Ads
Cakrawala

Memoar Mohamad Roem: Saya Menerima Pancasila Karena Saya Orang Islam

Ditulis oleh Panji Masyarakat

“Sebagai salah seorang yang turut serta membuat rencana pernyataan Kemerdekaan sebagai pendahuluan (preambul) rencana undang-undang dasar kita yang pertama di dalam Mayelis penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa akhirakhir kekuasaan Jepang saya ingat betul, bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan ’’Aqidah’’ kepercayaan Agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya dengan semata-mata kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut Kehendak-Nya.” (Haji Agus Salim dalam sebuah karangan di majalah Hikmah, ’ terbit di Jakarta tanggal 21 Juni 1953).

WAKTU Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, saya sudah berumur 37 tahun. Saya seorang Islam, yang sudah dewasa serta mempunyai pengalaman hidup. Sebagai orang Islam saya tahu, bahwa bagi seorang Islam adalah mutlak pengakuan yang tercantum dalam dua kalimah Syahadat: yaitu bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul (pesuruh) Allah.

Saya tahu juga, bahwa ada rancangan Undang-undang Dasar 1945, yang dalam preambul semula memuat tujuh kalimat, yang berbunyi : ’’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.’’ Bahwa sebelum UUD 45 itu disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan yang bersidang pada tanggal 18 Agustus, tujuh perkataan itu dihapuskan sebagai hasil dari lobbying Dr. Hatta dengan beberapa pemimpin Islam, antara lain Ki Bagus Hadikusumo, yang tidak keberatan tujuh perkataan itu dihapuskan dengan diganti ’’Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Bahwa saya sebagai orang Islam, yang ketika itu sudah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya dapat menerima Panca Sila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya sebagai orang Islam menyayangkan dihapuskan tujuh perkataan tersebut, yang kemudian untuk mudahnya dinamakan Piagam Jakarta. Meskipun menyayangkan, akan tetapi jika itu sudah menjadi hasil musyawarah dari para pemimpin, terutama Bung Hatta dan Ki Bagus, saya tidak terus-menerus menyayangkan, agar tidak menjadi sakit hati, karena hapusnya ‘’Piagam Jakarta’’ itu menurut keterangan Bung Hatta demi untuk persatuan bangsa, terutama umat Kristen dan umat Islam.

Syariat Islam Tetap Berlaku

Kewajiban menjalankan syariat Islam tetap berlaku, apakah ia dicantumkan dalam UUD atau tidak. Dan inilah yang tempo hari dikatakan oleh Menteri Agama Haji Alamsyah Ratu Perwiranegara, sebagai hadiah terbesar dari umat Islam. Dalam pada itu kita harus ingat, bahwa dalam Dekrit Presiden yang mengembalikan UUD 45, dekrit yang menjadi jembatan UUD 45 berlaku lagi, ’‘tujuh perkataan itu sudah dikembalikan, dengan kata-kata yang tegas, bahwa ’’Piagam Jakarta itu suatu rangkaian historis dan piagam Jakarta itu menjiwai pelaksanaan UUD 45.’’ Kata-kata yang indah itu yang termuat dalam Dekrit, tentu mempunyai arti dan tergantung dari kita sendiri untuk memberi arti yang setimpal. Oleh karena hadiah terbesar itu sudah dikembalikan, maka untuk mereka yang merasakan hal itu, sesudah tujuh perkataan itu dikembalikan tidak ada soal lagi untuk mengucapkan terima kasih.

Keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Esa itu, yang dengan amandemen Ki Bagus, menurut pendapat saya lebih mantap, adalah sesuatu yang tidak statis, melainkan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan masing-masing orang.

Orang masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, di hadapan dua orang saksi. Ia sudah diterima oleh umat Islam sebagai Orang Islam baru. Akan tetapi mulai Saat itu ia harus dididik atau mendidik diri tentang apa yang diharuskan bagi Orang Islam. Terutama kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran itu akan bertumbuh dan keyakinan akan semakin kuat dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, Pada saat Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan sila yang pertama darinPancasila saya sudah mencapai tingkatan tertentu, yang barangkali belum sama dengan tingkatan sekarang. Semakin manusia tambah pengalamannya, semakin yakin ia tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Mengetahui Maha Melihat. Semakin manusia tambah usia dan pengalaman hidup semakin hidup, keyakinan itu. Dan Tuhan yang Maha Esa itu adalah kekuatan yang tidak pasif tapi aktif memimpin perkembangan umat manusia.

Caranya tiap pengikut agama itu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tentu menurut keyakinan masing-masing, tidak sama, sebab pelajarannya berbeda beda, akun tetapi semua menerima Pancasila yang sudah digali oleh Soekarno. Tentang ini ada pendapat yang berbeda apakah
Soekarno penggali tunggal, Soekarno sendiri pernah menyatakan, bahwa di zaman Tjokroaminoto sudah ada Pancasila, adalah falsafah negara yang mempersatukan bangsa Indonesia secara kokoh dan kuat.

Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai-bagai agama dan aliran itu semua diikat dalam satu ikatan yang kuat, seperti dikatakan dalam tafsir azas Masyumi, yang meskipun sudah dibubarkan akan tetapi sebuah kalimat dari tafsir azasnya ingin saya kutip: ’’Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan telah dipertahankan kedaulatannya dengan usaha bersama-sama pula sampai tercapai pengakuan dunia atas kedaulatan itu pada tanggal 27 Desember 1949, adalah karunia Ilahi atas jihad perjuangan bangsa Indonesia atas dasar Pancasila, kata persamaan antara segenap golongan.’’

Dalam sejarah perjuangan, terutama waktu kita bersama-sama menjalankan perang gerilya terhadap Belanda, saya menyadari bahwa, terasa sekali persatuan bangsa yang diikat oleh Panca Sila. Rakyat dari berbagai-bagai agama bahu-membahu perang gerilya menghadapi Belanda yang dengan segala alat perang modern hendak mengembalikan tanah air kepada zaman penjajahan.

Berdasarkan segala sesuatu yang telah saya uraikan di atas itu, maka saya menerima Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena saya adalah seorang Islam, yang mendapat ajaran dari Nabi tentang ketuhanan.

Ali Murtopo dan Agus Salim

Saya tidak dapat mengikuti apa yang diuraikan oleh Menpen Ali Murtopo pada hari Senen tanggal 2 November 1982 di hadapan para Alim Ulama Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan, bahwa nilai agama dan Pancasila berbeda. Seperti sudah saya terangkan di atas, maka saya menerima Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena saya beragama Islam yang mengajarkan saya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi saya hanya ada satu Ketuhanan Yang Maha Esa menurut agama Islam dan Pancasila. Saya tidak dapat menggambarkan percaya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa menurut agama, dl samping Tuhan Yang Maha Esa menurut lain dari agama yang saya anut.

Benar di dalam buku Akselarasi, Modernisasi Pembangunan 25 tahun, halaman 20 (cetakan pertama, September 1972, diterbitkan oleh Yayasan Proklamasi Centre for Strategic and international Studies) karangan Jendral Ali Murtopo disebutkan: ’’Negara mengakui ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kenegaraan. Hal ini tidak berarti, bahwa negara didasarkan pada salah satu agama. Ke-Tuhanan mempunyai pengertian sendiri dan tidak identik dengan agama atau salah satu agama….. Jadi sila pertama menyatakan adanya teisme, bukan teisme teokratis tetapi teisme demokratis, artinya pimpinan-sesuatu yang transenden terhadap negara dan jalannya negara diselenggarakan secara tidak langsung melalui pikiran sehat manusia.’’

Menurut sejarah umat manusia, yaitu sejarah nabi-nabi dan agama, maka manusia sampai kepada _ kepercayaan ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah melalui ajaran Nabi dengan sarana kitab Suci yang diwahyukan. Selanjutnya ajaran Nabi itu tidak bertentangan dengan akal manusia akal sehat. Dalam pada itu agama Islam juga mengajarkan, bahwa tidak ada paksaan dalam agama, suatu hak asasi yang dijamin oleh undang-undang Dasar. Jadi kalau ada orang yang menyatakan, ia tidak beragama akan tetapi dapat menerima Pancasila, maka bagi negara ia pun akan diterima.

Ada segolongan dari rakyat di Indonesia yang mempunyai ideologi yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, yaitu ideologi Komunisme. Sebagaimana kita ketahui Partai Komunis yang ideologinya tidak percaya kepada Tuhan (ateis) di negara kita, Negara Pancasila sudah dilarang. Di samping itu tidak semua orang yang ateis, berideologi Komunis, Jika orang ateis ini menyatakan dapat menerima Pancasila, dan selanjutnya ia juga warga negara hidup taat kepada segala peraturan negara, dan tidak melanggar salah Satu pasal dari kitab Undang Undang Pidana, maka orang itu dapat hidup dalam negara, dan diakui dan dijamin hak dan kewajibannya.

Maka kita melihat perbedaan antara Haji Agus Salim, seorang anggauta panitia sembilan yang ikut serta merencanakan preambul UUD 45 dan keterangan dart Jendral Ali Murtopo di hadapan Alim Ulama Jawa Timur di Pasuruan. Orang Islam sesuai dengan kesaksian Haji Agus Salim menerima Pancasila, karena Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Aqidah agama Islam, sebagaimana pengikut agama lain menerima Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan aqidah masing-masing. Penerimaan itu saya rasa sudah cukup, karena tidak mungkin saya membayangkan orang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pemikiran lain.

Maka seperti dikatakan oleh majelis-majelis agama dalam Maklumatnya pada hari Sabtu malam, tanggal 6 November 1982 (Kompas tanggal 8 November 1982, halaman pertama): “Wadah Musyawarah antar umat beragama menegaskan kembali, bahwa majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi keagamaan sebagai pembina umatnya masing-masing, bertujuan untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pengikut pemeluk agama yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais.’’ Seorang Kristen yang taat agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Orang Islam yang taat agamanya sekaligus warga negara Pancasilais. la tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila falsafah negara.

Penulis: Mohamad Roem (1908-1983), seorang diplomat dan salah satu pemimpin Indonesia pada masa perang kemerdekaan; pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, tokoh Partai Masyumi ini pernah menjabat Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan kemudian Menteri Dalam Negeri. Sumber: Panji Masyarakat No 378, 21 November 1982

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda