Saat di Makkah atau sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw. mengalami masa-masa yang penuh kesukaran dan kesusahan serta penderitaan. Namun beliau terima keadaan itu dengan penuh kesabaran serta tawakal dan tidak pernah menyesal atau mengeluh.
Meskipun mendapat perlakuan yang jelek dari kaum Quraisy, beliau selalu memperlakukan mereka sebaik-baiknya. Dengan penuh kesabaran, beliau bertahan terhadap siksaan kaum Quraisy sampai beliau terpaksa meninggalkan kota asalnya. Sikap dan tindakannya di Makkah merupakan suri tauladan yang menunjukkan sifat kepemimpinan beliau yang bermutu tinggi.
Beliau meneruskan pekerjaannya dengan kesabaran dan keteguhan hati dan membiarkan segala penghinaan kaum kafir dan tidak pernah menjadi berkecil hati atau kehilangan kesabaran. Untuk memberi kekuatan kepada beliau di waktu yang sulit itu dan membesarkan hati beliau, Al-Qur’an menunjukkan kepada beliau contoh-contoh tentang nabi-nabi sebelum beliau: “Oleh karena itu, bersabarlah kamu, sebagaimana para Rasul yang berhati teguh itu bersabar, dan janganlah kamu minta disegerakan (azab) bagi mereka,” (Q.S. 46:35). Ini adalah semacam penghargaan Allah kepada kesabaran, ketahanan dan keteguhan hati Muhammad dan ini telah dibuktikan oleh sejarah.
Dari semula sampai akhir, segala sukses tindakan golongan Islam merupakan penghargaan yang nyata atas kesabaran dan keteguhan hati Muhammad. Seorang diri, tanpa pertolongan dari luar, Muhammad muncul dan berdiri tegak di tengah-tengah masyarakat yang menganut lebih dari satu kepercayaan dan mengajak mereka untuk menyembah Satu Tuhan dan Kebenaran. Mereka berontak terhadapnya dan menganiayanya, mula-mula di Makkah berupa hinaan dan siksaan, dan kemudian di Madinah dengan serangan-serangan, perampokan dan perang. Akhirnya seluruh hinaan dan senjata perang mereka tidak berdaya menghadapi kesabaran dan ketabahannya yang membaja dan berjayalah Muhammad.
Muhammad mempunyai kepribadian yang begitu menarik, sehingga semua anak-buahnya mencintainya lebih dari yang lain di dunia ini. Beliau dikaruniai dengan penampilan yang memukau semua orang dan semua orang menghormati serta menghargainya. Ketika masih remaja, semua orang Quraisy menyebutnya “yang benar” (Shadiq) dan “yang terpercaya” (Amin) dan beliau disegani oleh semua orang, termasuk kepala-kepala suku di Mekkah. Ketika beliau memulai misinya mengajak orang-orang menempuh Jalan Allah, kaum Quraisy mengutus Utbah bin Rabiah menemui Muhammad untuk memperoleh kompromi. Ketika Utbah bertutur kepada beliau dan sebagai jawaban beliau membaca beberapa ayat, Utba kembali dan berseru kepada orang-orang Quraisy, “Terimalah nasehat saya, janganlah ganggu dia.”
Kepribadiannya yang penuh wibawa dan anggun dan kemampuan bicaranya yang memancarkan pengaruh yang kuat membikin tiap orang yang datang kepadanya, pulang dengan membawa keyakinan akan ketulusan dan kebenaran amanat yang diembannya. Suatu perutusan dari kaum Kristen dari Habsyi (Ethiopia) datang menjumpai beliau. Ketika mereka mendengar isi Al-Qur’an, air mata mereka meleleh, dan mereka tunduk kepada Panggilan Ilahi, percaya Kepadanya, dan menyatakan kebenarannya. Mereka mengakui Muhammad sesuai dengan apa yang dikatakan mengenainya di dalam Kitab Suci mereka. Sebagai tanggapan atas tuduhan Abu Jahal bahwa mereka telah kena sihir, mereka berucap, “Damai bagi kalian. Kami tidak berbuat sembrono dan tanpa berpikir dalam usaha mencari yang terbaik.”
Pada zaman Hudaibiyah, kaum Quraisy mengutus Urwah bin Mas’ud kepada Muhammad untuk mencari penyelesaian persoalan. Ketika kembali, dia berkata, “Saya telah menemui Chosroes di kerajaannya, dan Caesar di kerajaannya, dan Negus di kerajaannya, tapi saya belum pernah melihat seorang raja di tengah tengah rakyatnya seperti Muhammad di antara para pengikutnya. Saya telah bertemu dengan seorang yang tidak akan mau meniggalkan beliau dengan alasan apa pun, maka ambillah kesimpulanmu sendiri.”
Ungkapan yang menyatakan, bahwa raut-muka mencerminkan sifat-sifat seseorang, berlaku bagi Muhammad dalam kata dan semangat. Abdullah bin Salam, seorang cendekiawan Yahudi, datang menjumpai Muhammad ketika beliau mengungsi ke Madinah.
Begitu dia melihat beliau, dia yakin akan kebenaran risalah yang beliau emban, dan lantas memeluk agama Islam. Beberapa waktu kemudian dia berkata, “Begitu saya melihat Nabi, saya menyadari bahwa air mukanya bukan air-muka seorang penipu.”
Suatu kafilah datang di Madinah dan menginap di luar kota. Nabi lewat di tempat itu dan membeli seekor unta dan berjanji akan mengirim uangnya. Ketika beliau sudah pergi, pemilik unta menjadi sadar, bahwa dia telah mempercayai seorang yang dia tidak kenal, dan oleh karena itu dia menjadi cemas. Ibu orang itu berkata kepadanya, “Jangan takut, saya telah melihat air muka orang itu yang secerah bulan. Seorang dengan gambaran seperti itu tidak mungkin jahat dan jika dia tidak mengirim uang harga unta, saya akan membayar kepadamu.” Belakangan Nabi mengirim kepada pemilik unta buah korma yang nilai lebih besar daripada harga untanya.

Penulis: Prof. Afzalurrahman (1915-1998), cendekiawan Muslim asal Pakistan, penulis Enyclopaedia of Seerah Muhammad (8 volume).
Sumber: Panji Masyarakat, No. 493, 1 Februari 1986.