menjadi rujukan untuk membuktikan keunggulan kita. Tapi cukupkah kalau hanya sampai di situ?

Saya berpendapat tidak! Mengapa? Menurut anggapan saya sebagian ummat kita dihinggapi oleh rasa terancam. Oleh karena itu terlihat adanya gejala makin mengentalnya sikap mental defensif dan reaktif. Hal seperti ini, saya rasa, tidak membantu kita dalam menghadapi tantangan masyarakat kita yang mengalami perubahan demi perubahan. Untuk ini diperlukan sikap berani untuk secara ofensif menjawab tantangan yang dihadapi umat dan masyarakat kita. Karena itu, pertama-tama sikap mental defensif dan reaktif itu harus dicairkan. Salah satu cara adalah dengan melakukan shock theraphy, menimbulkan kejutan dan kekagetan.

Di awal tahun1970 Nurcholish Madjid telah melakukan shock theraphy. Dengan gagasan sekularisasi ia berhasil merangsang orang untuk berpikir ulang. Sayang sekali tidak terjadi dialog yang sehat dan cerdas. Sabda Nabi: “Perbedaan umatku adalah rahmat,” ternyata hanya dalam pembicaraan tapi tidak dalam kehidupan nyata. Kesan saya, rasa terancam dan curiga masih cukup kuat hingga gebrakan Nurcholish tidak cukup kuat untuk mencairkan sikap mental defensif dan reaktif umat.

Kini, saat rasa terancam itu tidak makin susut. Saya pikir, tindakan semacam shock theraphy untuk mencairkan kejenuhan perlu dilakukan. Kita memerlukan tumbuhnya suasana yang mendukung adanya kegairahan berpikir di kalangan generasi muda. Tanpa kegairahan berpikir tidak mungkin terwujud keberagaman yang lebih kreatif dan lebih cerdas. Kebanggaan akan keunggulan teologis tidak banyak artinya kalau tidak dikuti oleh usaha-usaha kreatif dalam kehidupan budaya yang mampu menembus dinding-dinding eksklusivisme berpikir. Bahkan ia hanya akan menjadi kebanggaan yang mandul. Bagi saya hal ini adalah guatu panggilan mulia yang lahir dari kesadaran agamawi saya, dari kemusliman saya. Karena itulah saya bersikeras untuk menerbitkan catatan harian almarhum Ahmad Wahib.

Masalah Saya dengan Tuhan

Saya tidak kecil hati melihat reaksi yang penuh kemarahan dan meragukan bahkan mencurigai niat baik saya dalam kasus buku Pergolakan Pemikiran Islam. Pertama-tama karena perkara niat adalah masalah pribadi saya dengan Tuhan. Hanya kepada-Nya saya mempertanggungjawabkan niat saya. Kedua, karena saya yakin bahwa dari perbedaan atau pertentangan pendapat dan pikiran bukan hal yang tabu dalam agama Islam.

Memang Islam tidak mengenal kependetaan. Karena itu tak seorang muslim pun berhak berbicara atas nama agama, apalagi atas nama Tuhan dan kemudian menghakimi keberagamaan orang lain. ltulah sebabnya, dalam pemahaman saya, mengapa Islam sangat menekankan masalah niat atau motivasi. Dan hal ini, seperti saya katakan di atas, melulu masalah pribadi seseorang dengan Tuhan.
Manusia adalah makhluk yang unik. Karena itu keberagamaan dan kemusliman kita tidaklah seragam. Cara pengabdian kita pun selaku muslim tidak mungkin dipaksakan dalam satu pola. Karena itu kecenderungan untuk memaksakan pendapat sendiri terhadap ummat tidak sesuai dengan etik Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Dr. Djohan Effendi (1939-2017), cendekiawan Muslim Indonesia, pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara pada era Kepresidenan Abdurrahman Wahid.
Sumber: Panji Masyarakat No 348, 21 Januari 1982

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda